Saduran bebas dari tulisan Henry Mintzberg pada kolom forethought dalam jurnal Harvard Business Review edisi November 2004.
Leadership (kepemimpinan) merupakan suatu kata yang cukup akrab ditelinga kita. Mungkin kita pernah dengar frase Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), Leadership Training dan lainnya. Latihan tersebut ditujukan untuk para pimpinan organisasi dengan harapan yang bersangkutan bisa mengarahkan organisasinya kepada tujuan untuk apa organisasi tersebut ada.
Dari berbagai sumber dan literatur, mudah didapat bahwa leadership merupakan sarana untuk merangsang terjadinya teamwork, berpandangan jauh ke depan, dan membangun trust (saling percaya/tsiqoh), serta banyak lagi. Bagi seorang Muslim, tentu seharusnya hal ini bukan lagi barang baru. Sebab, sejak 14 abad yang lalu, Alloh SWT telah mengelaborasi hal ini secara komprehensif melalui Kitabulloh dan Sunnaturrosul.
Henry Mitnzberg, seorang pakar manajemen terkenal, dalam tulisannya di HBR mengambil sudut pandang yang cukup kritis terhadap aplikasi leadership belakangan ini. Beliau mengemukakan beberapa pertanyaan kritis mengenai aplikasi leadership tersebut.
“Jika leadership itu adalah tentang stimulasi teamwork, bagaimana stock option didistribusikan diperusahaan anda?”
“Jika leadership itu adalah tentang berpandangan jauh kedepan, berapa banyak dari stock option tersebut yang dapat diuangkan dalam waktu dekat?”
“Jika leadership itu adalah pembangunan trust/tsiqoh, jika SDM adalah benar-benar ‘aset terbesar’ anda, berapa banyak dari ‘aset’ tersebut yang telah diPHK pada tahun-tahun belakangan ini? Dan seberapa besar trust yang tumbuh dikalangan pegawai yang belum ‘sempat’ diPHK?”
Menurutnya, banyak perusahaan yang menganggap bahwa seorang leader seharusnya melakukan tindakan-tindakan heroik, memformulasi grand strategy, membuat keputusan-keputusan sulit, menyelesaikan merger-merger besar dengan sukses seraya melakukan downsizing disana-sini. Seringkali orang-orang itu masuk ke perusahaan dimana mereka sendiri tidak mengakar ditempat itu, dan mencoba mengeluarkan perusahaan dari situasi sulit. Sering juga mereka sukses, setahun atau dua tahun.
Sudah merupakan sunnatulloh, bahwa suatu usaha pasti mengalami masa-masa pasang surut. Dengan deskripsi seorang leader sebagaimana diatas, banyak orang berpikir bahwa jika suatu perusahaan berada dalam masa sulit maka ia memerlukan kepemimpinan baru, berarti, lebih banyak leadership, lebih banyak arahan-arahan, policy-policy. Mr. Mintzberg memandang kondisi ini sebagai ‘kebanyakan leadership’, artinya kebanyakan arahan-arahan ataupun policy-policy sehingga berpotensi memadamkan kekuatan kreatifitas. Sebenarnya mereka membutuhkan leadership yang cukupan saja. Segala sesuatu yang berlebihan tentu berakibat jelek.
Sebagai contoh, adalah perusahaan komputer PC utama dunia, IBM, dibawah pimpinan CEOnya, Lou Gerstner berhasil menambah shareholder value sebesar 40 milyar Dolar dalam waktu 4 tahun. Apa yang dilakukannya? Memperbanyak arahan-arahan, policy-policy? Ternyata tidak. Ternyata yang dilakukan Gerstner hanya mendukung dan memfasilitasi seorang programmer yang memiliki ide dan seorang manajer staf yang berpikiran terbuka untuk membentuk suatu tim yang akhirnya menyetir IBM masuk ke e-business.
Disini terlihat bahwa Gerstner sebagai seorang leader tidak menyesakkan bawahannya dengan arahan-arahan, policy-policy atau setting-setting baru. Kenyataannya adalah ia hanya mendukung ide dan setting yang dibuat oleh bawahannya. Dia hanya memberikan leadership yang cukupan saja (enough leadership).
Bagaimana menyuburkan enough leadership? Ada beberapa hal yang diusulkan Mr. Mintzberg.
Sebagai permulaan, kita harus menghentikan pemisahan antara leadership dan manajemen. Kemampuan leadership merupakan kemampuan untuk menggerakkan orang, sementara kemampuan manajerial adalah kemampuan untuk menata dan mengalokasikan sumber daya. Kedua hal ini harus terkombinasi agar menghasilkan outcomes yang diinginkan. Tidak semua manajer didalam struktur organisasi memiliki kemampuan leadership yang baik. Oleh karena itu, jangan biarkan posisi leader hanya menjadi hak para manajer. Leadership tersebut harus disebarkan diseluruh organisasi melampaui jenjang-jenjang manajerial, siapapun yang memiliki inisiatif dan ide bisa menjadi leader, sebagaimana yang terjadi pada IBM. Melalui sejarah Islam, kita mengetahui bahwa kemampuan manajerial dan leadership terkumpul dalam pribadi Rosululloh. Tetapi adakalanya, beliau memberikan wewenang leader atau memberi fasilitas kepada sahabat yang memang memiliki ide atau pun inisiatif, misalkan yang terjadi sebelum perang khandak, dimana Salman Al Farisi memiliki ide-ide dan setting perang. Contoh lain juga ketika seorang sahabat bertanya tentang mengawinkan suatu jenis kurma dengan jenis kurma yang lain, Rosululloh menyerahkan kepada sahabat tersebut untuk membuat setting sendiri dan mengizinkannya untuk dijalankan.
Hal yang kedua, menurut Mr. Mintzberg, adalah melibatkan pengikut dalam memilih pemimpinnya. Pemimpin sejati mendapatkan leadershipnya melalui dukungan yang antusias dari pengikutnya. Sebagai contoh, McKinsey, suatu perusahaan konsultan terkenal. Senior partner McKinsey memilih sendiri managing directornya untuk jangka waktu 3 tahun dalam suatu voting tertutup.
Yang terakhir, para leader diikuti pengikutnya karena mereka memiliki komitmen serius terhadap industri mereka, perusahaan mereka, pekerjaan mereka. Para leader tersebut bukan tipikal ‘kutu loncat’. Mereka menjalani segala konsekuensi dari tindakan-tindakan mereka, sebagaimana seorang kapten kapal yang tetap berada dikapalnya dalam kondisi apapun berusaha untuk selalu menyelamatkan kapal dan isinya sampai ke tujuan. Begitulah mereka mendapatkan respek dari orang-orang yang mereka pimpin.
Unhappy the land that needs heroes (berdukalah suatu negeri yang bergantung pada figur-figur pahlawan)
Dalam Islam, figuritas bukan suatu yang diciptakan dan dijadikan gantungan segala sesuatu. Figuritas hanya merupakan dampak dari ketakwaan. Jadi siapapun yang bertakwa, pantas menjadi figur. Siapapun yang bertakwa, merekalah para leader. Hanya orang yang bertakwa sajalah yang mampu memberikan enough leadership. Karena orang bertakwa tidak akan berlebih-lebihan dan melampaui batas. Wallohu a’lam. (Adril Hakim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar