Senin, 08 Oktober 2007
MELIHAT KEMISKINAN DENGAN MATA CACING
Entah apa yang ada di benak Cristiano Ronaldo mendengar cacian Jose Mourinho, Manajer Chelsea यांग mengungkit tentang latar belakangnya. Hanya karena lahir dalam kubang kemiskinan di Madeira, Portugal dari seorang ayah yang bekerja sebagai buruh Ronaldo mendapatkan hinaan itu.
Mourinho menyebut pemain terbaik dan pemain muda terbaik Inggris itu sebagai pembohong. Mourinho berasumsi latar belakang keluarga dan asal usul kelas keluarganya yang mempengaruhi itu. "Mungkin hal itu karena masa kecilnya yang sulit, tidak berpendidikan," kata Mourinho yang berpendidikan tinggi ini mengejek.
Kita tak hendak mengupas masalah bola. Tetapi ungkapan Mourinho yang lahir dari kelas menengah di Kota Setubal, Portugal ini menunjukkan penyekatan kelas masih abadi di belahan bumi ini. Bahkan terjadi dalam pentas sepak bola dunia yang berlangsung di Inggris. Kelas buruh dan kelas miskin, sekalipun ia mampu menatap dunia dengan prestasi, tetap saja masih dipandang rendah oleh sebagian orang.
Pun, dalam masyarakat kita. Prilaku aneh yang kadang tampak dalam keseharian orang miskin kerap dikaitkan dengan rendahnya pendidikan. Seorang pengemis, pemulung, perampok, buruh, dan kelas sosial rendah lainnya tercipta karena ia berpendidikan rendah. Tetapi kita tidak pernah mengupas kulit sebagian kalangan terdidik kita. Adakah yang menyebut tingginya orang korup di Indonesia disebabkan faktor pendidikan yang salah?
Bukankah mengemis pada negara asing itu juga pengemis dalam skala besar yang hanya mampu dilakukan orang-orang berpendidikan. Bukankah korupsi uang rakyat itu juga perampok dan pencuri yang hanya mampu dilakukan orang-orang dengan pendidikan tinggi. Perilaku asusila di parlemen misalnya, apa bedanya dengan aktivitas prostitusi di warung remang-remang. Itu juga dilakukan kelas berpendidikan.
Wajar jika seorang copet berinisial P yang berkeliaran di Pasar Senen berkelakar, "Gua hanya lulus SMP makanya gua jadi pencopet. Kalau gua sarjana, gua bisa jadi koruptor seperti pejabat-pejabat di negeri ini. Beda nasib aja, perilaku sih sama", sindirnya ringan.
Omongan pencopet ini bisa jadi memerahkan telinga. Tetapi jika ego dikendurkan sedikit apa yang dikatakannya ada benarnya. Semua bermuara pada pendidikan yang diunggulkan menjadi tumpuan utama untuk menjawab berbagai kekusutan hidup. Pendidikan adalah jalan cerdas membasmi kemiskinan. Ironisnya pemiskinan terus dilakukan orang-orang dengan latar belakang pendidikan tinggi.
Jika demikian, ada landasan fundamental yang nyaris tak diajarkan di bangku sekolah dan kampus. Yakni nurani dan kemanusiaan. Generasi negeri ini terus dipompa bagaimana mampu melompat dalam akal dan budinya. Tetapi nurani dan kemanusiaannya tidak diasah. Wajar jika perilaku kalangan berpendidikan tinggi kita di pemerintahan misalnya, bekerja dengan nurani kering. Kebijakannya selalu menindas dan tak berpihak pada rakyat dan bangsanya.
Nasehat Muhammad YunusAroma peringatan Hari Pendidikan Nasional baunya masih menyengat. Banyak artikel dan dialog di media massa menyoroti nasib pendidikan kita. Semua kritis dan sepakat untuk memajukan pendidikan di tanah air. Tetapi belum ada pendapat revolusioner sebagaimana yang dilontarkan Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian dan pendiri Bank Kaum Miskin (Grameen Bank).
"Saya bersumpah akan belajar sebanyak mungkin tentang desa. Universitas-universitas yang ada sekarang menciptakan kesenjangan hebat antara mahasiswanya dengan kenyataan hidup sehari-hari di Bangladesh. Alih-alih belajar dari buku seperti yang biasa dilakukan, saya ingin mengajari mahasiswa saya cara memahami kehiduan seorang miskin," kata Yunus dalam bukunya berjudul Bank Kaum Miskin yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Marjin Kiri.
Bicara kemiskinan di kampung Muhammad Yunus memang tak jauh beda dengan kemiskinan di Indonesia. Sudah banyak profesor menelorkan pil ampuh untuk menyembuhkan kemiskinan di Indonesia. Tetapi bukan sembuh, kemiskinan makin parah. Mencermati ungkapan Yunus, kelihatannya kaum cerdik pandai kita belum mencebur ke dalam kubang kemiskinan sesungguhnya. Konsep yang ditawarkan baru sebatas teori-teori ekonomi elegan yang oleh Yunus dianggap sangat memuakkan.
Lebih tajam Yunus mengingatkan kita semua tentang bagaimana menyelami pendidikan dan kemiskinan. Kita sepertinya mesti sepakat bahwa yang disampaikannya itu amat cocok untuk dunia pendidikan kita hari ini. "Saat Anda menggenggam dunia di tangan Anda dan mengamatinya dari atas laksana burung, Anda cenderung menjadi arogan. Anda tidak menyadari bahwa segala sesuatunya menjadi buram jika dipandang dari jarak yang sangat jauh. Sebaliknya, saya memilih "pandangan mata cacing". Saya harap bila saya mempelajari kemiskinan dari jarak dekat, saya akan memahaminya dengan lebih tajam".
Di ranah kita sendiri, semua fasilitas pendidikan, universitas-universitas berdiri megah di tengah kampung-kampung, desa, dan komunitas miskin. Semua masalah kemiskinan itu hadir nyata di depan mata saat kita keluar dari bangku sekolah dan universitas. Tetapi kita tak diajarkan mengurai yang di pelupuk mata itu. Melainkan kita dicekoki teori-teori dengan nyaman di ruang kelas.
Wajar jika produk pendidikan kita banyak melahirkan SDM dan pemimpin miskin nurani. Para pemimpin korup juga dihasilkan oleh produk pendidikan sarat teori-teori ini. Kegelisahan Yunus benar adanya. Persis sebagaimana kita kini. Dari sekian banyak gagasan brilian para pakar kita, belum ada yang mampu melahirkan gebrakan memperbaiki kondisi kemiskinan.
Sudah saatnya kita melakukan revolusi gaya belajar. Melihatlah dengan mata cacing sebagaimana Yunus menatap kemiskinan. Kita mesti mengotori seragam sekolah anak-anak dan mahasiswa kita dengan sampah dan lumpur agar nuraninya hidup. Memahami kemiskinan dengan mencicipi nasi aking dan melihat penderitaan dengan mengunjungi rumah sakit. Dengan itu generasi kita akan paham apa rasa kemiskinan, sebab, dan solusinya.
Semua itu amat mudah dilakukan, karena warna kemiskinan menghiasi dapur dan halaman rumah kita. Para cerdik pandai, pemimpin dan elit ini saatnya membutakan mata burungnya dan mengganti menatap kemiskinan negeri ini dengan mata cacing. Sangat sederhana dilakukan, jika kita ikhlas menanggalkan gengsi dan belajar menghidupkan nurani dan empati.
Sunaryo Adhiatmoko
Republika, 4 Mei 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar