INTEREST(BUNGA) DALAM PANDANGAN AGAMA
Masyarakat madani yang ideal memiliki karakteristis yang selalu menonjolkan kehidupan yang berkeadilan sosioekonomi. Keadilan sosioekonomi akan menjangkau seluruh aspek kehidupannya baik sosial, ekonomi dan politik. Suatu institusi yang salah tentu akan mempengaruhi institusi yang lainnya. Bahkan dalam bidang bisnis dan ekonomi, semua harus menyatu dengan prinsip keadilan sehingga seluruh element akan terdorong untuk bersikap yang sama bukan malah sebaliknya, menyuarakan ketidak adilan sosioekonomi.
Salah satu ajaran Islam yang paling esensial dalam menegakkan keadilan dan menghapus segala bentuk eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah dengan melarang semua bentuk peningkatan kekayaan secara tidak adil (akl amwaalan-naas bil-bathil). Al Qur’an dengan tegas melarang kaum muslimin mengambil harta yang bukan hak miliknya dengan cara yang bathil atau dengan cara yang tidak benar (Al Baqoroh; 188, Annisa’; 161, at-Taubah; 34). Kata-kata ”bathil” didevenisikan sebagai hal-hal yang tidak dibenarkan cara memperolehnya dalam Islam. Menurut para ulama yang tidak dibolehkan itu adalah sesuatu yang mengandung : riba/bunga, ghoror dan khamar.
Bunga menurut para ulama bermakna tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangan pemanfa’atan / hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka dan pada umumnya berdasarkan persentase. Sedangkan menurut pandangan kaum Kristiani bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Kalau melihat makna bunga itu maka dapat dipastikan bahwa bunga tersebut adalah riba, dan riba hukumnya adalah haram.
Merujuk kepada pengertian bunga di atas, kalau kita meninggalkan sejenak aturan-aturan agama dengan melihat berdasarkan fikiran kemanusiaan, muncul pertanyaan di kepala kita. Apakah pembayaran bunga atas uang pinjaman merupakan hal yang wajar?, adilkah bila seseorang yang memberi pinjaman (kreditor) menuntut pihak yang berhutang (debitor) membayar bunga atas hutangnya?, sebaliknya, adilkah bila seseorang yang berhutang diminta membayar bunga sehingga ia harus mengembalikan uang lebih banyak dari yang dipinjamnya?.
Orang yang berhutang sudah tentu berada pada kondisi yang memerlukan bantuan atau boleh dikatakan terjepit. Sekarang kalau difikir secara rasional memberikan bantuan berupa pinjaman kepada orang yang berada pada kondisi tersebut adalah sesuatu yang tidak lagi berperikemanusiaan karena sudahlah orang berada dalam kesusahan diberatkan pula dengan besarnya jumlah yang harus ia bayar dibandingkan dengan jumlah uang yang ia pinjam. Tapi karena sipeminjam sangat memerlukan bantuan tersebut tanpa pikir panjang ia menyetujui besarnya bunga yang harus ia bayar.
Kalau uang yang dipinjam itu digunakan untuk membuka usaha, apakah mungkin dana itu akan selalu memberikan keuntungan dalam pengelolaannya dalam setiap priode pembayaran yang disepakati, sedangkan manusia tidak ada yang mengetahui apa yang bakalan terjadi untuk yang masa datang. Jikalau usaha yang dibuka tersebut mengalami kerugian, berapa beban yang harus ditanggung oleh sipeminjam, belum lagi biaya-biaya produksi yang harus dikeluarkan ditambah dengan besarnya jumlah tagihan hutang, ini cukup memberatkan bagi sipeminjam. Sedangkan kreditor tanpa mengeluarkan keringat setetespun akan mendapatkan pemasukan yang jumlahnya rumayan besar. Maka benarlah apa yang dikemukakan oleh pemuka agama baik dari Islam maupun agama lainnya yang menyatakan bunga hanya akan menjadi sarana untuk mengeksploitasi golongan yang berada dalam kesulitan (miskin).
Masalah kedudukan bunga masih menjadi perdebatan dikalangan para ulama. Para ahli bungapun berbeda pandangan soal alasan untuk apa bunga harus dibayarkan. Sebagian mengatakan bunga merupakan harga. Namun harga untuk apa? Benda berharga apakah yang dibayar oleh pemberi pinjaman (kreditor) sehingga ia menuntut imbalan uang setiap bulannya ataupun setiap tahun? Para pelopor institusi tidak menemukan kata sepakat tentang masalah ini.
Pendapat yang membolehkan bunga bank
a. Teori Abstinence
Pelopor teori ini menegaskan bahwa ketika kreditor menahan diri (abstinence), ia menangguhkan keinginannnya memanfa’atkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Maka wajarlah kreditor mendapatkan imbalan berupa bunga atas uang yang ia pinjamkan.
Sekarang benarkah bunga merupakan imbalan karena menahan diri? Kenyataannya, kreditor hanya akan meminjamkan uangnya yang berlebih dari keperluannya. Dengan demikian kreditor tidak menahan diri atas apapun. Di samping itu tidak ada standart yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaan dari teori abstinence. Kalaupun ada, bagaimana menentukan suku bunga yang adil antara kreditor dengan sipeminjam?.
Dalam tinjauan syari’ah “unsur penundaan konsumsi” ataupun penundaaan investasi tidak dapat dijadikan ‘illat dalam penetapan hukum. Para ulama merumuskan bahwa “salah satu syarat ‘illat hukum (argumentasi hukum) adalah sifatnya jelas, dhahir, tetap/konsisten”.
b. Bunga Bank Sebagai Imbalan Sewa
Penganut pandangan ini meletakan semua yang disewakan menperoleh bunga karena terjadi penyusutan, rusak dan memerlukan perawatan. Mereka menyamakan antara barang dengan uang, sedangkan uang tidak dapat dimasukkan kategori tersebut. Karena itu menuntut sewa uang tidak beralasan.
Dalam disiplin ilmu ekonomi konvensional kita sering kali mendapatkan rumus yang menempatkan posisi rent, wage dan interest;
{(r) K; (w) L; (i) M} dimana :
(r) K berarti rent untuk Kapital
(w) L berarti wage untuk Labour
(i) M berarti interest untuk money
Rumus di atas menunjukan bahwa padanan rent/sewa adalah asset tetap dan asset bergerak. Sementara interest (bunga) padanannya uang. Maka amatlah keliru bila menempatkan rent untuk uang, karena uang itu bukan asset tetap seperti rumah atau asset bergerak seperti mobil yang dapat disewakan.
c. Produktif-Konsumtif
Pinjaman produktif memiliki dua kemungkinan; memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika kreditor mengalami kerugian, dasar apa yang membenarkan debitor mengambil keuntungan dari pinjaman ?. Coba kita bayangkan, seandainya kreditor diminta untuk menjalankan usahanya sendiri apakah dapat dijamin bahwa dia pasti dan selalu untung, minimal sekian persen dalam keadaan bagaimanapun termasuk dalam keadaaan krisis? Jelas jawabannya tidak. Tetapi kenapa ia mewajibkan keuntungan minimal bagi orang lain? Sedangkan ia sendiri tidak mampu untuk melakukannya. Apabila keuntungan yang diperoleh sama atau kurang dari nilai bunga yang mesti dibayar tiap bulan atau tahun, maka bagaimana kreditor dibenarkan untuk mengambil bagiannya? ia sendiri tidak melakukan apa-apa, sedangkan peminjam yang bekerja keras, meluangkan waktu, tenaga tidak memperoleh apa-apa.
Kreditor harus jujur dalam memberikan pinjaman apakah tujuan untuk membantu atau untuk berbisnis ? Dalam Islam masing-masingnya telah ada babnya. Seandainya membantu yang berlaku adalah qardhul hasan (pinjaman kebajikan), tapi kalau berbisnis maka babnya sangat banyak baik secara jual beli, bagi hasil, sewa, dan lain-lain.
d. Opportunity Cost
Pelopor pemikiran ini beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti kreditor menunggu dan menahan diri untuk tidak menggunakan modal sendiri guna memenuhi keinginan diri sendiri. Hal itu serupa dengan memberikan waktu kepada peminjam, dengan waktu itulah peminjam memiliki kesempatan menggunakan modal. Menurut mereka besar kecilnya keuntungan ditentukan oleh waktu dan kreditor berhak mengenakan harga sesuai dengan lamanya waktu pinjaman.
Pandangan ini lagi-lagi keliru, bagaimana kreditor dapat memastikan bahwa peminjam nyata-nyata memperoleh keuntungan dari investasi modal pinjamannya, dasar apa yang membuatnya beranggapan bahwa peminjam akan memperoleh keuntungan secara tetap sehingga ia merasa berhak meminta bagian dari keuntungan itu? Bagaimana pula kreditor dapat meyakini bahwa debitor akan selalu memperoleh keuntungan setiap bulan atau tahun sehingga ia dianggap sanggup membayar harga tertentu secara pasti setiap bula atau tahunnya?.
e. Teori Kemutlakan Produktifitas Modal
Menurut pandangan ini, modal adalah produktif dengan sendirinya. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan nilai tambah. Dengan demikian debitor layak untuk mendapatkan bunga. Tetapi benarkah modal selau produktif? Kenyataanya, modal menjadi produktif apabila digunakan seseorang untuk berbisnis yang dapat mendapatkan keuntungan. Bila digunakan untuk tujuan konsumsi, modal sama sekali tidak produktif. Bila digunakan untuk usaha produktifpun, modal tak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi merosot, pananaman modal sering menepis keuntungan dan dalam beberapa kasus keuntungan berubah menjadi kerugian.
f. Teori Nilai Uang Pada Masa Mendatang Lebih Rendah Dibanding Masa Mendatang
Boehm Bawerk, pendukung pendapat ini menyatakan tiga alasan mengapa nilai barang diwaktu mendatang akan berkurang :
☻ Keuntungan di masa mendatang diragukan karena disebabkan oleh ketidak pastian peristiwa serta kehidupan manusia yang akan datang, sedangkan keuntungan sekarang sangat jelas dan pasti.
☻ Kepuasan di masa kini lebih bernilai dari pada masa mendatang, di masa datang mungkin saja seseorang tidak memiliki kehendak seperti sekarang.
☻ Barang-barang masa sekarang lebih penting dan berguna serta lebih bernilai tinggi jika dibanding barang-barang pada waktu mendatang.
Alasan-alasan tersebut menyakinkan mereka bahwa keuntungan pasti masa sekarang jelas lebih diutamakan dari pada keuntungan masa mendatang. Dengan demikian modal yang dipinjamkan sekarang lebih bernilai tinggi dibanding uang yang akan dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga menurut mereka merupakan nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjam agar pembayarannya sama dengan bilai modal pinjaman semula. Dengan kata lain bunga serupa dengan perbedaan psikologis barang-barang masa kini dengan barang-barang pada masa mendatang dan bukan perbedaan ekonomis.
Pendapat ini bukan tidak ada kelemahan, benarkah manusia menganggap masa sekarang berharga dibanding masa mendatang? Kenapa manusia tidak membelanjakan semua uangnya masa sekarang, kenapa justru disimpan buat persediaan masa mendatang? Banyak orang menahan keinginannya sekarang buat kebahagiaan masa datang, padahal mereka tidak mengetahui apa yang bakalan terjadi pada mendatang itu.
Islam sangat menghargai waktu, tetapi penghargaan itu tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu atau persentase bunga tetap.karena hasil yang nyata dari optimalisasi waktu tergantung jenis usaha, sektor industri, lama usaha, keadaan pasar dan lain-lain termasuk siapa pengelolanya. Oleh karena itu Islam merealisasikan penghargaan terhadap waktu dalam bentuk kemitraan dan nisbah bagi hasil yang semua pihak sharing the risk and profit secara bersama.
g. Inflasi
Inflasi secara umum sering difahami meningkatnya harga barang secara keseluruhan dan menurunya daya beli uang (decreasing purchasing power of money). Oleh karena itu menurut penganut ini, pengambilan bunga uang sangatlah logis sebagai konpensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.
Argumentasi ini cukuplah logis jika seandainya dunia ekonomi hanya yang terjadi inflasi saja tanpa ada deflasi. Kadangkala tingkat deflasi jauh lebih tinggi dibanding inflasi. Makanya dalam Islam kaidah ushul fiqih mengemukakan bahwa inflasi tidak dapat dijadikan ’illat dalam menetapkan suatu hukum.
h. Bunga dan Egoisme Moral-Spiritual
Maulana Maududi dalam bukunya Riba menjelaskan institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan. Bunga akan menyengsarakan dan menghancurkan masyarakat melalui pengaruhnya terhadap karakter masyarakat. Bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan peraturan Alllah. Maududi menambahkan, bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan sempit serta berhati batu. Seseorang yang membungakan uangnya cendrung bersikap tidak mengenal belas kasihan.
Bunga Dalam Perspektif Non-Muslim
Bunga / riba bukan hanya persoalan umat Islam, tetapi berbagai umat yang lainnya juga memandang serius praktek bunga/riba tersebut. Berikut bagaimana pandangan non-muslim dalam memandang bunga/riba, diantaranya :
1. Konsep bunga menurut kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud.
Kitab Exodus (Keluaran ) pasal 22 ayat 25 menyatakan :
"Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.“
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan :
"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan."
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan :
"Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta bunga."
2. Konsep bunga menurut kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani sekitar abad V SM – IV M telah terdapat undang-undang yang membenarkan memngambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga selalu berubah-rubah sesuai dengan waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegitan pengambilan bunga tidak diperbolehkan, tapi pada masa Unciaria (88 SM) prektek tersebut dibolehkan lagi seperti semula. Namun demikian praktek pengambilan bunga dicerca oleh ahli filsafat Yunani, diantaranya : Plato (427-347 SM), ia mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan, yaitu : bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat dan bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan uang adalah sebagai alat tukar (medium exchange). Uang bukan alat untuk mengahasilkan lewat bunga. Ia juga menyebutkan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Jadi pengambilan bunga merupakan sesuatu yang tidak adil.
Ahli filsafat Romawi, Cato (234-149 SM), ia memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman ; pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas. Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Sedangkan Cicero (106-43 SM) memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan; memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Ringkasnya ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bunga sesuatu yang hina dan keji.
3. Konsep bunga menurut kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas, namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”'
Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam.
St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
☻ Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
☻ Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
☻ First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut : pertama, bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Kedua, mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ketiga, keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Keempat, bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Kelima, harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : pertama, niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Kedua, mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain :
* Dosa apabila bunga memberatkan.
* Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
* Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
* Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin, mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
Bunga Dalam Padangan Islam
Menurut penelitian Prof. Dr. M. Akram Khan dan Prof. Dr. M. Umer Chapra ahli ekonomi Islam (Ulama yang pakar Ekonomi) telah berijma’ tentang keharaman bunga bank (The Future of Islamic Economics). Pendapat ini juga diperkuat oleh Prof.Dr.Yusuf Qardhawi yang menulis : “Sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank (mereka terdiri dari ahli fikih, ahli ekonomi dan ahli keuangan dunia) tak seorang pun yang membantahnya. Saya benar-benar menyaksikan, bahwa para ahli ekonomi Islam justru lebih bersemangat dari ahli fikih sendiri” (sumber, Prof.Dr.Muhammad Ali Ash-Shobuni dalam buku Jarimat ar-Riba).
Pendapat ulama-ulama di atas didukung oleh ulama lainnya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa tentang haramnya bunga bank, diantaranya :
• Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih Sidoardjo (1968) memutuskan :
☺ Riba hukumnya haram dengan Al Qur’an dan Hadits.
☺ Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
☺ Bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya termasuk perkara mutasybihat.
• Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhotul Ulama
Lajnah NU berbeda pendapat memandang bunga bank, ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Tapi keputusan Lajnah lebih condong kepada mengharamkan bunga bank seperti pada hasil keputusan sidang di Bandar Lampung (1982) dengan menyarankan kepada PB NU untuk membentuk lembaga keuangan yang bersifat Islami.
• Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi Pakistan, Desember 1970 telah menyepakati : praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari’at Islam dan untuk itu perlu didirikan bank yang berjalan sesuai dengan prinsip Islam (berdiri Islamic Development Bank/ IDB).
• Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulam besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) yang berkumpul di Universitas Al azdhar Kairo tahun 1965 memutuskan tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan pada bank konvensional.
Pada dasarnya keharaman bunga bank menurut ijma’ ulama di atas dikarenakan oleh praktek bunga bank itu termasuk kedalam riba. Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? Hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. Jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. Dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. Maka dengan dasar itulah kenapa riba itu diharamkan oleh Islam.
Ketentuan haramnya riba mengacu pada Al Qur’an dan Hadits, diantara ; “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar Rum; 39).
“Dan disebabkan mereka memakan riba (bunga) padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu azab yang pedih.” (QS. An Nisaa’ : 161).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba (bunga) dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran; 130).
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba (bunga) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kesurupan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah dikarenakan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu berhenti (tidak mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka ia adalah penghuni neraka; ia kekal di dalamnya (275).”
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedaqoh. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (276).”
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal sholeh, menegakkan sholat dan membayar zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi tuhannya. Tidak ada kekhawatiran atas mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. (277)”
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278).”
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba/bunga) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu berthobat (dari pengambilan riba/bunga) bagimu pokok hartamu; kamu tidak teraniaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al Baqorah; 279).
Sedangkan Hadits yang berhubungan dengan bunga/riba, yaitu :
Dari Jabir r.a., Rasulullah SAW bersabda “Terkutuklah orang yang menerima dan membayar riba (bunga), orang yang menulisnya dan dua orang saksi yang menyaksikan transaksi itu.” Beliau lalu bersabda “Mereka semua sama (dalam berbuat dosa).” (HR. Muslim, Tirmizi dan Masnad Ahmad).
Dari Abdullah bin Hanzalah, Rasulullah SAW bersabda “Satu dirham riba yang diterima seseorang dan dia tahu, adalah lebih buruk dari pada berzina 36 kali.” (HR. Ahmad & Daruquthni).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Pada malam aku dimi’rajkan aku melihat sekumpulan orang yang perutnya seperti rumah dengan ular-ular yang terlihat dari luar. Aku bertanya kepada Jibril, Siapakah mereka ? Dia menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba (bunga).” (HR. Ibnu Majah & Ahmad).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “ Riba memiliki tujuh puluh cabang (dosa), yang paling kecil adalah setara dengan seseorang yang menzinai ibunya sendiri.” (HR. Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Allah tidak akan memasukkan ke dalam syorga atau tidak mencium baunya empat golongan manusia, orang yang minum minuman memabukkan secara kebiasaan, orang yang mengambil riba, orang yang mengambil harta anak yatim dengan cara batil dan orang yang durhaka kepada orang tua.nya” (Mustadrak al-Hakim, Kitabul Buyu’).
Jenis-Jenis Riba
1. Riba Fadhl
Riba fadhl disebut juga riba buyu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi criteria kualitasnya, sama kualitasnya, dan sama penyerahannya. Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan dzalim bagi masing-masing pihak.
Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasuk di antaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan itu bukan gaya hidup kaum muslimin. Oleh karena itu, Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas dan perak tersebut yang akan dibayar dengan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi yang terjadi bukan jual beli, tetapi pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak.
Perhiasan perak dengan berat setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual kaum Muslimin kepada kaum Yahudi dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nnilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham)
Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda:
“ Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda : Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, perak dengan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelabihannya adalah riba, korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba.”(Riwayat Muslim)
Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadi riba (al rama). Seorang bertanya; wahai Rasul: bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW: “Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR.Ahmad dan Thabrani).
Dalam perbankan konvensional, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai atau spot.
2. Riba Nasi-ah
Riba nasi-ah juga disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Riba nasi-ah ditemui pada bunga kredit, bunga deposito, bunga tabungan dan bunga giro.
Nasi-ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang ribawi lainnya. Riba nasi-ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi untung (al ghunmu) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu.
Padahal bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu di luar kewenangan manusia adalah bentuk kedzaliman (QS.Al Hasyr: 18 dan QS Luqman: 34).Pertukaran kewajiban menanggung beban ini dapat menimbulkan tindakan dzalim tidak hanya kedua pihak yang melakukan transaksi tetapi juga pihak di luar mereka.
Dalam perbankan konvensional, riba nasi-ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit, bunga deposito, bunga tabungan, dan giro.
4. Riba Jahiliyah
Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi produk pinjaman, karena peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.
Riba Jahiliyah dilarang karena pelanggaran kaidah “Kullu Qardin Jarra Manfa ah Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba).
Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi-ah, dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurthuby menjelaskan: “Pada jaman jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada debitur: “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai ketentuan baru. (Tafsir Qurthubi, 2/1157).
Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.
Dampak bunga terhadap Investasi
Menurut Aliran Klasik, interest rate merupakan kompensasi atas saving yang masyarakat lakukan. Keynes berkesimpulan bahwa tingkat investasi yang dilakukan berbanding terbalik dengan Interest rate. Jika Interest Rate tinggi maka investasi akan berkurang dan sebaliknya.
Selain itu, suku bunga ribawi juga berpengaruh terhadap ketidakstabilan ekonomi dunia. Menurut Umar Chapra tingginya volatisitas dari suku bunga mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertanty) dalam financial market sehingga investor tidak berani melakukan investasi jangka panjang. Akibat ketidakpastian ini membawa borrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman dan investasi jangka pendek. Pada akhirnya investasi jangka pendek yang berkaitan erat dengan spekulasi lebih menarik, sehingga masyarakat lebih senang mengambil keuntungan pada pasar komoditas, saham, valas dan keuangan. Keadaan ini menjadikan pasar-pasar tersebut semakin ramai dan merupakan salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi.
Sebaliknya, sistem keuangan dan ekonomi yang meninggalkan riba dengan menghindari penggunaan suku bunga (interest rate), dan menerapkan prinsip profit and loss sharing (bagi hasil) pada financial intermediation yang lebih adil dapat menciptakan perekonomian yang lebih stabil dan efisien yang mengeliminir dan melarang kegiatan non produktif, haram (non halal), dan spekulatif hingga menghasilkan peningkatan dalam pemerataan pemanfaatan resources, mengurangi tekanan inflasi, menganggulangi krisis ekonomi dan memudahkan pencapaian tujuan-tujuan ekonomi
Kurva
Semakin Tinggi interest rate (bunga) maka investasi semakin menurun.
Ketika suku bunga 20, investasi 300, dan Ketika bunga 40, investai 100
Kecendrungan Investasi
Kurva
Tergambar : Tingkat bunga 50 %, menyebabkan kecendrungan investasi 0
Jika tingkat bunga 25 %, maka investasi 50 dan dana yang beku 50 %
Kecendrungan usaha
Kurva
Tergambar : Tingkat bunga 50 %, menyebabkan kecendrungan Jumlah Pengusaha 0
Jika tingkat bunga 45 %, maka JP 15 (a’) ,jika bunga 25, JP 50 (b’) dan posisi optimal JP 100 (c) jika bunga nol. Posisi dana yang tidak tersalurkan cukup besar 50 %, jika tingkat bunga 25.
Bunga Bank dan Bagi Hasil
Bunga Bagi Hasil
a. Penentua bunag dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
b. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal yang dipinjamkan)
c. Pembayaran tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
d. Jumlah pembayaran bunag tidak meningkat sekalipun kedaan perekonomian sedang ’Booming’.
e. Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama a. Penentuan besarnya nisbah /bagi hasil ditentuka saat akad, denga berpedoman pada kemungkinan untung/rugi
b. Rasio bagi hasil tergantung besarnya keuntungan
c. Jika usaha merugi maka kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak
d. Pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan
e. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Bunga sesungguhnya merupakan sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Dalam perekonomian Islam, sektor perbankan tidak mengenal instrumen suku bunga, namun sistem pembagian keuntungan (profit and loss sharing). Dari beberapa literatur menunjukkan bahwa tidak ada teori bunga murni yang mampu membuktikan bahwa bunga diperlukan dalam suatu perekonomian.
Fungsi kebijakan moneter adalah pengaturan jumlah uang beredar. Instrumen moneter dalam perekonomian modern adalah operasi pasar terbuka, tingkat suku bunga dan cadangan wajib dalam sektor perbankan. Dasar pemikiran manajemen moneter Islami adalah stabilitas permintaan uang dan terarahnya permintaan uang pada tujuan yang produktif.
Bunga adalah biaya modal yang harus dibayar di masa mendatang, sehingga membuat peminjam dana berusaha giat mencari nilai tambah untuk menutup bunga. Penggunaan bunga sebagai opportunity cost tidak mampu mengontrol alokasi penggunaan dana. Dana dialokasikan tidak pada sektor riil. Sehingga berpengaruh pada tingkat produktivitas dan penciptaan lapangan kerja. Suku bunga pada akhirnya menciptakan gap antara sektor moneter dan riil.
Salah satu keburukan dari instrumen bunga adalah ketika terjadi inflasi, bank sentral menaikkan suku bunga. Pada tingkat bunga tinggi, sektor riil di Indonesia yang masih bergantung pada kredit bank konvensional tidak mungkin berkembang dengan baik.
Strategi dasar dalam manajemen moneter Islam adalah pertama, dengan menghapus bunga akan mendorong pemilik modal untuk berinvestasi pada sektor riil. Kedua, adanya mekanisme bagi hasil memberi kesempatan secara bersama-saam untuk menggerakkan roda perekonomian. Ketiga, dunia usaha relatif stabil, profit share ratio tidak sefluktuatif suku bunga, sehingga tercipta kepastian berusaha.
REFERENSI
Ir. Adiwarman Karim, SE, MBA, MAEP. Bank Islam Analisih Fiqih dan Keuangan. Edisi kedua. PT. Raja Grafindo Persada-Jakarta. 2004
Ir. Adiwarman Karim, SE, MBA, MAEP. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi Pertama. Jakarta: IIIT Indonesia. 2002
DR. KH. Didin Hafidhuddin, MSc dan Hendri Tanjung S.Si, MM.. Manajemen Syariah dalam Praktek. Cetakan Kedua. Gema Insani-Jakarta. 2005
Eko Suprayitno. Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2005.
Jose Antonio. Perbankan Syari’ah. Tazkia Institut & Bank Indonesia. Jakarta, 2006
Latifa M.Algaoud & Merryn K. Lewis. Perbankan Syariah Prinsip Praktik Prospek. Cetakan kedua. PT. Serambi Ilmu Semesta-Jakarta. Maret 2004.
Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Edisi Lisensi. Jakarta.
Prof. DR. M.M Metwally. Teori dan Modal Ekonomi. Edisi kedua. Jakarta: PT. Bangkit Daya Insana. 1995
DRS. Muhammad, M.Ag. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. Jakarta: salemba Empat.
Mustafa Edwin Nasution, M.Sc, MAEP, PHD, ET AL. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006.
DR. Said Sa’ad Marthon. Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global. Edisi Pertama. Jakarta: Zikrul Hakim. 2004.
DR. Tarek El-Diwani. The Problem with Interest. Edisi kedua. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2005.
DR. M. Umer Chapra. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Jakarta: Shari’ah Economics and Banking Institute. 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar