PELAJAR ISLAM INDONESIA DI SUMATERA BARAT
SEBELUM ASAS TUNGGAL
SEBELUM ASAS TUNGGAL
A। Terbentuknya Pelajar Islam Indonesia di Sumatera Barat
Setelah dideklarasikannya PII pada tanggal 4 Mei 1947 di Yogyakarta oleh Yoesdi Ghazali, Amin Syahri, Anton Timur Djailani, Ibrahim Zarkasji dan lain-lain, PII terus mengalami perkembangan. Perkembangannya didukung oleh meleburnya organisasi-organisasi pelajar di daerah-daerah kedalam PII dan leburnya golongan pelajar dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menjadi PII. GPII yang telah memiliki cabang di hampir di seluruh provinsi di Indonesia menyerukan kepada seluruh anggotanya yang pelajar untuk segera meleburkan diri ke dalam organisasi PII dan yang mahasiswa melebur ke organisasi HMI. Seruan itu memudahkan usaha pembentukan PII di daerah-daerah.
Di Sumatera Barat, PII mulai dibentuk pada tahun 1949 dalam suasana darurat menghadapi Agresi Balanda II. Di VII Koto Talago Guguk Limapuluhkota, pelajar-pelajar yang tergabung dalam organisasi “Pelajar Darurat” menerima siaran sekaligus seruan yang ditandatangani Anton Timur Djailani sebagai Ketua Umum dan Abdul Halim Tuasikal sebagai Sekretaris Jenderal PII yang berpusat di Yogyakarta. Dalam siaran dan seruan itu diharapkan pelajar-pelajar Islam di manapun berada segera membentuk organisasi PII.
Setelah mendapat siaran itu, Pelajar Darurat yang terdiri dari Ismail Hasan, Mawardi Abdul Wahid, Zainul Yasni, Safiuddin Z, Firdaus AN, Yulius Iskandar dan lain-lain kemudian membentuk kepengurusan PII Sumatera Barat dengan Ismail Hasan sebagai Ketua dan Firdaus AN sebagai Sekretaris. Pembentukan organisasi PII itu mendapat sambutan hangat dari pelajar-pelajar Islam di Sumatera Barat, terbukti dengan cepatnya berdiri cabang-cabang PII di daerah-daerah Kabupaten dan Kodya.
Dalam perkembangannya, PII Sumatera Barat setelah dibentuk terus menampakkan perannya dalam setiap perubahan-perubahan perjuangan bangsa. Anggota PII selalu ikut berperan serta membantu mempertahankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda yang ingin menghancurkannya. Bersama-sama dengan TNI, mereka ikut berjalan kaki melalui lembah-lembah, bukit-bukit dan hutan-hutan yang lebat, guna mempertahankan pemerintahan darurat. Dan sesekali mereka ikut perang gerilya, yaitu kesatuan-kesatuan kecil yang sangat mobil “menyerang” dan “hilang” dengan tiba-tiba di tempat-tempat dan saat-saat yang tiada diduga oleh musuh. Kondisi ini berlangsung sampai Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia dapat dipulihkan dan Syafruddin Prawiranegara kembali meyerahkan mandatnya ke presiden pada tanggal 13 Juli 1949. setelah mempertahankan PDRI, mereka kembali ke bangku sekolah untuk melanjudkan pelajarannya yang telah sempat terhenti.
Pada tahun 1958 ketika muncul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), anggota PII kembali turut memberikan dukungan terhadap gerakan tersebur. Mengenai keterlibatan PII dalam PRRI dapat dilihat dari penjelasan dari Adli Fauzi, seorang aktifis PII yang aktif tahun 1964 -1973 yang mendapat informasi dari senior-seniornya ketika belajar di Pondok Pesantren Darul Funun El Abbasiyah Padang Japang Guguk Limapuluhkota yang merupakan basis PII sejak tahun 1950-an sampai sekarang. Beliau mengemukakan bahwa munculnya PRRI tidak terlepas dari peran serta Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), meskipun secara kepartaian Masyumi pusat menolak bahwa PRRI adalah gerakan yang dilakukan oleh Masyumi, tapi secara personal pemimpin PRRI kebanyakan berasal dari kader-kader Masyumi. GPII merupakan organisasi yang begitu dekat dengan Masyumi, sehingga sering disebut organisasi di bawah Masyumi. Sedangkan PII adalah organisasi turunan dari GPII yang juga sering didekat-dekatkan dengan Masyumi, sehingga dikenal dengan Masyumi “celana pendek”. Melihat begitu dekatnya hubungan organisasi tersebut, hampir setiap apa yang dilakukan oleh masing-masing pihak selalu saling memberikan dukungan. Ketika Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang, kader-kader GPII, HMI dan PII menyatakan mendukung gerakan itu yang walaupun secara organisatoris tidak ada kebijakan tentang dukungan tersebut. Bentuk dukungan yang diberikan tidak hanya berupa moral tapi juga secara fisik turun ke medan pertempuran.
Dukungan yang luas terhadap PRRI juga ditunjukan oleh seluruh kalangan masyarakat termasuk mahasiswa dan pelajar. Hampir seluruh mahasiswa dan pelajar yang ada di Sumatera Barat ikut bergabung dengan PRRI, mereka menyebutnya dengan “turun karimbo”. Sementara itu dukungan juga berasal dari mahasiswa asal Sumatera Barat yang kuliah di pulau Jawa melalui aksi “pulang kampung” untuk mendaftarkan diri menjadi sukarelawan.
Setelah bergabung, mahasiswa dan pelajar itu dibekali kemampuan militer. Keberadaan mereka oleh para senior PRRI diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan seperti komandan bataliyon, kompi, staf dan sandi. Kepercayaan itu juga ditunjukkan dengan menunjuk mereka sebagai pasukan pengawal pribadi Letkol Achmad Husein (Pimpinan PRRI).
Keterlibatan mahasiswa dan pelajar Sumatera Barat sebagai salah satu kekuatan pro PRRI dilatar belakangi oleh dunia mahasiswa dan pelajar yang sering diidentikkan dengan dunia keilmuan dan menolak setiap prilaku yang irrasional, menolak tindakan-tindakan yang mendustai prinsip-prinsip kebenaran. Potensi itulah yang menyebabkan mahasiswa dan pelajar sangat peka merasakan perkembangan politik secara nasional. Sentralisasi kekuasaan telah memunculkan kesenjangan pembangunan, sehingga distribusi hasil-hasil pembangunan tidak merata, hanya menguntungkan Jawa. Pemerintah pusat diidentikkan dengan Jawa, dan lawannya adalah luar Jawa yang merasa dirugikan dalam pembangunan. Selain itu kebijakan pemerintah Soekarno lebih dekat dengan kekuasaan PKI dan membawa strategi pemerintahannya lebih condong ke negara-negara komunis. Dua persoalan ini dirasakan mahasiswa dan pelajar menyimpang dari cita-cita kemerdekaan dan karena itulah mereka mendukung perjuangan PRRI.
Kondisi politik semakin tidak terkendali setelah pemerintah pusat mengambil kebijakan mematahkan pembangkangan daerah dengan menggunakan kekuatan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Sumatera Barat sebagai basis pemberontakan daerah diserang oleh tentara pusat melalui darat, laut dan udara. Di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani akhirnya pada tanggal 17 April 1958 kota Padang berhasil dikuasai dan kemudian satu persatu basis pemberontakan jatuh ke tangan tentara pusat. Selama penumpasan PRRI telah menimbulkan kerugian yang luas bagi daerah Sumatera Barat. Banyak laskar mahasiswa, pelajar dan pemuda menjadi korban baik fisik maupun mental. Gedung-gedung, sekolah dihancurkan karena diduga sebagai basis massa PRRI. Hampir semua gedung sekolah tidak dapat digunakan untuk belajar.
Setelah gerakan PRRI dapat dilumpuhkan, mahasiswa dan pelajar yang bergerilya untuk melakukan perlawanan bersama-sama dengan rakyat di hutan-hutan selama lebih kurang dua tahun, akhirnya kembali ke kota-kota untuk kembali melanjutkan kuliah dan sekolah. Mereka memperoleh amnesti dan abolisi, sehingga membuka kesempatan bagi sebahagian dari mereka kembali ke kampus untuk meneruskan kuliah dan sekolah yang sempat terhenti. Sebahagian lagi tidak dapat melanjutkan kuliah dan sekolah karena kesulitan ekonomi yang menjerat negeri ini akibat perang saudara. Ada pula diantara mereka yang pergi merantau untuk berdagang seperti ke pulau Jawa, Medan, Pekanbaru, Dumai dan Malaysia.
Pada masa pasca PRRI, gerakan mahasiswa dan pelajar serta pemuda pada umumnya mengalami kemunduran. Kemunduran disebabkan oleh faktor kekalahan dan kesulitan ekonomi, juga diperburuk oleh tekanan politik yang semakin hari semakin agresif dari kekuatan PKI. PKI semakin leluasa mengembangkan sayapnya, karena mendapatkan kerja sama dengan divisi Diponegoro yang memegang kendali keamanan dan sekaligus pembersihan daerah dari bekas-bekas kekuatan PRRI yang belum menyerah. Sementara kekuatan politik Islam semakin terjepit. Hal ini menambah pukulan mental yang sangat serius bagi masyarakat Sumatera Barat.
Tekanan tersebut sangat dirasakan oleh organisasi-organisasi yang berideologi Islam seperti HMI, PII dan GPII, terkhusus lagi bagi organisasi yang berafiliasi atau dituduh berafiliasi dengan Masyumi. Kalau pada masa sebelum PRRI, organisasi ini memiliki kekuatan dan kebebasan untuk menegembangkan pengaruhnya, tapi kondisi setelah itu menjadi terbalik. Posisi mereka berada sebagai objek politik PKI. Kondisi demikian mendorong PII Sumatera Barat dengan berbagai pertimbangan memutuskan untuk memvakumkan kegiatannya dalam beberapa waktu.
Pada tahun 1964 atas inisiatif dari Moeslim About Ma’anny dan Mazwar M beserta pelajar-pelajar lainnya PII Sumatera Barat dinyatakan aktif kembali. Mereka melakukan berbagai gerakan dan pembinaan terhadap lahan garapannya yaitu pelajar, mereka memberikan dukungan kepada HMI yang sedang mengalami perlawanan secara terselubung dari PKI. PII juga mulai mengadakan pelatihan untuk anak SD, pembinaan TPA dan sampai pada pengkaderan pelajar SMP/SMA dan mahasiswa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan PII selalu mendapat perlawanan dari PKI, tapi tidak ada yang sampai dibubarkan atau dibasmi oleh PKI.
Sementara sikap dan aksi-aksi menentang komunis, baik secara tertutup maupun terbuka yang dilakukan PII, menyebabkan PKI menganggap bahwa PII adalah lawan yang serius dan harus dihadapi dengan sungguh-sungguh. Di dalam dokumen penting PKI yang terungkap pada akhir tahun 1964 menyatakan bahwa PII adalah musuh yang harus dihadapi dengan sungguh-sungguh.
B. Pelajar Islam Indonesia dan KAPPI Sumatera Barat
Meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 merupakan manifestasi dari konflik politik yang menimbulkan dampak yang besar terhadap munculnya semangat juang bagi mahasiswa dan palajar di Sumatera Barat. Gerakan mahasiswa dan pelajar setelah gagalnya PRRI berada dalam keterkungkungan, intimidasi dan pembunuhan karakter, muncul menjadi semangat untuk melakukan gerakan perlawanan balik. Gagalnya gerakan yang dimotori oleh PKI telah melahirkan kekuatan anti komunis yang radikal di kalangan mahasiswa dan pelajar.
Kesewenang-wenangan yang dilakukan PKI terhadap mahasiswa dan pelajar setelah gagalnya gerakan PRRI menimbulkan “dendam politik” di kalangan mahasiswa dan pelajar. Dendam politik anti komunis itu disalurkan melalui gerakan penumpasan terhadap PKI dan antek-anteknya. Aksi-aksi mereka lakukan secara rapi dan sistematis dalam sebuah wadah yang diberi nama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Gerakan perlawanan terhadap PKI terjadi hampir di seluruh pelosok negeri ini, aksi pembersihan memaksa sebagian besar anggota PKI dan antek-anteknya lari kehutan-hutan. Di Jakarta pada tanggal 3 dan 4 Oktober 1965 dilakukan rapat umum yang dihadiri ratusan ribu massa ummat Islam yang berasal dari massa organisasi GP Anshor, HMI, PII, IPM, Pemuda Pancasila, PMKRI, Gabiindo dan lain sebagainya. Mereka menuntut untuk segera membubarkan PKI dan antek-anteknya. Aksi ini dilanjutkan dengan melakukan perampasan dan pembakaran gedung-gedung yang semula dikuasai PKI dan satuannyam, seperti pendudukan dan pembakaran kantor Comitte Central (CC) PKI. Di Yogyakarta tanggal 6 Oktober 1965 massa HMI, PII dan ummat Islam melakukan aksi massa menuntut pembubaran PKI.
Pada tanggal 6 Oktober itu juga Presiden Soekarno mengadakan Sidang Kabinet Paripurna di Bogor, yang memutuskan agar ketertiban dan keamanan dipertahankan. Kepetusan pemerintah itu ternyata tidak dapat membendung aksi-aksi anti PKI. Pada tanggal 11 Oktober 1965 massa PII dibawah pimpinan Aziz Ati, Wahid Kudungga (PB PII), Gamsoni Yasin (PW PII Jakarta) menyerbu gedung Dewan Nasional Pemuda Rakyat di Jalan Tanah Abang III/2 A dengan cara merusak gedung dan menurunkan papan namanya serta mengancurkannya. Hari berikutnya tanggal 12 Oktober massa PII bersama-sama dengan Pemuda Pancasila menyerbu gedung SOBSI di Jalan Salemba Tengah dan mendudukinya. Di samping itu pada tanggal yang sama juga terjadi apel akbar ummat Islam di Medan yang dihadiri oleh sekitar 1.650.000 massa yang menuntut pembubaran PKI dan antek-anteknya.
Aksi serupa juga terjadi di Sumatera Barat, gerakan mahasiswa dan pelajar yang berasal dari kader-kader PII, HMI dan masyarakat luas melakukan aksi coret-coret dan penempelan pamplet yang isinya menentang PKI dan menuntut agar organisasi itu dibubarkan. Penggalangan sikap anti PKI itu dibantu militer dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada tanggal 10 November 1965 seusai peringatan Hari Pahlawan di Lapangan Imam Bonjol secara spontan dan di luar dugaan aparat keamanan, ribuan mahasiswa dan pelajar mengepung kampung Cina, Pondok. Seluruh tulisan yang menggunakan bahasa Cina diturunkan dan dihancurkan. Empat buah bangunan termasuk Chung Hwa Chung Hwi dan kantor Baperki diduduki. Massa kemudian bergerak ke Jalan Ahmad Yani, dan mereka menduduki kantor Front Nasional (sekarang Rumah Dinas Walikota). Gedung itu selanjutnya dijadikan markas KAPPI Konsulat Sumatera Barat, KAPPI Padang dan sekretariat LKAAM.
Pembentukan KAPPI Sumatera Barat yang berpusat di dua kota, yaitu Padang dan Bukittinggi tidak bisa dilepaskan dari peran serta kader-kader PII. Aktivis PII di Sumatera Barat telah menerima berita tentang demonsrtasi menuntut pembubaran PKI dan berikutnya menyusul instruksi agar dibentuk perwakilan KAPPI di daerah-daerah.
Pada awal pembentukannya di Padang, KAPPI hanya beranggotakan organisasi intra sekolah (OSIS) yang mewakili sekolah masing-masing, ternyata mereka kebanyakan berasal dari kader-kader PII. Dalam pertemuan berikutnya keanggotaan meluas dengan diperbolehkannya organisasi ektra sekolah menjadi anggota KAPPI. Organisasi-organisasi yang ikut bergabung di antaranya IPNU, PII, GSNI, IPM, IPE, PErsatuan Pelajar Siswa Katholik dan Serikat Pelajar Muslim Indonesia (SEPMI).
Sementara itu di daerah-daerah lain seperti Bukittinggi dan Payakumbuh, keanggotaan KAPPI berasal dari organisasi ekstra dan intra sekolah. Pembentukannya diprakarsai oleh kader-kader PII yang kemudian dipilih menjadi pengurus KAPPI di masing-masing daerah tersebut, seperti Binahar Daut, Makmur Hendrik, dan Ismukhtar di Bukittinggi dan Adli Fauzi dan Risman Mukhtar di Payakumbuh.
Gerakan yang dilakukan KAPPI di setiap daerah memiliki kesamaan, mereka menyerang pusat-pusat yang menjadi basis PKI dan menguasai gedung-gedung milik PKI. Fenomena yang terjadi di Payakumbuh, kampung Cina menjadi tempat amuk massa kader-kader organisasi anggota KAPPI. Mereka meguasai markas PKI yang terdapat di sana dan kemudian dijadikan sebagai Kantor KAPPI Payakumbuh. Penyerangan tidak hanya dilakukan pada basis PKI tapi juga memburu anggota-anggota yang diduga sebagai penganut PKI, sehingga dengan gerakan ini banyak orang-orang China yang termasuk anggota PKI yang melarikan diri keluar kota. Gerakan tahun 1966 ini kemudian dikenal dengan “peristiwa 66 berdarah”.
Di Bukittinggi tidak jauh berbeda dengan Payakumbuh, kampung Cina menjadi tempat amuk massa anggota KAPPI. Dalam melakukan itu massa di kejutkan dengan bunyi tembakan yang datang dari arah aparat keamanan. Tembakan itu ternyata mengenai kepala bagian belakang salah seorang anggota KAPPI yang juga kader PII yang bernama Achmad Karim. Kejadian itu menyebar begitu cepat ke seluruh anggota KAPPI, ribuan anggota KAPPI yang berasal dari seluruh Sumatera Barat dan massa KAMI berdatangan ke Bukittinggi untuk menunjukkan rasa simpati. Mereka menuntut pertanggung jawaban pihak keamanan atas insiden tersebut dan sekaligus meminta pemerintah supaya Achmad Karim dinyatakan sebagai Pahlawan Ampera dan dikebumikan di taman makam pahlawan secara militer dengan penghargaan layaknya seorang pahlawan.
Dalam gerakan selanjutnya KAPPI terus melakukan berbagai usaha sampai dipenuhinya segala tuntutan yang dilemparkan. Di samping mengusut secara tuntas kematian Achmad Karim, mereka juga aktif melakukan operasi “Bakti dan Budhi” bersama kader-kader KAMI. Operasi itu melakukan pembersihan pejabat pemerintahan dari orang-orang yang diduga terlibat dalam PKI. Usaha ini terus dijalankan sampai pada periode awal pemerintahan Orde Baru terbentuk.
C. Pelajar Islam Indonesia Sumatera Barat menjelang Asas Tunggal
Peride awal pemerintahan orde baru, kegiatan yang diadakan oleh PII secara nasionalselalu mendapat dukungan dari pemerintah tanpa ada hambatan. Kondisi ini berlangsung sampai upaya yang dilakukan pemerintah masih berjalan menurut cita-cita pembaharuan yang baru dilahirkan.
Banyak pihak yang berharap orde baru akan mnghembuskan angin segar, terutama bagi tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat. Tapi sebaliknya, orde baru yang didominasi oleh kekuatan ABRI banyak melakukan upaya rekayasa yaitu dengan depolitisasi dan deideologi.
Depolitisasi yang dilakukan pemerintahan orde baru bertujuan mengendalikan massa pada satu tangan (one pilitical system). Dalam kontek ini, semua organisasi yang memiliki kesamaan corak dan profesi diharuskan untuk berfusi (bergabung). Tahun 1973 partai politik yang sebelumnya berjumlah 10 partai difusikan, diantaranya NU, Parmusi, PSII, dan Perti dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Begitupun halnya dengan organisasi sosial politik yang beraliran nasionalisme dan beberapa partai politik Kristen digabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Golkar meskipun tidak menggunakan istilah partai politik, akan tetapi fungsi dan perannya sam dengan partai politik. Golkar selanjudnya memiliki peran ganda, satu sisi ia merupakan alat penekan dan menjadi tulang punggung pemerintah dan pada posisi lainnya ia dijadikan penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Golkar dijadikan sebagai partainya partainya penguasa yang didukung oleh kekuatan militer, birokrasi pemerintah, dan organisasi profesi yang sengaja dibentuk untuk mendukung kerja partai.
Sementara itu organisasi-organisasi profesional, kepemudaan dan lain-lain dikontrol, diarahkan dan “dibina” oleh pemerintah. Organisasi buruh disatukan dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), para petani dihimpun dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), kelompok pedagang dan wiraswasta digalang dalam Kamra Dagang dan Industri (KADIN), para pemuda disatukan dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), ulama dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), wartawan salam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan seterusnya.
KNPI yang dijadikan penghimpun organisasi kepemudaan dilahirkan oleh penguasa dengan cara yang tidak demoratis dan aspiratif dan cendrung hanya untuk kepentingan poltik tertentu (Golkar), maka berdasarkan ini PII mengambil sikap tidak ikut serta secara organisatoris dalam KNPI. Untuk itu PB PII mengirim surat bernomor: PB/Sek/391/1974 tentang hal penjelasan kedudukan KNPI dimata PII ke seluruh PW PII setanah air. Dalam surat itu dijelaskan PII tidak ikut secara organisatoris dalam KNPI dan menghimbau pimpinan dan kader PII disetiap eselon untuk tidak aktif dalam kepengurusan/anggota KNPI.
Kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru diatas dinilai mahasiswa dan pelajar sudah lari dari prinsip-prinsip demokrasi. Penilaian ini menjadi titik awal pecahnya bulan madu pemerintah Soeharto dengan mahasiswa dan pelajar. Perselisihan tersebut ditandai dengan peristiwa Malari tanggal 15 Januari 1974, dimana pemerintah melakukan pengendalian yang sistematis terhadap dinamika politik nasional. Bagi PII dengan penolakan bergabung dengan KNPI menandainya dimulai persinggungan dengan pemerintah. Situasi ini diperburuk ketika PII mengeluarkan pokok-pokok pikiran pada tanggal 25 Agustus 1973 tentang perlawanan terhadap Rencana Undang-Undang Perkawinan (RUUP). Menurut PII, RUUP yang diajukan pemerintah ke DPR lebih cendrung isinya kepada ajaran Kristen dan sekuler yang bertentangan dengan ajaran Islam. PII kemudian memprakarsai pembentukan Badan Kontak Generasi Pelajar Islam (BKGPI) yang diketuai oleh Achmad Y. Aloetsyah (PII). Usaha BKGPI dilakukan dengan berdemonstrasi ke DPR untuk menggagalkan pengesahan RUUP tersebut. Meskipun akhirnya RUUP ini tetap disyahkan, tapi telah melalui revisi-revisi.
Persinggungan antara pemerintah dengan mahasiswa dan pelajar tidak hanya sampai disitu, pemerintah makin leluasa memainkan depolitisasinya dengan membatasi ruang gerak organisasi ekstra. Di sekolah-sekolah tidak dibenarkan ada organisasi ekstra kecuali Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan di perguruan tinggi tidak dibenarkan ada organisasi ekstra kecuali merujuk pada konsep NKK/BKK tahun 1978. penerapan ini berdampak padaorganisasi ekstra mahasiswa dan pelajar Islam seperti HMI dan PII. Mereka mengalami kemunduran di dalam aktifitasnya dan lambat laun organisasi-organisasi ini mulai ditinggalkan oleh mahasiswa dan pelajar, karena disibukan dengan urusan kampus dan sekolah.
Puncak kebijakan politik pemerintah tercipta ketika menjadikan Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 3 dan UU No. 8 / 1985 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas dan setiap organisasi kemasyarakatan harus meletakkan Pancasila sebagai landasan organisasinya. Bagi yang tidak, organisasi itu dinyatakan sebagai organisasi yang terlarang. Tapi lagi-lagi PII menentang kebijakan itu dengan tidak mau menyesuaikan diri pada undang-undang tersebut, sehingga akhirnya PII dibubarkan oleh pemerintah. Kondisi yang sama juga terjadi pada organisasi Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) yang tetap mempertahankan ajaran-ajaran markhaenisme sebagai asas organisasinya dan kemudian organisasi ini juga dibubarkan oleh pemerintah.
Di Sumatera Barat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dilakukan PII tidak begitu kentara, sikap perlawanan mereka tergambar dari diskusi-diskusi dan tulisan-tulisan kadernya di media massa. Perlawanan itu tidak konfrontatif karena begitu ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang menjadi tulang punggung penguasa.
Disamping mengadakan perlawanan terhadap kebijakan penguasa tersebut diatas, mereka juga tidak melupakan kerja pokoknya. Bagi kader-kader PII mengkritik dan menyatakan tidak sesuai dengan apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai Islam adalah sebuah keharusan dan dinilai sebagai ibadah. Meskipun mereka begitu gencar mengkritik pemerintah, namun mereka tidak melupakan tugas utamanya yaitu pembinaan terhadap pelajar dan generasi muda.
Mereka melakukan berbagai macam kegiatan, diantaranya:
1. Trainning pengkaderan PII, antara lain:
→ Trainning konvensional :
Lidearship Basic Trainning (LBT)
Lidearship Mental Trainning (LMT)/Perkampungan Kerja Pelajar (PKP)
Leadership Advansce Trainning (LAT)
Pendidikan Instruktur (PI)
→ Trainning inkonvensional (kursus-kursus):
Studi Islam Awal Mula (SIAM) I dan II
Forum Perkenalan Anggota (Foperta)
Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK)
Latihan Kader Tunas (LKT)
Forum Paju Study (Forpasdi)
Ta’lim-ta’lim atau tarbiyah-tarbiyah dan lain-lain.
2. Kegiatan di bidang keagamaan:
→ Mengadakan pembinaan-pembinaan TPA-TPA
→ Melatih didikan-didikan Shubuh dan sesekali diadakan lomba antar didikan Shubuh antar Masjid.
→ Memberikan ceramah-ceramah agama ke masjid-masjid
→ Melatih seni baca Al qur’an (mengaji irama)
→ Mengkaji Tafsir Al qur’an dan lain-lain.
3. Kegiatan di bidang penalaran:
→ Melakukan seminar-seminar, diskusi-diskusi dan sarasehan
→ Mengadakan kursus-kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris dan lain-lain.
4. Kegiatan di bidang keolahragaan:
→ Mengadakan pertandingan olah raga antar pelajar
→ Melaksanakan latihan bela diri dan lain-lain.
5. Kegiatan di bidang kesenian:
→ Mengadakan lomba kesenian antar pelajar
→ Mengadakan pementasan teater, puisi, drama dan lain-lain.
Tapi akibat tindakan PII yang menentang kebijakan pemerintah, memberi pengaruh terhadap pelaksanaan acara-acara yang diadakan tersebut. Hampir setiap acara yang diadakan PII selalu mendapat pengawasan pemerintah melalui aparat keamanan, mereka dituduh sebagai perpanjang tanganan PPP dan diduga dalam pelasanaan acara ada unsur politik yang dikembangkan, seperti yang terjadi pada acara LBT PII yang diadakan di Payakumbuh pada tahun 1977 dan acara yang sama di Padang Panjang tahun 1984, aparat mendatangi acara karena diduga acara yang diadakan itu terselip kegiatan politik. Tapi setelah diberi keterangan dan pemerinksaan langsung pihak aparat tersebut, acara itu tetap terus dijalankan.
Meskipun sering dituduh acara yang diadakan ada unsur politik, tak membuat kader-kader PII patah semangat. Mereka tetap eksis melakukan kegiatan-kegiatan. Meskipun demikian PW PII agak mengalami kesulitan memperluas gerakan PII kaderah-daerah lainnya. Tapi PD PII yang ada seperti PD PII Kabupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh, PD PII Kabupaten Agam/Kodya Bukittinggi, PD PII Kodya Padang Panjang, PD PII Istimewa Diniyah Putri Padang Panjang dan PD PII Kodya Padang tetap berkegiatan dan hampir mereka memiliki PK PII di sekolah-sekolah yang ada di daerahnya masing-masing. Setiap pelaksanaan acara pengkaderan PII, peserta yang ikut selalu ramai dan setiap acara rata-rata pesertanya berjumlah 200-400 orang. Peserta ini merupakan siswa-siswa yang terpilih di sekolahnya, mereka termasuk pengurus OSIS dan dapat renking dikelasnya. Tapi kondisi ini tidak terjadi di PD PII Kabupaten Padang Pariaman dan PD PII Kabupaten/Kodya Solok, mereka mengalami kemandekan dalam berkegiatan karena tidak jalannya kaderisasi.
Setelah dideklarasikannya PII pada tanggal 4 Mei 1947 di Yogyakarta oleh Yoesdi Ghazali, Amin Syahri, Anton Timur Djailani, Ibrahim Zarkasji dan lain-lain, PII terus mengalami perkembangan. Perkembangannya didukung oleh meleburnya organisasi-organisasi pelajar di daerah-daerah kedalam PII dan leburnya golongan pelajar dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menjadi PII. GPII yang telah memiliki cabang di hampir di seluruh provinsi di Indonesia menyerukan kepada seluruh anggotanya yang pelajar untuk segera meleburkan diri ke dalam organisasi PII dan yang mahasiswa melebur ke organisasi HMI. Seruan itu memudahkan usaha pembentukan PII di daerah-daerah.
Di Sumatera Barat, PII mulai dibentuk pada tahun 1949 dalam suasana darurat menghadapi Agresi Balanda II. Di VII Koto Talago Guguk Limapuluhkota, pelajar-pelajar yang tergabung dalam organisasi “Pelajar Darurat” menerima siaran sekaligus seruan yang ditandatangani Anton Timur Djailani sebagai Ketua Umum dan Abdul Halim Tuasikal sebagai Sekretaris Jenderal PII yang berpusat di Yogyakarta. Dalam siaran dan seruan itu diharapkan pelajar-pelajar Islam di manapun berada segera membentuk organisasi PII.
Setelah mendapat siaran itu, Pelajar Darurat yang terdiri dari Ismail Hasan, Mawardi Abdul Wahid, Zainul Yasni, Safiuddin Z, Firdaus AN, Yulius Iskandar dan lain-lain kemudian membentuk kepengurusan PII Sumatera Barat dengan Ismail Hasan sebagai Ketua dan Firdaus AN sebagai Sekretaris. Pembentukan organisasi PII itu mendapat sambutan hangat dari pelajar-pelajar Islam di Sumatera Barat, terbukti dengan cepatnya berdiri cabang-cabang PII di daerah-daerah Kabupaten dan Kodya.
Dalam perkembangannya, PII Sumatera Barat setelah dibentuk terus menampakkan perannya dalam setiap perubahan-perubahan perjuangan bangsa. Anggota PII selalu ikut berperan serta membantu mempertahankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda yang ingin menghancurkannya. Bersama-sama dengan TNI, mereka ikut berjalan kaki melalui lembah-lembah, bukit-bukit dan hutan-hutan yang lebat, guna mempertahankan pemerintahan darurat. Dan sesekali mereka ikut perang gerilya, yaitu kesatuan-kesatuan kecil yang sangat mobil “menyerang” dan “hilang” dengan tiba-tiba di tempat-tempat dan saat-saat yang tiada diduga oleh musuh. Kondisi ini berlangsung sampai Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia dapat dipulihkan dan Syafruddin Prawiranegara kembali meyerahkan mandatnya ke presiden pada tanggal 13 Juli 1949. setelah mempertahankan PDRI, mereka kembali ke bangku sekolah untuk melanjudkan pelajarannya yang telah sempat terhenti.
Pada tahun 1958 ketika muncul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), anggota PII kembali turut memberikan dukungan terhadap gerakan tersebur. Mengenai keterlibatan PII dalam PRRI dapat dilihat dari penjelasan dari Adli Fauzi, seorang aktifis PII yang aktif tahun 1964 -1973 yang mendapat informasi dari senior-seniornya ketika belajar di Pondok Pesantren Darul Funun El Abbasiyah Padang Japang Guguk Limapuluhkota yang merupakan basis PII sejak tahun 1950-an sampai sekarang. Beliau mengemukakan bahwa munculnya PRRI tidak terlepas dari peran serta Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), meskipun secara kepartaian Masyumi pusat menolak bahwa PRRI adalah gerakan yang dilakukan oleh Masyumi, tapi secara personal pemimpin PRRI kebanyakan berasal dari kader-kader Masyumi. GPII merupakan organisasi yang begitu dekat dengan Masyumi, sehingga sering disebut organisasi di bawah Masyumi. Sedangkan PII adalah organisasi turunan dari GPII yang juga sering didekat-dekatkan dengan Masyumi, sehingga dikenal dengan Masyumi “celana pendek”. Melihat begitu dekatnya hubungan organisasi tersebut, hampir setiap apa yang dilakukan oleh masing-masing pihak selalu saling memberikan dukungan. Ketika Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang, kader-kader GPII, HMI dan PII menyatakan mendukung gerakan itu yang walaupun secara organisatoris tidak ada kebijakan tentang dukungan tersebut. Bentuk dukungan yang diberikan tidak hanya berupa moral tapi juga secara fisik turun ke medan pertempuran.
Dukungan yang luas terhadap PRRI juga ditunjukan oleh seluruh kalangan masyarakat termasuk mahasiswa dan pelajar. Hampir seluruh mahasiswa dan pelajar yang ada di Sumatera Barat ikut bergabung dengan PRRI, mereka menyebutnya dengan “turun karimbo”. Sementara itu dukungan juga berasal dari mahasiswa asal Sumatera Barat yang kuliah di pulau Jawa melalui aksi “pulang kampung” untuk mendaftarkan diri menjadi sukarelawan.
Setelah bergabung, mahasiswa dan pelajar itu dibekali kemampuan militer. Keberadaan mereka oleh para senior PRRI diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan seperti komandan bataliyon, kompi, staf dan sandi. Kepercayaan itu juga ditunjukkan dengan menunjuk mereka sebagai pasukan pengawal pribadi Letkol Achmad Husein (Pimpinan PRRI).
Keterlibatan mahasiswa dan pelajar Sumatera Barat sebagai salah satu kekuatan pro PRRI dilatar belakangi oleh dunia mahasiswa dan pelajar yang sering diidentikkan dengan dunia keilmuan dan menolak setiap prilaku yang irrasional, menolak tindakan-tindakan yang mendustai prinsip-prinsip kebenaran. Potensi itulah yang menyebabkan mahasiswa dan pelajar sangat peka merasakan perkembangan politik secara nasional. Sentralisasi kekuasaan telah memunculkan kesenjangan pembangunan, sehingga distribusi hasil-hasil pembangunan tidak merata, hanya menguntungkan Jawa. Pemerintah pusat diidentikkan dengan Jawa, dan lawannya adalah luar Jawa yang merasa dirugikan dalam pembangunan. Selain itu kebijakan pemerintah Soekarno lebih dekat dengan kekuasaan PKI dan membawa strategi pemerintahannya lebih condong ke negara-negara komunis. Dua persoalan ini dirasakan mahasiswa dan pelajar menyimpang dari cita-cita kemerdekaan dan karena itulah mereka mendukung perjuangan PRRI.
Kondisi politik semakin tidak terkendali setelah pemerintah pusat mengambil kebijakan mematahkan pembangkangan daerah dengan menggunakan kekuatan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Sumatera Barat sebagai basis pemberontakan daerah diserang oleh tentara pusat melalui darat, laut dan udara. Di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani akhirnya pada tanggal 17 April 1958 kota Padang berhasil dikuasai dan kemudian satu persatu basis pemberontakan jatuh ke tangan tentara pusat. Selama penumpasan PRRI telah menimbulkan kerugian yang luas bagi daerah Sumatera Barat. Banyak laskar mahasiswa, pelajar dan pemuda menjadi korban baik fisik maupun mental. Gedung-gedung, sekolah dihancurkan karena diduga sebagai basis massa PRRI. Hampir semua gedung sekolah tidak dapat digunakan untuk belajar.
Setelah gerakan PRRI dapat dilumpuhkan, mahasiswa dan pelajar yang bergerilya untuk melakukan perlawanan bersama-sama dengan rakyat di hutan-hutan selama lebih kurang dua tahun, akhirnya kembali ke kota-kota untuk kembali melanjutkan kuliah dan sekolah. Mereka memperoleh amnesti dan abolisi, sehingga membuka kesempatan bagi sebahagian dari mereka kembali ke kampus untuk meneruskan kuliah dan sekolah yang sempat terhenti. Sebahagian lagi tidak dapat melanjutkan kuliah dan sekolah karena kesulitan ekonomi yang menjerat negeri ini akibat perang saudara. Ada pula diantara mereka yang pergi merantau untuk berdagang seperti ke pulau Jawa, Medan, Pekanbaru, Dumai dan Malaysia.
Pada masa pasca PRRI, gerakan mahasiswa dan pelajar serta pemuda pada umumnya mengalami kemunduran. Kemunduran disebabkan oleh faktor kekalahan dan kesulitan ekonomi, juga diperburuk oleh tekanan politik yang semakin hari semakin agresif dari kekuatan PKI. PKI semakin leluasa mengembangkan sayapnya, karena mendapatkan kerja sama dengan divisi Diponegoro yang memegang kendali keamanan dan sekaligus pembersihan daerah dari bekas-bekas kekuatan PRRI yang belum menyerah. Sementara kekuatan politik Islam semakin terjepit. Hal ini menambah pukulan mental yang sangat serius bagi masyarakat Sumatera Barat.
Tekanan tersebut sangat dirasakan oleh organisasi-organisasi yang berideologi Islam seperti HMI, PII dan GPII, terkhusus lagi bagi organisasi yang berafiliasi atau dituduh berafiliasi dengan Masyumi. Kalau pada masa sebelum PRRI, organisasi ini memiliki kekuatan dan kebebasan untuk menegembangkan pengaruhnya, tapi kondisi setelah itu menjadi terbalik. Posisi mereka berada sebagai objek politik PKI. Kondisi demikian mendorong PII Sumatera Barat dengan berbagai pertimbangan memutuskan untuk memvakumkan kegiatannya dalam beberapa waktu.
Pada tahun 1964 atas inisiatif dari Moeslim About Ma’anny dan Mazwar M beserta pelajar-pelajar lainnya PII Sumatera Barat dinyatakan aktif kembali. Mereka melakukan berbagai gerakan dan pembinaan terhadap lahan garapannya yaitu pelajar, mereka memberikan dukungan kepada HMI yang sedang mengalami perlawanan secara terselubung dari PKI. PII juga mulai mengadakan pelatihan untuk anak SD, pembinaan TPA dan sampai pada pengkaderan pelajar SMP/SMA dan mahasiswa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan PII selalu mendapat perlawanan dari PKI, tapi tidak ada yang sampai dibubarkan atau dibasmi oleh PKI.
Sementara sikap dan aksi-aksi menentang komunis, baik secara tertutup maupun terbuka yang dilakukan PII, menyebabkan PKI menganggap bahwa PII adalah lawan yang serius dan harus dihadapi dengan sungguh-sungguh. Di dalam dokumen penting PKI yang terungkap pada akhir tahun 1964 menyatakan bahwa PII adalah musuh yang harus dihadapi dengan sungguh-sungguh.
B. Pelajar Islam Indonesia dan KAPPI Sumatera Barat
Meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 merupakan manifestasi dari konflik politik yang menimbulkan dampak yang besar terhadap munculnya semangat juang bagi mahasiswa dan palajar di Sumatera Barat. Gerakan mahasiswa dan pelajar setelah gagalnya PRRI berada dalam keterkungkungan, intimidasi dan pembunuhan karakter, muncul menjadi semangat untuk melakukan gerakan perlawanan balik. Gagalnya gerakan yang dimotori oleh PKI telah melahirkan kekuatan anti komunis yang radikal di kalangan mahasiswa dan pelajar.
Kesewenang-wenangan yang dilakukan PKI terhadap mahasiswa dan pelajar setelah gagalnya gerakan PRRI menimbulkan “dendam politik” di kalangan mahasiswa dan pelajar. Dendam politik anti komunis itu disalurkan melalui gerakan penumpasan terhadap PKI dan antek-anteknya. Aksi-aksi mereka lakukan secara rapi dan sistematis dalam sebuah wadah yang diberi nama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).
Gerakan perlawanan terhadap PKI terjadi hampir di seluruh pelosok negeri ini, aksi pembersihan memaksa sebagian besar anggota PKI dan antek-anteknya lari kehutan-hutan. Di Jakarta pada tanggal 3 dan 4 Oktober 1965 dilakukan rapat umum yang dihadiri ratusan ribu massa ummat Islam yang berasal dari massa organisasi GP Anshor, HMI, PII, IPM, Pemuda Pancasila, PMKRI, Gabiindo dan lain sebagainya. Mereka menuntut untuk segera membubarkan PKI dan antek-anteknya. Aksi ini dilanjutkan dengan melakukan perampasan dan pembakaran gedung-gedung yang semula dikuasai PKI dan satuannyam, seperti pendudukan dan pembakaran kantor Comitte Central (CC) PKI. Di Yogyakarta tanggal 6 Oktober 1965 massa HMI, PII dan ummat Islam melakukan aksi massa menuntut pembubaran PKI.
Pada tanggal 6 Oktober itu juga Presiden Soekarno mengadakan Sidang Kabinet Paripurna di Bogor, yang memutuskan agar ketertiban dan keamanan dipertahankan. Kepetusan pemerintah itu ternyata tidak dapat membendung aksi-aksi anti PKI. Pada tanggal 11 Oktober 1965 massa PII dibawah pimpinan Aziz Ati, Wahid Kudungga (PB PII), Gamsoni Yasin (PW PII Jakarta) menyerbu gedung Dewan Nasional Pemuda Rakyat di Jalan Tanah Abang III/2 A dengan cara merusak gedung dan menurunkan papan namanya serta mengancurkannya. Hari berikutnya tanggal 12 Oktober massa PII bersama-sama dengan Pemuda Pancasila menyerbu gedung SOBSI di Jalan Salemba Tengah dan mendudukinya. Di samping itu pada tanggal yang sama juga terjadi apel akbar ummat Islam di Medan yang dihadiri oleh sekitar 1.650.000 massa yang menuntut pembubaran PKI dan antek-anteknya.
Aksi serupa juga terjadi di Sumatera Barat, gerakan mahasiswa dan pelajar yang berasal dari kader-kader PII, HMI dan masyarakat luas melakukan aksi coret-coret dan penempelan pamplet yang isinya menentang PKI dan menuntut agar organisasi itu dibubarkan. Penggalangan sikap anti PKI itu dibantu militer dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada tanggal 10 November 1965 seusai peringatan Hari Pahlawan di Lapangan Imam Bonjol secara spontan dan di luar dugaan aparat keamanan, ribuan mahasiswa dan pelajar mengepung kampung Cina, Pondok. Seluruh tulisan yang menggunakan bahasa Cina diturunkan dan dihancurkan. Empat buah bangunan termasuk Chung Hwa Chung Hwi dan kantor Baperki diduduki. Massa kemudian bergerak ke Jalan Ahmad Yani, dan mereka menduduki kantor Front Nasional (sekarang Rumah Dinas Walikota). Gedung itu selanjutnya dijadikan markas KAPPI Konsulat Sumatera Barat, KAPPI Padang dan sekretariat LKAAM.
Pembentukan KAPPI Sumatera Barat yang berpusat di dua kota, yaitu Padang dan Bukittinggi tidak bisa dilepaskan dari peran serta kader-kader PII. Aktivis PII di Sumatera Barat telah menerima berita tentang demonsrtasi menuntut pembubaran PKI dan berikutnya menyusul instruksi agar dibentuk perwakilan KAPPI di daerah-daerah.
Pada awal pembentukannya di Padang, KAPPI hanya beranggotakan organisasi intra sekolah (OSIS) yang mewakili sekolah masing-masing, ternyata mereka kebanyakan berasal dari kader-kader PII. Dalam pertemuan berikutnya keanggotaan meluas dengan diperbolehkannya organisasi ektra sekolah menjadi anggota KAPPI. Organisasi-organisasi yang ikut bergabung di antaranya IPNU, PII, GSNI, IPM, IPE, PErsatuan Pelajar Siswa Katholik dan Serikat Pelajar Muslim Indonesia (SEPMI).
Sementara itu di daerah-daerah lain seperti Bukittinggi dan Payakumbuh, keanggotaan KAPPI berasal dari organisasi ekstra dan intra sekolah. Pembentukannya diprakarsai oleh kader-kader PII yang kemudian dipilih menjadi pengurus KAPPI di masing-masing daerah tersebut, seperti Binahar Daut, Makmur Hendrik, dan Ismukhtar di Bukittinggi dan Adli Fauzi dan Risman Mukhtar di Payakumbuh.
Gerakan yang dilakukan KAPPI di setiap daerah memiliki kesamaan, mereka menyerang pusat-pusat yang menjadi basis PKI dan menguasai gedung-gedung milik PKI. Fenomena yang terjadi di Payakumbuh, kampung Cina menjadi tempat amuk massa kader-kader organisasi anggota KAPPI. Mereka meguasai markas PKI yang terdapat di sana dan kemudian dijadikan sebagai Kantor KAPPI Payakumbuh. Penyerangan tidak hanya dilakukan pada basis PKI tapi juga memburu anggota-anggota yang diduga sebagai penganut PKI, sehingga dengan gerakan ini banyak orang-orang China yang termasuk anggota PKI yang melarikan diri keluar kota. Gerakan tahun 1966 ini kemudian dikenal dengan “peristiwa 66 berdarah”.
Di Bukittinggi tidak jauh berbeda dengan Payakumbuh, kampung Cina menjadi tempat amuk massa anggota KAPPI. Dalam melakukan itu massa di kejutkan dengan bunyi tembakan yang datang dari arah aparat keamanan. Tembakan itu ternyata mengenai kepala bagian belakang salah seorang anggota KAPPI yang juga kader PII yang bernama Achmad Karim. Kejadian itu menyebar begitu cepat ke seluruh anggota KAPPI, ribuan anggota KAPPI yang berasal dari seluruh Sumatera Barat dan massa KAMI berdatangan ke Bukittinggi untuk menunjukkan rasa simpati. Mereka menuntut pertanggung jawaban pihak keamanan atas insiden tersebut dan sekaligus meminta pemerintah supaya Achmad Karim dinyatakan sebagai Pahlawan Ampera dan dikebumikan di taman makam pahlawan secara militer dengan penghargaan layaknya seorang pahlawan.
Dalam gerakan selanjutnya KAPPI terus melakukan berbagai usaha sampai dipenuhinya segala tuntutan yang dilemparkan. Di samping mengusut secara tuntas kematian Achmad Karim, mereka juga aktif melakukan operasi “Bakti dan Budhi” bersama kader-kader KAMI. Operasi itu melakukan pembersihan pejabat pemerintahan dari orang-orang yang diduga terlibat dalam PKI. Usaha ini terus dijalankan sampai pada periode awal pemerintahan Orde Baru terbentuk.
C. Pelajar Islam Indonesia Sumatera Barat menjelang Asas Tunggal
Peride awal pemerintahan orde baru, kegiatan yang diadakan oleh PII secara nasionalselalu mendapat dukungan dari pemerintah tanpa ada hambatan. Kondisi ini berlangsung sampai upaya yang dilakukan pemerintah masih berjalan menurut cita-cita pembaharuan yang baru dilahirkan.
Banyak pihak yang berharap orde baru akan mnghembuskan angin segar, terutama bagi tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat. Tapi sebaliknya, orde baru yang didominasi oleh kekuatan ABRI banyak melakukan upaya rekayasa yaitu dengan depolitisasi dan deideologi.
Depolitisasi yang dilakukan pemerintahan orde baru bertujuan mengendalikan massa pada satu tangan (one pilitical system). Dalam kontek ini, semua organisasi yang memiliki kesamaan corak dan profesi diharuskan untuk berfusi (bergabung). Tahun 1973 partai politik yang sebelumnya berjumlah 10 partai difusikan, diantaranya NU, Parmusi, PSII, dan Perti dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Begitupun halnya dengan organisasi sosial politik yang beraliran nasionalisme dan beberapa partai politik Kristen digabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara Golkar meskipun tidak menggunakan istilah partai politik, akan tetapi fungsi dan perannya sam dengan partai politik. Golkar selanjudnya memiliki peran ganda, satu sisi ia merupakan alat penekan dan menjadi tulang punggung pemerintah dan pada posisi lainnya ia dijadikan penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Golkar dijadikan sebagai partainya partainya penguasa yang didukung oleh kekuatan militer, birokrasi pemerintah, dan organisasi profesi yang sengaja dibentuk untuk mendukung kerja partai.
Sementara itu organisasi-organisasi profesional, kepemudaan dan lain-lain dikontrol, diarahkan dan “dibina” oleh pemerintah. Organisasi buruh disatukan dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), para petani dihimpun dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), kelompok pedagang dan wiraswasta digalang dalam Kamra Dagang dan Industri (KADIN), para pemuda disatukan dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), ulama dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), wartawan salam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan seterusnya.
KNPI yang dijadikan penghimpun organisasi kepemudaan dilahirkan oleh penguasa dengan cara yang tidak demoratis dan aspiratif dan cendrung hanya untuk kepentingan poltik tertentu (Golkar), maka berdasarkan ini PII mengambil sikap tidak ikut serta secara organisatoris dalam KNPI. Untuk itu PB PII mengirim surat bernomor: PB/Sek/391/1974 tentang hal penjelasan kedudukan KNPI dimata PII ke seluruh PW PII setanah air. Dalam surat itu dijelaskan PII tidak ikut secara organisatoris dalam KNPI dan menghimbau pimpinan dan kader PII disetiap eselon untuk tidak aktif dalam kepengurusan/anggota KNPI.
Kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru diatas dinilai mahasiswa dan pelajar sudah lari dari prinsip-prinsip demokrasi. Penilaian ini menjadi titik awal pecahnya bulan madu pemerintah Soeharto dengan mahasiswa dan pelajar. Perselisihan tersebut ditandai dengan peristiwa Malari tanggal 15 Januari 1974, dimana pemerintah melakukan pengendalian yang sistematis terhadap dinamika politik nasional. Bagi PII dengan penolakan bergabung dengan KNPI menandainya dimulai persinggungan dengan pemerintah. Situasi ini diperburuk ketika PII mengeluarkan pokok-pokok pikiran pada tanggal 25 Agustus 1973 tentang perlawanan terhadap Rencana Undang-Undang Perkawinan (RUUP). Menurut PII, RUUP yang diajukan pemerintah ke DPR lebih cendrung isinya kepada ajaran Kristen dan sekuler yang bertentangan dengan ajaran Islam. PII kemudian memprakarsai pembentukan Badan Kontak Generasi Pelajar Islam (BKGPI) yang diketuai oleh Achmad Y. Aloetsyah (PII). Usaha BKGPI dilakukan dengan berdemonstrasi ke DPR untuk menggagalkan pengesahan RUUP tersebut. Meskipun akhirnya RUUP ini tetap disyahkan, tapi telah melalui revisi-revisi.
Persinggungan antara pemerintah dengan mahasiswa dan pelajar tidak hanya sampai disitu, pemerintah makin leluasa memainkan depolitisasinya dengan membatasi ruang gerak organisasi ekstra. Di sekolah-sekolah tidak dibenarkan ada organisasi ekstra kecuali Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan di perguruan tinggi tidak dibenarkan ada organisasi ekstra kecuali merujuk pada konsep NKK/BKK tahun 1978. penerapan ini berdampak padaorganisasi ekstra mahasiswa dan pelajar Islam seperti HMI dan PII. Mereka mengalami kemunduran di dalam aktifitasnya dan lambat laun organisasi-organisasi ini mulai ditinggalkan oleh mahasiswa dan pelajar, karena disibukan dengan urusan kampus dan sekolah.
Puncak kebijakan politik pemerintah tercipta ketika menjadikan Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum yang kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 3 dan UU No. 8 / 1985 tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas dan setiap organisasi kemasyarakatan harus meletakkan Pancasila sebagai landasan organisasinya. Bagi yang tidak, organisasi itu dinyatakan sebagai organisasi yang terlarang. Tapi lagi-lagi PII menentang kebijakan itu dengan tidak mau menyesuaikan diri pada undang-undang tersebut, sehingga akhirnya PII dibubarkan oleh pemerintah. Kondisi yang sama juga terjadi pada organisasi Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) yang tetap mempertahankan ajaran-ajaran markhaenisme sebagai asas organisasinya dan kemudian organisasi ini juga dibubarkan oleh pemerintah.
Di Sumatera Barat perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dilakukan PII tidak begitu kentara, sikap perlawanan mereka tergambar dari diskusi-diskusi dan tulisan-tulisan kadernya di media massa. Perlawanan itu tidak konfrontatif karena begitu ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang menjadi tulang punggung penguasa.
Disamping mengadakan perlawanan terhadap kebijakan penguasa tersebut diatas, mereka juga tidak melupakan kerja pokoknya. Bagi kader-kader PII mengkritik dan menyatakan tidak sesuai dengan apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai Islam adalah sebuah keharusan dan dinilai sebagai ibadah. Meskipun mereka begitu gencar mengkritik pemerintah, namun mereka tidak melupakan tugas utamanya yaitu pembinaan terhadap pelajar dan generasi muda.
Mereka melakukan berbagai macam kegiatan, diantaranya:
1. Trainning pengkaderan PII, antara lain:
→ Trainning konvensional :
Lidearship Basic Trainning (LBT)
Lidearship Mental Trainning (LMT)/Perkampungan Kerja Pelajar (PKP)
Leadership Advansce Trainning (LAT)
Pendidikan Instruktur (PI)
→ Trainning inkonvensional (kursus-kursus):
Studi Islam Awal Mula (SIAM) I dan II
Forum Perkenalan Anggota (Foperta)
Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK)
Latihan Kader Tunas (LKT)
Forum Paju Study (Forpasdi)
Ta’lim-ta’lim atau tarbiyah-tarbiyah dan lain-lain.
2. Kegiatan di bidang keagamaan:
→ Mengadakan pembinaan-pembinaan TPA-TPA
→ Melatih didikan-didikan Shubuh dan sesekali diadakan lomba antar didikan Shubuh antar Masjid.
→ Memberikan ceramah-ceramah agama ke masjid-masjid
→ Melatih seni baca Al qur’an (mengaji irama)
→ Mengkaji Tafsir Al qur’an dan lain-lain.
3. Kegiatan di bidang penalaran:
→ Melakukan seminar-seminar, diskusi-diskusi dan sarasehan
→ Mengadakan kursus-kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris dan lain-lain.
4. Kegiatan di bidang keolahragaan:
→ Mengadakan pertandingan olah raga antar pelajar
→ Melaksanakan latihan bela diri dan lain-lain.
5. Kegiatan di bidang kesenian:
→ Mengadakan lomba kesenian antar pelajar
→ Mengadakan pementasan teater, puisi, drama dan lain-lain.
Tapi akibat tindakan PII yang menentang kebijakan pemerintah, memberi pengaruh terhadap pelaksanaan acara-acara yang diadakan tersebut. Hampir setiap acara yang diadakan PII selalu mendapat pengawasan pemerintah melalui aparat keamanan, mereka dituduh sebagai perpanjang tanganan PPP dan diduga dalam pelasanaan acara ada unsur politik yang dikembangkan, seperti yang terjadi pada acara LBT PII yang diadakan di Payakumbuh pada tahun 1977 dan acara yang sama di Padang Panjang tahun 1984, aparat mendatangi acara karena diduga acara yang diadakan itu terselip kegiatan politik. Tapi setelah diberi keterangan dan pemerinksaan langsung pihak aparat tersebut, acara itu tetap terus dijalankan.
Meskipun sering dituduh acara yang diadakan ada unsur politik, tak membuat kader-kader PII patah semangat. Mereka tetap eksis melakukan kegiatan-kegiatan. Meskipun demikian PW PII agak mengalami kesulitan memperluas gerakan PII kaderah-daerah lainnya. Tapi PD PII yang ada seperti PD PII Kabupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh, PD PII Kabupaten Agam/Kodya Bukittinggi, PD PII Kodya Padang Panjang, PD PII Istimewa Diniyah Putri Padang Panjang dan PD PII Kodya Padang tetap berkegiatan dan hampir mereka memiliki PK PII di sekolah-sekolah yang ada di daerahnya masing-masing. Setiap pelaksanaan acara pengkaderan PII, peserta yang ikut selalu ramai dan setiap acara rata-rata pesertanya berjumlah 200-400 orang. Peserta ini merupakan siswa-siswa yang terpilih di sekolahnya, mereka termasuk pengurus OSIS dan dapat renking dikelasnya. Tapi kondisi ini tidak terjadi di PD PII Kabupaten Padang Pariaman dan PD PII Kabupaten/Kodya Solok, mereka mengalami kemandekan dalam berkegiatan karena tidak jalannya kaderisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar