Rabu, 03 Juni 2009

SPIRITUALITAS

Menurut Prijosaksono dan Erningpraja (www.hariansinarharapan.com), kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari Bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri kita yang sebenarnya adalah roh kita itu. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar tubuh fisik kita, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita. Kecerdasan spiritual berarti kemampuan kita untuk dapat mengenal dan memahami diri kita sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.
Selanjutnya Aribowo mengatakan bahwa spiritualitas tidak sama dengan agama walaupun keduanya saling menunjang. Dalam Bahasa Jawa, agama diartikan sebagai ”ageman” atau pakaian yang kita pakai. Apa pun agama kita, yang terpenting justru siapa roh kita sebenarnya. Jika merujuk pada agama, pada awal penciptaan manusia, Tuhan meniupkan roh atau napas kehidupan kepada manusia. Berarti roh kita adalah sesuatu yang membuat kita hidup. Roh kita juga bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita nantinya juga akan kembali menyatu dengan Sang Pemberi Kehidupan. Jadi apa pun agama kita, status sosial ekonomi, suku, ras, golongan, kebangsaan dan tingkat pendidikan kita, tidaklah menjadi yang utama. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat Illahiah. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan (menjadi co-creator).
Sementara itu dalam sebuah makalahnya, Ismail (2003) mengemukakan spiritual merupakan penggabungan dari Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual dengan Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi. Kecerdasan inteletual (IQ) adalah merupakan perkalian 100 atas Usia Mental (MA, yang didapat melalui nilai test psikologi) dibagi dengan Usia Kalender (CA, yang didapat dari usia kelahiran). Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Ditinjau dari ilmu saraf, IQ merupakan hasil dari pengorganisasian saraf yang memungkinkan kita untuk berpikir rasional, logis dan taat asas. Kecerdasan emosional (EQ) menurut Goleman (http://www.himpsi.org) yang mempopulerkannya pada pertengahan 1990-an mengemukakan, kemampuan merasakan, memahami, dan secara aktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Makanya EQ merupakan persyaratan dasar untuk dapat menggunakan IQ secara efektif. EQ yang memungkinkan kita untuk bepikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan kita untuk dapat mengenali pola-pola emosi. Sedangkan SQ memungkinkan kita untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan. Dengan demikian Spritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ.
Senada dengan pengertian diatas, Zohar dan Marshall (dalam Agustian, 2007;13) mengemukakan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna (value), yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Menyempurnakan Agustian (2007;14) menyimpulkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku, dan kegiatan, serta mampu mensinerjikan IQ, EQ dan SQ secara komprehensif.
Pendapat lain dikemukakan oleh Suryanto (www.pemimpin-ungul.com) yang menyatakan bahwa spiritual berarti percaya kepada sesuatu diluar (beyond) kita yang mampu mengatur segalanya, dan kita tidak berdaya utuk mencegahnya berbuat sesuatu. Lebih lanjut Suryanto menyebutkan disini sesungguhnya terjadi titik temu antara dunia sains dan agama, sama-sama menuju tuhan. Bahkan Einstein mengemukakan, “sesungguhnya sangat mengherankan seorang ilmuan yang mampu memahami rahasia alam, namun ia tidak mengenal tuhannya”.
Menyempurnakan pendapat diatas, Hafiduddin (2003;5) menuliskan bahwa spiritual lebih kepada pemaknaan manusia secara lebih mendalam terhadap esensi penciptaannya di atas dunia yang fana ini. Disini spiritual dikaitkan dengan nilai-nilai agama. Bagi Islam bagaimana seorang hamba memahami esensi penciptaannya dan kemudian ia berusaha menjalankannya sebagai wujud menjalankan perintah yang menciptakannya. Dalam Al qur’an Allah SWT telah menelaskan bahwa :

5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS. Al Hajj;22;5).

56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. Az-Zariad;51;56).
Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al qur’an diatas, spiritual bagi seorang muslim adalah penyerahan diri sepenuhnya hanya untuk yang menciptakannya. Spiritual menjadikan Allah SWT sebagai tujuan akhir kehidupannya, sehingga apapun yang dia lakukan di atas permukaan bumi ini semuanya merupakan wahana untuk pengabdian kepada Allah SWT. Makanya dalam setiap kerja yang dilakukannya, semua dianggap sebagai ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al qur’an Allah SWT menyebutkan :

162. Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al An’am,6;162)

65. Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?(QS. Maryam,19;65)
Selain itu seorang muslim meyakini bahwa apapun yang dilakukan akan dibalasi oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya;

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS. Al Zalzalah,99;7-8)
Penghambaan diri kepada Allah SWT bagi seorang muslim sebetulnya merupakan bentuk memegang janji kepada Allah SWT. Dalam Al qur’an telah dijelaskan bahwa sebelum manusia dan bumi diciptakan, ruh manusia telah mengadakan perjanjian dengan Tuhannya. Tuhan bertanya kepada jiwa manusia “Bukankah Aku Tuhanmu?” lalu ruh manusia menjawab “Ya, kami bersaksi, Engkau Tuhan kami”(QS.AL A’raf,7;172). Bukti perjanjian ini menurut Dryarkara (dalam Agustian,2003;47), adanya suara hati manusia, yaitu suara tuhan yang merekam dalam diri manusia. Sehingga ketika manusia hendak berbuat keburukan, suara hati nurani akan melarangnya, karena Allah SWT tak menghendaki manusia berbuat kemungkaran. Jika manusia tetap mengerjakan keburukan itu, suara hatinya akan menasehati dan akan muncul perasaan menyesalinya. MacScheler (dalam Agustian,2003;47) mengatakan penyesalan adalah “tanda kembalinya seseorang kepada tuhan”, itulah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Firman Allah SWT :

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"(QS.Al A’raf,7’172).
Dalam kehidupan keseharian, pemahaman spiritual dituliskan oleh Agustian (2003;12) dengan menceritakan kisah Erwin yang bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai seorang buruh. Tugasnya mengencangkan baut pada jok pengemudi. Itulah tugas rutin yang dikerjakannya hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP membuat sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Saya pernah bertanya pada Ewin, “Bukankah itu pekerjaan yang membosankan?”, ia menjawab dengan tersenyum “tidakkah ini pekerjaan mulia, saya telah menyelamatkan ribuan nyawa manusia yang mengemudikan mobil-mobil ini? Saya mengencangkan seluruh kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga mereka sekeluarga selamat, termasuk kursi mobil yang anda duduki itu”.
Esoknya, saya mendatangi Erwin lagi dan bertanya, “Mengapa anda bekerja begitu giat, upah andakan tidak besar? Mengapa anda tidak melakukan mogok kerja seperti karyawan lain yang menuntut kenaikan gaji?”, sambil tersenyum ia menjawab, “saya memang senang dengan kenaikan gaji seperti teman-teman lain, tetapi sayapun memahami bahwa keadaan ekonomi memang sedang sulit dan perusahaanpun terkena imbasnya. Saya memahami keadaan pimpinan perusahaan yang juga tentu dalam kesulitan, bahkan terancam pemotongan gaji seperti saya. Jadi kalau saya mogok, maka itu hanya akan memperberat masalah mereka, masalah saya juga”. Lalu ia melanjutkan pembicaraan, “saya bekerja karena prinsip saya adalah memberi bukan untuk perusahaan, namun lebih kepada pengabdian saya pada Tuhan”.
Cerita di atas memperlihatkan sikap Erwin yang mampu memaknai pekerjaan sebagai pengabdiannya kepada Tuhan dan demi kepentingan umat manusia yang dicintainya. Ia berfikir secara integralistik dengan memahami kondisi perusahaan secara keseluruhan, situasi ekonomi, dan masalah atasannya dalam satu kesatuan yang integral. Erwin berprinsip dari dalam, bukan dari luar, ia tidak terpengaruh oleh lingkungannya. Erwin adalah seorang raja atas jiwanya sendiri yang bebas merdeka. Sikapnya merupakan bentuk penerapan spiritualitas. Hasilnya adalah kebahagiaan dan kedamaian pada jiwa Erwin, sekaligus memunculkan etos kerja yang tak terbatas dan tahan guncangan. Ia menjadi aset perusahaan yang sangat penting dan “rahmatan lil ‘alamin” bagi lingkungan sekitarnya.
Jadi inti spiritualitas yang dikemukakan di atas adalah berhubugan dengan keimanan dan ketauhidan yang dipegang oleh manusia. Materi keimanan dan ketauhidan ini, dilingkungan Bank Mu’amalat diterjemahkan dalam konsep The Celestial Management ZIKR (Zero Base, Iman, Konsisten dan Result Oriented), FIKR (Power sharing, Information sharing, Knowledge sharing & Reward sharing) dan MIKR (Militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneration). (Amin,2004 seperti yang dikutip oleh Byarwati,2006). Amin mengemukakan konsep ZIKR mengilhami kru untuk menyandarkan semua aspek aktifitasnya semua untuk mencari ridha Allah SWT. ZIKR juga membangun keselarasan hubungan antar manusia dengan sang Khaliknya (Hablumminallah) dan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (Hablumminannas). Setelah ZIKR kemudian kru mendapatkan reward yang sesuai dengan prestasi kerja. Reward tergabung dalam PIKR yang selanjutnya akan menghasilkan komunitas MIKR, yaitu interaksi yang terjadi tidak hanya dilandasi akal, tapi juga hati. Kesemua hubungan ini menjadikan organisme yang dinaungi menjadi organisme yang unggul.

2.2.2 Indikator Spiritual
Hafiduddin (2003;6) mengemukakan bahwa ada beberapa indikator dari nilai spiritual, diantaranya:
a. Mengerjakan sesuatu dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Suatu perbuatan walaupun terkesan baik tapi jika tidak dilandasi keikhlasan karena Allah SWT, maka perbuatan itu tidak dikatakan sebagai ibadah. Niat yang ikhlas akan dimiliki oleh orang-orang yang betul-betul yakin akan adaNya Allah Yang Maha Pencipta. Firman Allah SWT :

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus (QS. Al Bayyinah,98;5).
b. Tata cara pelaksanaannya disesuaikan dengan syari’at Islam. Suatu perbuatan yang baik tapi dilaksanakan tidak sesuai dengan syari’at Islam, maka tidak dikatakan sebagai amal sholeh. Sebagai contoh seorang pekerja disebuah perusahaan, bekerja merupakan ibadah, tapi kalau dikerjakan tidak sesuai dengan aturan syari’at maka bekerja yang awalnya sebagai ibadah tidak lagi dianggab sebagai sebuah ibadah.
c. Dikerjakan dengan penuh kesungguhan. Perbuatan yang dilakukan asal-asalan tidak termasuk amal sholeh. Pekerjaan yang didasari dengan keikhlasan akan dijalankan dengan penuh kesungguhan. Keikhlasan dapat dilihat dari kesungguhannya dalam menjalankan pekerjaan tersebut. Jadi keikhlasan seorang pegawai dalam bekerja dapat dilihat dari kesungguhannya dalam bekerja.
Julyantoro (www.kabupatenngawi.or.id) juga mengemukakan indikator dari nilai-nilai spiritual adalah dengan menghasilkan sifat-sifat utama, yaitu: integritas atau kejujuran, Energi dan semangat, inspirasi dan inisiatif, wisdom atau sikap bijak, dan keberanian dalam mengambil keputusan.
Sedangkan mengenai spiritualitas di tempat kerja, Neal (www.kompas.com) menyatakannya sebagai integritas, menegakkan kebenaran dalam diri sendiri, dan memberitahukan kebenaran kepada orang lain. Spiritualitas di tempat kerja menunjuk pada usaha individu untuk menghidupi nilai-nilainya secara penuh di tempat kerja, atau menunjuk pada cara organisasi-organisasi mengatur dirinya untuk mendukung pertumbuhan spiritualitas di tempat kerja. Berikut ini disajikan bagaimana penjelasan Ashmos & Duchon (2000) mengenai tiga komponen spiritualitas di tempat kerja tersebut di atas ;
- Kehidupan batin sebagai identitas spiritual
Memahami spiritualitas di tempat kerja dapat dimulai dengan memahami bahwa setiap orang memiliki kehidupan batin maupun lahir, dan bahwa makanan untuk kehidupan batin dapat mengakibatkan kehidupan lahir yang lebih bermakna dan produktif. Conger menjelaskan kehidupan batin (inner life) sebagai bentuk spiritualitas yang memberikan ekspresi terhadap sesuatu yang ada dalam diri kita.
- Makna dan tujuan dalam bekerja
Neal (dalam Ashmos & Duchon, 2000, hal 136) menuliskan: Orang-orang mengatakan, "Cukup sudah. Kami ini lebih dari sekadar ongkos untuk organisasi. Kami memiliki spirit. Kami memiliki jiwa. Kami memiliki mimpi. Kami menginginkan suatu kehidupan yang bermakna. Kami ingin menyumbang untuk masyarakat. Kami ingin merasakan hal yang baik mengenai apa yang kami lakukan." Pentingnya pekerjaan yang bermakna dinyatakan oleh Fox, hidup dan penghidupan (mata pencaharian) bukan dua hal yang terpisah, melainkan mengalir dari sumber yang sama, yaitu spirit. Spirit berarti hidup, dan hidup maupun penghidupan adalah menyangkut kehidupan dengan makna, tujuan, kedamaian, dan perasaan memiliki kontribusi terhadap komunitas yang lebih luas. Spiritualitas kerja adalah menyangkut bagaimana membawa hidup dan penghidupan kembali bersama. Gerakan spiritualitas di tempat kerja menyangkut kerja yang lebih bermakna, menyangkut keterkaitan antara jiwa (soul) dengan kerja, dan bagaimana mendapatkan perhatian dari perusahaan karena pengakuan bahwa memberi makan jiwa dapat memberikan hal yang baik bagi bisnis.
- Perasaan terhubung dengan komunitas
Spiritualitas di tempat kerja bukan hanya bagaimana mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan kehidupan batin dengan mencari pekerjaan yang bermakna, tetapi juga bagaimana seseorang dapat hidup terkoneksi dengan orang lain. Mirvis menyatakan: "Kerja itu sendiri ditemukan sebagai suatu sumber pertumbuhan spiritualitas dan koneksi (hubungan) dengan orang lain."
Berdasarkan indikator-indikator di atas, dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan beberapa indikator saja diantaranya : menjadikan sesuatu pekerjaan adalah bernilai ibadah, mengerjakan sesuatu ikhlas karena Allah SWT, bekerja penuh kesungguhan, bekerja dengan penuh kesabaran, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan menyesuaikan setiap pekerjaan dengan aturan-aturan Al-Qur’an dan Hadits.

Selasa, 26 Mei 2009

Memilih Perbankan, Lembaga Keuangan, & Ekonomi Syariah, Memilih Jalan Harmoni

*****
Di penghujung tahun 2008 kita menjadi saksi sebuah peristiwa besar yaitu hancurnya perekonomian dan keuangan negara yang selama ini dikenal sebagai super power yaitu Amerika Serikat. Hal ini tampak jelas dengan ambruknya lembaga kuangan raksasa dunia dan perusahaan-perusahaan besar lainnya yang menimbulkan gelombang PHK besar-besaran.
Melihat fakta yang terjadi saat ini, banyak yang mengatakan bahwa krisis finansial Amerika Serikat saat ini, lebih parah daripada krisis yang terjadi di Asia sepuluh tahun lalu. Bahkan hampir seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa krisis ekonomi kali ini merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930.
Joseph Stiglitz pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi mengatakan bahwa kucuran dana sebesar 700 milyar dollar serta rencana nasionalisasi sejumlah bank dan institusi finansial Amerika merupakan tanda-tanda kematian sistem kapitalisme. Ia juga mengatakan bahwa negara-negara yang selama ini meniru kapitalisme gaya Amerika bersiap-siaplah untuk menghadapi kehancuran ekonomi serupa.
Badai finansial Amerika Serikat ditandai oleh krisis di tubuh perusahaan investasi keuangan Amerika Serikat, Lehman brothers. Perusahaan ini akhirnya harus ditutup karena mengalami kerugian hingga 613 milyar USD. Itu adalah nilai kerugian terbesar dalam sejarah, bahkan mengalahkan skandal Enron, dengan kerugian 81 milyar USD, maupun Worldcom, dengan kerugian 216 milyar USD. Setelah runtuhnya Lehman Brothers maka krisis finansial pun melanda seluruh dunia.

Jika diusut penyebab krisis ini sesungguhnya berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi dan profit semata. Sistem ini sangat mengagungkan gaya hidup meterialisme sehingga mengakibatkan pelanggaran nilai-nilai moralitas. Salah satu contohnya adalah mekanisme pemberian bonus atau insentif yang tidak bertanggung jawab. Para bankir berlomba-lomba mengucurkan kredit perumahan pada masyarakat Amerika yang sesungguhnya tidak layak mendapat pinjaman untuk memperoleh insentif yang besar dengan mengabaikan keselamatan perusahaan. Richard Fluid, seorang bankir menerima insentif hingga jutaan USD karena berhasil mengucurkan kredit perumahan. Inilah yang dinamakan sub prime mortgage, yang mengakibatkan kerugian total akibat mencapai USD 7.7 trilyun.

Kenyataan ini menyadarkan bahwa materialisme yang merupakan anak dari sistem kapitalisme telah menggusur nilai-nilai moralitas seperti tanggung jawab, jujur, adil dari kehidupan masyarakat.

Kapitalisme telah gagal sebagai sistem ekonomi yang dianut Amerika Serikat dan hampir di seluruh dunia. Keruntuhan sistem kapitalis sesungguhnya sudah banyak diprediksi para ekonom. Bahkan pencetus teori Relativitas, Einstein, 60 tahun yang lalu sudah mengkritik kapitalisme, “Menurut pendapatku, ekonomi kapitalis sekarang ini adalah sumber dari segala kejahatan. Akibatnya, modal swasta menguasai, sampai-sampai tidak dapat dibendung oleh masyarakat yang mengaku demokratis sekali pun. Lebih-lebih lagi, kaum kapitalis secara pasti mengendalikan secara langsung atau tidak langsung, sumber-sumber informasi (media dan institusi pendidikan).”
Dalam sejarah tercatat upaya-upaya untuk memagari kaptalisme agar tidak melanggar nilai-nilai moralitas diantaranya good corporate governance (GCG). GCG digagas pertama kali oleh Arthur Anderson yang mendorong perusahaan agar terbuka, jujur, bertanggung jawab, transparan, dan konsisten dalam menjalan peraturan perundang-undangan. Perumusan GCG dilatarbelakangi oleh pengalaman Amerika Serikat yang melakukan restrukturisasi pengelolaan perusahaan akibat market crash pada tahun 1929.
Prinsip GCG pun menyebar luas ke berbagai negara di dunia hingga ke Indonesia. Namun, skandal korporasi seperti Enron, Tyco, dan Worldcom yang mengguncang Wall Street meruntuhkan GCG. Malapetaka ini sangat merugikan investor yang menanamkan dananya di bursa saham. GCG yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan dengan berlandaskan peraturan perundang dan nilai-nilai etika, terbukti tidak efektif. Bahkan Arthur Anderson yang menggagas GCG pun hancur karena karena mereka melanggar apa yang telah mereka rumuskan sendiri.
GCG kemudian dianggap tidak cukup kuat untuk memagari kapitalisme dari tindak pelanggaran moral. Karena itu pada tahun 2002 dibuat aturan yang sangat ketat untuk memastikan etika kejujuran, keadilan, tanggung jawab berjalan dengan baik, yaitu Sarbanes-Oxley. Kehadiran system ini dipicu skandal-skandal perusahaan besar yang menyebabkan kerugian bagi investor bilyunan dolar. Runtuhnya harga saham perusahaan-perusahaan mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap pasar saham nasional. Akta ini diberi nama berdasarkan dua sponsornya, Senator Paul Sarbanes (D-MD) and Representatif Michael G. Oxley (R-OH). Melalui Sarbanes Oxley, diharapkan kerugian akibat penipuan dan fraud akan bisa dicegah.
Sub prime mortgage yang mengakibatkan krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat di akhir 2008 ini menjadi bukti bahwa Sarbane Oxley pun tidak mampu mengantisipasi tindak penipuan dan kecurangan (fraud) tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pagar-pagar kejujuran, keadilan, tanggung jawab ternyata tidak bisa dilandaskan pada kapitalisme. Baik GCG maupun Sarbane Oxley tidak cukup efektif membentengi sistem kapitalisme yang cenderung pada pemusatan kekayaan untuk sekelompok orang tertentu. Dunia pun kembali dilanda kebingungan mencari sistem yang bisa memastikan berjalannya nilai-nilai etika dalam dunia korporasi.
Adanya krisis ekonomi merupakan saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali sistem ekonomi yang berbasis kapitalisme. Salah satu corak yang paling menonjol dari kapitalisme adalah jauh dari nilai keadilan. Tragedi dunia saat ini yang sangat memprihatinkan adalah adanya kesenjangan kemiskinan yang sangat ekstrim dan terjadinya berbagai bentuk ketidakadilan sosial ekonomi.
Karena itu kini telah makin disadari perlunya adanya sistem ekonomi “baru” yang berorientasi pada pemerataan kesejahteraan. Suatu keadaan yang tidak mungkin dicapai dengan sistem kapitalisme.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada sebuah fondasi yang dilupakan yang dapat memastikan kejujuran, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dapat diimplementasikan di dunia korporasi. Fondasi tersebut adalah aspek spiritualitas yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai mulia yang akan menciptakan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, pemerasan, dan kezaliman, baik dalam skala individu maupun negara.
Perumusan konsep ekonomi baru untuk mengganti kapitalisme sudah banyak digagas. Menarik untuk dikaji bahwa sebagian besar paradigma baru yang ditawarkan para ekonom Barat sesungguhnya sejalan dengan konsep ekonomi Islam berbasis spiritualitas yang disebut dengan ekonomi syariah.
Krisis ekonomi global saat ini adalah momentum perubahan. Dunia yang berbasis kapitalis telah menghasilkan nilai-nilai materialistis hanya mengakibatkan kehancuran dunia. Saatnya dunia segera berubah pada basis Ketuhanan. Kesadaran spiritualitas akan melahirkan motivasi yang tinggi untuk memajukan kesejahteraan tetap mengedepankan nilai-nilai moralitas.
Hal ini yang terus kami lakukan dengan ESQ LC sejak tahun 2001 melalui penyebaran buku dan training ESQ yang memberikan penyadaran bahwa kehidupan sesungguhnya tak bisa lepas dari aspek spiritualitas. Tujuan kehidupan tertinggi adalah mengabdi pada Sang Pencipta sehingga segala aspek kehidupan dilakukan dengan spirit dan nilai yang sudah ditetapkanNya. Dengan krisis yang sedang dihadapi, kita disadarkan bahwa segala bentuk penentangan pada nilai-nilai spiritualitas akan mendatangkan tragedi dahsyat sebagaimana krisis ekonomi saat ini. Oleh karena itu kini saatnya sistim ekonomi syariah mendapat dukungan dari berbagai fihak karena sistem yang berlandaskan spirit ketuhanan ini menjalankan fungsi rahmatan lil alamin, yaitu menebar manfaat bagi semesta alam.

(Diambil dari makalah Ary Ginanjar Agustian pada Seminar Ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh KADIN)

Jumat, 27 Februari 2009

PRODUK BANK SYARI’AH DAN PENGEMBANGAN UMKM

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan bank syari’ah 5 tahun terakhir ini menunjukan pertumbuhan yang cukup signifikan. Rata-rata tingkat pertumbuhannya di atas 30 %, hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel I Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Dalam Miliar Rupiah
Indikator 2003 2004 2005 2006 2007 Agt 2008
Aset 7.958 15.236 20.880 26.722 36.538 44.340
Dana Pihak Ketiga 5.725 11.862 15.582 20.672 28.012 32.359
Pembiayaan 5.530 11.490 15.232 20.445 27.944 36.572
BUS 2 3 3 3 3 3
UUS 8 15 19 20 25 28
Jaringan Kantor*) 255 337 436 508 569 619
Office Channeling - - - 456 1.195 1.409
Rekening DPK - 956.607 1.255.889 1.992.452 2.845.829 3.849.184
Sumber: Bank Indonesia
*) tidak termasuk gerai muamalat

Berdasarkan tabel terlihat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia (aset, dana pihak ketiga, dan pembiayaan) melebihi angka 90% sampai dengan tahun 2004. Akan tetapi tahun 2005 mulai mengalami perlambatan pertumbuhan, walaupun pertumbuhannya masih berada pada kisaran 30%. Seiring dengan pertumbuhan ketiga indikator tersebut jumlah rekening perbankan syariah juga mengalami peningkatan, sampai bulan Agustus 2008 rekening dana pihak ketiga (DPK) berjumlah 3.849.184 dan rekening pembiayaan berjumlah 564.103.
Disatu sisi bagusnya tingkat pertumbuhan bank syari’ah ini perlu diberikan apresiasi, tapi disisi lain perlu juga untuk dikritisi. Karena berdasarkan laporan yang dikeluarkan Bank Indonesia, Agustus 2008 terlihat :

pada tabel tersebut sampai Agustus 2008, total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp.36,57 triliun, lebih tinggi 42,91% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp.25,58 triliun. Dari tahun ke tahun komposisi pembiayaan didominasi dalam bentuk murabahah yaitu 58,58% pada Agustus 2008 dan 59,73% pada september 2007. Sebaliknya pembiayaan mudharabah hanya sekitar 18,05% pada Agustus 2008 dan 20,50% pada September 2007. Sedangkan pembiayaan-pembiayaan yang lain, nilainya masih kecil bahkan tidak ada (nol persen). Dominasi murabahah terhadap mudharabah ini merupakan masalah dalam perbankan syariah, sehingga perlu dicari solusinya supaya jumlah pembiayaan mudharabah dapat ditingkatkan.
Disamping itu dalam tulisan yang dimuat pada majalah Sharing edisi 13 tahun II – Januari 2008 yang disuting berdasarkan laporan keuangan publikasi beberapa bank syari’ah hingga tahun 2006 dikemukakan bahwa ternyata belum ada bank syari’ah menjalankan skim bagi hasil yang melewati 50 % dari total pembiayaan. Artinya pembiayaan bank-bank syari’ah lebih banyak disalurkan lewat skim lain terutama skim jual beli dalam bentuk murobahah. Tercatat hanya Bank Mu’amalat yang menginplementasikan skim bagi hasil 49%, selebihnya seperti Bank DKI syari’ah 43%, Bank Niaga Syari’ah 36%, BNI Syari’ah 19%, Bank Bukopin Syari’ah 18%.
Meskipun Bank Indonesia sebagai regulator sudah menghimbau agar perbankan syariah mengurangi pembiayaan yang menggunakan skema murabahah (pembiayaan dengan akad jual beli) dan meningkatkan pembiayaan dengan menggunakan skema mudharabah (pembiayaan dengan akad bagi hasil). Bank syariah telah berusaha untuk meningkatkan pembiayaan mudharabah tetapi justru permintaan dari nasabah lebih menyukai pembayaran yang jumlahnya tetap sebagaimana yang terdapat dalam murabahah. Sebetulnya bagi bank syariah, margin (keuntungan) murabahah sendiri relatif kecil (rata-rata 14% – 16%), sedangkan mudharabah rata-ratanya diatas angka tersebut (Kontan, Januari 2005).
Praktek yang dijalankan bank syari’ah ini sungguh amat memprihatinkan karena mengingat dasar yang dibangun oleh bank syari’ah yang mengedepankan bagi hasil (profit and loss sharing) sebagai jargonnya dalam pemasaran. Adalah ironis bank syari’ah yang mempunyai tujuan untuk membangun sector usaha kecil dan menengah (sector riil) tidak berpihak kepada sector tersebut, dan sesungguhnya sistem ini menjadi pembeda utama antara bank syari’ah dengan bank konvensional.
Kalau kita lihat dalam ajaran Islam bahwa harta tidak diperbolehkan berputar pada lingkungan orang-orang kaya saja, tapi hendaknya beredar juga kelingkungan masyarakat secara keseluruhan, firman Allah :
•                                 •   •    
Artinya :
“Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (QS. Al-Hasyr 59:7).
Menurut Tafsir Al-Mishbah volume 14 hal 112, dijelaskan bahwa : ”Harta benda hendaknya jangan hanya menjadi milik dan kekuasaan sekelompok manusia, tetapi ia harus beredar sehingga dinikmati oleh semua anggota masyarakat. Penggalan ayat ini telah menjadi prinsip dasar Islam dalam bidang ekonomi dan keseimbangan peredaran harta bagi segenap anggota masyarakat, walaupun tentunya tidak berarti menghapuskan kepemilikan pribadi atau pembagiannya harus selalu sama. Dengan penggalan ayat ini, Islam menolak segala macam bentuk monopoli, karena sejak semula Al-Qur’an menetapkan bahwa harta memiliki fungsi sosial”.
Selain itu juga dilarang untuk menimbun harta dan salurkan harta pada sektor-sektor yang produktif,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَاكَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَاكُنتُمْ تَكْنِزُونَ {35}
Arinya :
“34. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, 35. pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."(QS. At-Taubah (9): 34-35).
                    •     
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”( QS An-Nisaa 4:29).
Mengacu pada ayat ini, adalah sebuah keharusan bagi bank syari’ah untuk lebih mengedepankan pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharobah dan musyarokah) ketimbang murobahah. Karena bank syari’ah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk memajukan perekonomian masyarakat harus berpihak pada sektor riil. Bank syari’ah diharapkan tidak terbawa arus mengejar materi (profit) saja, yang pada akhirnya mengenyampingkan produk-produk yang lebih mampu mengangkat martabat perekonomian umat. Pertanyaan yang paling krusial di sini mengenai dampak dari aktivitas murabahah kepada ekonomi umat, diantaranya; apakah produk itu mampu menciptakan peluang pekerjaan baru, menolong dalam usaha mendirikan firma atau perusahaan, menaikkan produktivitas, dan menjaga tingkat harga serta mengurangi jurang pendapatan? Jika ternyata dampak itu belum dirasakan masyarakat, maka seyogianya kita perlu meneliti kembali arah kinerja perbankan syari´ah pada masa depan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumusan masalah, diantaranya :
a. Apa yang menjadi pembeda antara produk murobahah dengan mudarrobah/musyarokah?
b. Apa yang melatar belakangi bank syari’ah lebih mengedepankan murobahah ketimbang mudharrobah atau musyarrokah ?
c. Sejauhmana peran produk bank syari’ah baik murobahah ataupun mudorrobah/musyarrokah dalam upaya mengembangkan UMKM?

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
a. Melihat dari tataran konsep tentang produk-produk yang ditawarkan bank syari’ah, yang kemudian dikomparasikan produk mana yang betul-betul pas dengan upaya peningkatan sektor UMKM.
b. Mengetahui apa yang melatar belakangi bank syari’ah lebih mengedepankan pembiayaan murobahah ketimbang pembiayaan lainnya.
c. Melihat sejauhmana bank syari’ah berperan dalam mengembangkan UMKM.

D. KAJIAN TEORITIK
Kerangka teori adalah suatu konsep model tentang suatu teori atau membuat hubungan antar beberapa variabel secara logika berdasarkan permasalahan yang dibahas.
Pada dasarnya semua produk yang dikeluarkan oleh bank syari’ah harus didasarkan pada hukum Islam yang bersumberkan Al qur’an dan Hadits. Secara garis besarnya dapat dibagi atas (Triyuwono dalam Muhammad, 2002) :
a. Prinsip simpanan (wadi’ah), dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Dalam bank syari’ah dikembangkan dalam produk berupa Giro Wadi’ah dan Tabugan Wadi’ah.
b. Prinsip sewa (Ijaroh) yaitu pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership) atas barang tersebut. Ada juga yang akhiri dengan berpindahnya kepemilikan dan inilah yang dinamakan dengan Ijaroh Muntahia Bittamlik.
c. Prinsip pengembalian (tabarru’/fee), terdiri atas wakalah, kafalah, ju’alah dan hawalah.
d. Prinsip biaya administrasi (qordhul hasan), yakni transaksi yang bertujuan untuk membantu penerima pinjaman.
e. Prinsip jual beli, yang termasuk dalam jenis ini adalah murobahah, salam dan istisna’. Jual beli sama dengan konsep pertukaran (natural certainly contracts) yaitu kontrak dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini cash flownya sudah disepakati pada awal kontrak dan objek pertukarannya juga telah pasti sejarah jumlah, mutu, waktu maupun harga (Vietsal Riva’i, 2007;144).
f. Prinsip bagi hasil (Profit and Loss sharing), merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Secara umum produk-produk di atas dapat di skemakan dalam bentuk :

Dari skema diperoleh bahwa murobahah pada prinsipnya adalah pembiayaan jenis jual beli yang telah jelas produknya dengan tingkat resiko yang relatif kecil. Menurut Agustianto jual beli lebih bersifat konsumtif dan sedikit mengandung produktif, begitupun dengan murobahah yang kebanyakan pembiayaannya digunakan untuk keperluan yang tidak produktif. Berbeda dengan hal ini, sistem bagi hasil betul-betul teruntuk bagi pengembangan sektor-sektor yang produktif. Makanya ada dugaan bagi hasil memang cocok dikembangkan dalam memajukan sektor UMKM.

E. PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini penulis hanya akan menitik beratkan pada produk murobahah (jual beli) dan mudarrobah, dan musyarrokah (mewakili bagi hasil).
1. Murobahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tembahan keuntungan yang disepakati. Ibnu Qudamah dalam bukunya Mughni 4/280 mendefinisikan, murabahah adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.
Dalam murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira. Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada di tangan pemesan.
Dalil yang membolehkan praktek murobahah didasarkan pada al-Qur’an dan Hadits:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah : 2 ; 275)
ياأيها الذين ءامنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”( Q.S. An-Nisa:29)
ثلاثة فيهن البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط البر باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)
Dari Suhaib, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, jual beli tangguh, Muqaradah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah).
Hadits Nabi dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya jual-bali itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. A-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan shahih menurut Ibnu Hibban).
Ayat-ayat yang dijadikan dalil murobahah di atas pada prinsipnya tidak menyebutkan kata murobahah secara spesifik. Demikian pula dengan hadits, tidak ada hadits menyebut secara khusus masalah murobahah ini. Imam Malik dan Syafe’i yang secara khusus menghalalkan murobahah, pun tidak bisa menunjukan hadits yang berkenaan dengan itu. Al-Kaff, seorang kritikus murobahah kontemporer menyebutkan bahwa morobahah adalah salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada masa nabi dan para sahabat. Karena tidak ada dibahas dalam alqur’an dan hadits, para fuqaha membolehkannya didasari atas dasar yang lain. Imam Malik membolehkan didasarkan pada pengalaman penduduk Madinah yang membeli pakaian di suatu kota untuk diperdagangkan di kota lain dengan suatu keuntungan yang disepakati. Syafe’i menyandarkan pendapatnya pada, jika seseorang berkata “belikanlah aku barang yang mirip dengan barang ini dan nanti aku akan memberimu keuntungan sekian”. Jual beli seperti ini adalah sah.
Dari pandangan di atas, Ijma’ ulama membolehkan jual-beli dengan cara murabahah (DSN, 2000:22-24). Secara garis besar dibolehkannya murobahah didasarkan atas ; Pertama, praktek ini pada dasarnya adalah jual-beli. Nilai mark-up adalah laba usaha, bukan bunga. Dalam Islam, laba tidaklah haram. Kedua, transaksi tidak haram selama nilai mark-up ditentukan atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya mark-up yang dibayarkan bisa dibenarkan karena itu mencerminkan risiko yang harus ditanggung oleh bank selama periode sudah dibelinya barang dan kepemilikan belum berpindah ke tangan konsumen.
Meskipun mayoritas ulama membolehkan murobahah, tapi masih ada segolongan praktisi ekonomi Islam yang masih memperdebatkan mengenai kehalalan model transaksi morobahah ini. Mereka menganggap transaksi murabahah termasuk syubhat karena melibatkan nilai mark-up yang berfungsi sebagai ”bunga siluman”.
Murabahah dan Riba
Sudah menjadi maklum bahwa yang membedakan perbankan syari´ah dari perbankan lainnya adalah penghindaran amalan riba dalam setiap transaksinya. Riba adalah bentuk kezaliman ekonomi yang harus dihindari oleh setiap muslim dan cukup memiliki dasar hukumnya baik dari Al-Qur´an maupun Hadist. Pengharaman riba sangat jelas disebutkan di dalam Al-Qur´an seperti yang tercantum pada surah Ar-Rum : 39, An-Nisa´:161, Ali Imran: 130-132, dan Al Baqarah: 275-279. Bagi seorang muslim, adalah suatu tindakan kufur untuk mengatakan sebaliknya. Sesunan ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa riba diharamkan dalam empat periode.
Meskipun ada yang mencoba membantah bahwa bunga bank tidak termasuk riba karena tidak berlipat ganda, namun pendapat ini bisa dibantah dan bagi penulis, bunga bank termasuk kategori riba. Ayat pelarangan riba yang berlipat ganda terdapat pada surah Ali-Imran: 130. Jika kita ingin meneliti kinerja perbankan konvensional, merekapun termasuk dalam kategori melipat gandakan hutang. Sebagai contoh, pinjaman sebesar Rp.100 juta yang dibayar secara kredit dengan bunga 15% pertahun dalam jangka masa 10 tahun, akan dibayar secara kumulatif sebesar Rp. 250 juta. Ini menunjukkan bunga yang dikenakan secara kumulatif sebesar 150%. Itupun jika bunga tetap (fixed rate) yang dikenakan. Jadi sekarang isunya bukan lagi peningkatan secara kuantum (pertahun), tapi secara satu periode peminjaman. Artinya sistem riba perbankan saat ini tidak lebih baik dari sistem jahiliyah (riba nasiah).
Belum lagi jika kita kaitkan dengan pengharaman riba yang terdapat pada surah Al Baqarah: 278-279, di mana Allah SWT melarang kaum mukmin untuk terlibat dengan riba bukan saja secara berlipat ganda, bahkan sisa riba pun tidak dibenarkan. Dan jika tidak ditinggalkan, satu ancaman paling berat didatangkan oleh Allah dan Rasul, yaitu ancaman perang. Artinya Allah SWT dan Rasul menyatakan perang terhadap pelaku riba.
Hadist Nabi juga tidak kurang yang menerangkan betapa dahsyatnya dosa orang-orang yang memakan riba. Rasulullah SAW menyatakan bahwa riba ada 70 jenis, dan yang paling kecil sekali dosanya sama seperti menggauli ibu sendiri. Di tempat yang lain Rasulullah menyamakan riba dan zina bahkan dikatakan seseorang yang terlibat riba lebih berdosa dari seseorang yang berzina tiga puluh enam kali, ditambah lagi ketika peristiwa Isra´ dan Mi´raj di mana Rasululullah ditunjukkan dengan sekelompok manusia yang perutnya berisi ular dan dapat dilihat dari luar dan ternyata mereka adalah pemakan riba. Tentunya sebagai seorang muslim yang ingin mengoptimalkan falah (kemenangan) dunia dan akhirah, tentu saja akan semaksimal mungkin menghindari dirinya terlibat dengan riba agar selamat di hari pembalasan esok.
Dari perspektif keadilan ekonomi pula bunga bank tampak jelas tidak memberikan keadilan dalam berbagai hal. Pertama, dalam sistem riba, pengusaha terdiskriminasi ketika dia harus membayar bunga tetap, meskipun usahanya rugi, dan dalam hal lain pemilik modal terdiskriminasi pada saat pengusaha mendapatkan keuntungan yang begitu tinggi, sedangkan para pemodal hanya mendapatkan bunga nominal tetap (yang kecil porsinya) yang dibayar bagi modalnya. Kedua, riba merupakan sumber yang besar dalam memperlebar jurang pendapatan. Dalam dunia modern, segelintir industrialis yang meminjam modal dari bank dan menghasilkan profit yang besar namun hanya membayar sedikit bagian bagi depositor yang secara tidak langsung merupakan dana massa. Ini menyebabkan kekayaan akan terkumpul pada sebagian kecil industrialist (konglemerat), sehingga menyebabkan ketidakadilan distribusi pendapatan. Ketiga, riba (bunga) merupakan beban tambahan kepada biaya produksi karena merupakan biaya pinjaman, dan mengakibatkan peningkatan harga barang yang pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumer (masyarakat). Jadi jelas perbankan syari’ah harus menghindari dari melakukan praktek pembungaan (riba).
Selain itu, di dalam debit financing (pembiayaan hutang), sebagian pakar ekonomi Islam menyimpulkan bahwa riba ini disebabkan beberapa unsur seperti adanya pre-fixed increases (bunga) yang ditetapkan di awal peminjaman, kedua, bunga tersebut muncul akibat dari postponement (penundaan pembayaran) dan ketiga, wujudnya ketidakpastian atau spekulasi (gharar).
Jelas bahwa bunga (interest) adalah suatu penetapan tambahan terhadap pinjaman yang telah ditetapkan di awal, dan juga peningkatan itu disebabkan adanya penundaan (postponement) terhadap pelunasan. Selain itu bunga yang ditetapkan mengandung unsur gharar (speculation) karena bisa saja ia naik atau turun bergantung kepada perubahan suku bunga (base lending rate) yang ditetapkan oleh bank sentral (BI) sehingga sang peminjam tidak memiliki kepastian. Tambahan lagi, jika terjadi kegagalan dalam pembayaran maka si peminjam akan dikenakan compound interest (bunga berbunga).
Namun yang menjadi persoalan di sini ternyata beberapa ciri-ciri tersebut masih melekat pada produk murabahah. Kalau dalam konvensional ada pre-fixed interest, maka di dalam murabahah ada pre-fixed profit (suatu penetapan tambahan), dan penambahan itu juga disebabkan karena adanya unsur penundaan (postponement), dan karena ini masalah esensi dan menjadi sumber utama pendapatan perbankan syariah, maka ia menjadi sangat signifikan untuk dikaji, walaupun murabahah sudah terlepas dari unsur gharar (ketidakpastian) dengan memakai fixed rate (nilai mark up yang tetap) jika kita bandingkan dengan floating rate (bunga mengambang) yang ada pada bank umum lainnya.
Selain mengandung kedua unsur di atas di mana pembiayaan murabahah pada prakteknya adalah mirip dengan pembiayaan hutang, kita juga sering mendengar jargon perbankan syariah, khususnya ketika membenarkan produk murabahah sebagai aqad jual beli. Namun yang perlu sekali kita cermati, bahwa wujudnya legalitas keuntungan jual beli itu karena wujudnya resiko yang dihadapi. Ketika Allah berkata, “Waahallallahul bai waharrama riba” (Al-Baqarah: 275), bai’ (jual beli) di sini jauh sekali dari praktek perbankan syariah saat ini, terutama murabahah. Bai dihalalkan oleh Allah karena adanya resiko yang dihadapi oleh si penjual, seperti barang dagangan yang mungkin saja terdapat kecacatan (defects) sehingga pembeli tidak jadi membeli, atau bencana alam (natural disaster) seperti banjir, kemarau, juga pencurian dan lain-lain yang bisa saja merusakkan barang tersebut, sehingga menurunkan harga atau bahkan sama sekali tidak terjual. Dan yang pasti dan cukup penting, barang tersebut benar-benar sudah dimiliki oleh sipenjual sehingga memang wujud resiko sebenarnya (real risk for holding), baru kemudian dijual. Jika bank mengabaikan faktor kepemilikan ini, maka murabahah dinilai sebagai suatu cara untuk melepaskan diri dari interest (bunga), walau pada prakteknya masih cukup disangsikan. Ini karena pernah Rasulullah melarang sahabat untuk menjual sesuatu barang yang tidak dimilikinya.
Sedangkan produk murabahah, bank kurang berhadapan dengan resiko ini. Hal ini terbukti ketika bank syari˜ah mengikat customer untuk diwakilinya dan kemudian membelinya sendiri. Pertanyaan yang muncul, di mana letak resiko yang dihadapi oleh bank syari˜ah?, Bahkan pada prakteknya bank syari’ah sering kali tidak pernah melihat produk tersebut jangankan untuk memilikinya. Sehingga risk for holding bagi perbankan syari’ah nyaris tidak ada. Lantas masih bisakah pembiayaan murabahah dikategorikan sebagai jual beli yang diinginkan Allah SWT?
Sama kita ketahui bahwa salah satu rukun jual beli adalah adanya aqad, yang ditandai dengan harusnya ada kerelaan di antara penjual dan pembeli. Kerelaan ini muncul karena adanya proses tawar-menawar (bargaining process), sehingga nilai keuntungan (profit return) sangat bergantung kepada proses ini. Namun apa yang terjadi pada praktek murabahah, bank syari’ah menetapkan mark up (keuntungan) tanpa melalui proses bargaining karena bank meletakkan dirinya sebagai partner yang lebih menentukan dan hal ini membuat ketidak wujudan proses tawar-menawar yang pada akhirnya menghilangkan wujudnya keridhaan dari pihak pelanggan (customer). Maka muncul isu tentang bagaimana perbankan syari’ah menetapkan nilai mark up-nya?. Hal ini lebih dirasakan oleh publik bahwa perbankan syari’ah lebih cenderung mengikuti tingkat bunga pasaran (market rate of interest) dalam menetapkan mark up-nya dan ini menunjukkan bahwa pengaruh kinerja konvensional (conventional framework) masih melekat pada perbankan syari’ah sehingga memunculkan satu pertanyaan besar, How Islamic is the Islamic bank?.
Karenanya, sudah saatnya kini perbankan syariah untuk kembali meluruskan niat asal yaitu mengembangkan produk bagi hasil mudarabah dan musyarakah, sehingga perbankan syariah dalam prakteknya bukan saja mengejar sisi keuntungan materi tapi juga keuntungan ukhrawi karena produk bagi hasil ini diyakini memiliki resiko yang lebih berat namun mengabaikan produk ini juga bukan sesuatu yang diharapkan syar´i.
Aplikasi murobahah dalam Bank Syari’ah
Untuk dapat menggambarkan praktik murabahah maka diberikan contoh sebagai berikut : A ingin membeli sebuah mobil seharga Rp. 300 jt dengan melalui pembiayaan murabahah dari Bank X. Setelah disetujui, Bank menyediakan mobil sesuai perjanjian dan menjual kepada A seharga Rp. 400 jt. A membayar secara mencicil selama 3 tahun. Alur transaksi tersebut dapat dilihat pada skema berikut :

2. Mudharobah
Ulama Hijaz menamakan mudharabah, dengan qiradh. Menurut Jumhur, mudharabah adalah bagian dari musyarakah. Dalam merumuskan pengertian mudharabah, Wahbah Az-Zuhaily mengemukakan:
١نﻴﺪ ﻔﻊ١ﻠﻣﻠﻚ١ﻠﻌﺎﻤﻞ ﻤﺎﻻ ﻠﻳﺘﺟﺭﻔﻳﻪ ﻮﻳﻜﻮﻦ١ﻠﺭﺒﺢ ﻤﺸﺘﺭﻜﺎ ﺒﻳﻨﻬﻤﺎ ﺒﺣﺴﺐﻤﺎﺸﺭﻃﺎﻮﺍﻤﺎﺍﻠﺨﺎﺴﺭ
ﻔﻬﻲﻋﻠﻰ ﺭﺐﺍﻠﻤﺎﻞ ﻮﺤﺪﻩ ﻮﻻﻴﺤﺘﻤﻞ ﺍﻠﻌﺎﻤﻞ ﺍﻠﻤﻀﺎﺭﺐ ﻤﻦﺍﻠﺨﺴﺭﺍﻦ ﺸﻴﺄ ﻮﺇﻨﻤﺎﻫﻮﻴﺨﺴﺭﻋﻤﻠﻪﻮﺠﻬﺪﻩ
Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhannya.
Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk., syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan syara’ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
Dasar hukum mudharabah antara lain Firman Allah :
Al-Qur'an :
       ...
Artinya : orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (QS. Al-Muzammil : 20)
          ...
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu'ah : 10)
                            
198. tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.(QS.Al Baqaroh;2;198).
Al-Hadist:
1. Hadist Riwayat Thabrani
"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas 'bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah maka ia akan mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan (mitra usahanya) bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulllah pun membolehkannya"
2. Hadist Riwayat Ibnu Majah
Dari Shalih bin Shuhaib R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan adalah jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk "keperluan rumah, bukan untuk dijual."
Dalam kitabnya al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas bolehnya melakukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah SAW :
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka mereka mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.” Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).
Menurut Antonio secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Pada mudharabah muqayyadah, mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu ataupun tempat usaha.
Transaksi mudharabah dapat diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan yang dikeluarkan oleh bank syariah. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada :
a. Tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya.
b. Deposito spesial (special investment) dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya untuk murabahah saja atau ijarah saja.

3. Musyarokah
Menurut Hanafiyah syirkah adalah :
ﻋﻘﺪ ﺒﻴﻥ ﺍﻠﻤﺘﺸﺎﺮﻛﻴﻥ ﻔﻰ ﺮﺃﺲ ﺍﻠﻤﺎﻞ ﻮﺍﻠﺮﺍﺒﺢ
Perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya.
Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah :
ﺇﺬﻥ ﻔﻰﺍﻠﺗﺻﺮﻒ ﻠﻬﻤﺎ ﻤﻊﺍﻨﻔﺳﻬﻤﺎﺃﻱ ﺃﻦ ﻴﺄﺫﻦ ﻜﻞ ﻮﺍﺤﺪ ﻤﻦﺍﻠﺸﺮﻴﻜﻳﻦ ﻠﺼﺎﺤﺒﻪ ﻓﻰﺍﻦ ﻴﺘﺻﺮﻒ ﻓﻰﻣﺎﻞ ﻠﻬﻣﺎ ﻤﻊ ﺇﺒﻗﺎﺀ ﺤﻖ ﺍﻠﺗﺻﺮﻒ ﻟﻜﻝ ﻤﻧﻬﻣﺎ
Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.
Menurut Hanabilah :
ﻫﻲﺍﻹﺠﺎﺗﻤﺎﻉ ﻔﻲ ﺍﺴﺗﺤﻗﺎﻖﺃﻮﺗﺼﺭﻒ
Berkumpul dalam berhak dan berbuat hukum.
Sedangkan menurut Syafi’iyah :
ﺛﺒﻮﺖﺍﻠﺤﻖﻔﻲﺸﻲﺀﻻﺜﻧﻳﻦﻔﺄﻜﺛﺮﻋﻠﻰﺠﻬﺔﺍﻠﺸﻳﻮﻉ
Tetapnya hak tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara merata.
Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis, musyarakah adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang sama. Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk., al-musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat difahami intinya bahwa syirkah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bersama.
Dasar hukum musyarakah antara lain firman Allah :
Al-Qur'an :
...    ...
Artinya :
"... Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu... (QS : Annisa : 12)
•              •      •       
Artinya :
dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh (QS. Shaad : 24)
Al-Hadits :
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
أنا ثا لث الشاركين ما لم يخن أحدهما صا حبه فاذا خانه خرجت من بينهما
(رواه أبو داود)
Artinya : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Sabda Nabi SAW yang berbunyi:
ﺍﻧﺎﺜﺎﻠﺚﻠﺷﺮﺒﻜﻳﻦﻤﺎﻠﻢﻳﺨﻦﺍﺤﺪﻫﻤﺎﺼﺎﺤﺒﻪﻓﺎﺬﺍﺨﺎﻦﺨﺮﺟﺖﻤﻦﺒﻳﻧﻬﻤﺎ
(ﺮﻮﺍﻩﺍﺒﻮﺩﺍﻮﺩﻮﺼﺤﺣﻪﺍﻠﺤﺎﻜﻢ)
Artinya : Saya yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati yang lain, maka aku keluar dari keduanya. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
Macam-macam musyarakah:
Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjalin tanpa adanya akad antara kedua pihak. Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama menerima hibah atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris. Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara pihak-pihak (syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a. Syarikat ‘inan, yaitu syarikat antara dua orang atau beberapa orang mengenai harta, baik mengenai modalnya, pengelolannya ataupun keuntungannya. Pembagian keuntungan tidak harus berdasarkan besarnya partisipasi, tetapi adalah berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian.
b. Syarikat mufawadhah, yaitu syarikat antara dua orang atau lebih mengenai harta, baik mengenai modal, pekerjaan ataupun tanggungjawab, maupun mengenai hasil atau keuntungan.
c. Syarikat wujuh, yakni syarikat antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan tingkat profesinal yang baik mengenai sesuatu pekerjaan/bisnis, dimana mereka membeli barang dengan kredit dan menjualnya secara tunai dengan jaminan reputasi mereka. Musyarakah seperti ini lazim juga disebut musyarakah piutang.
d. Syarikat a’maal, yaitu syarikat antara dua orang atau lebih yang seprofesi untuk menerima pekerjaan bersama-sama dan membagi untung bersama berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian.
Berdasarkan konsep dari murobahah, mudharobah dan musyarokah di atas dapat disimpulkan beberapa perbedaan dari masing-masingnya, diantaranya :
- Murobahah termasuk bagian dari prinsip jual beli yang lebih banyak meladeni jual beli barang-barang bersifat konsumtif. Sedangkan mudharobah dan musyarokah adalah bagian dari prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) yang kegunaannya memang untuk pembiayaan dalam bentuk usaha.
- Skim murobahah lebih bersifat untuk keperluan jangka pendek, sedangkan mudharobah dan musyarokah untuk keperluan jangka panjang.
- Akad murobahah telah jelas margin yang diperoleh shohibul mal karena sudah ada kesepakatan jumlah di awal kesepakatan. Sedangkan mudharobah dan musyarokah masih bersifat semu, tapi besaran persentase bagian masing-masing telah disepakati di awal akad, contohnya bagian masing-masing (shohibul mal dan mudharib) 40% : 60% dari total pendapatan (profit sharing).
- Murobahah memiliki tingkat resiko yang lebih kecil jika dibandingkan dengan mudharobah maupun musyarokah.

Mengapa Bank Syari’ah lebih mengedepankan murobahah ketimbang mudharobah ataupun musyarokah ?
Kalau kita lihat perbedaan diantara masing-masingnya akan kelihatan bagaimana produk mudharobah dan musyarokah lebih unggul dalam hal memajukan ekonomi umat, jika dibandingkan dengan murobahah. Tapi kalau kita lihat realitas pada bank syari’ah, berdasarkan laporan Bank Indonesia sampai Agustus 2008, total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp.36,57 triliun, lebih tinggi 42,91% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp.25,58 triliun. Dari tahun ke tahun komposisi pembiayaan didominasi dalam bentuk murabahah yaitu 58,58% pada Agustus 2008 dan 59,73% pada September 2007. Sebaliknya pembiayaan mudharabah hanya sekitar 18,05% pada Agustus 2008 dan 20,50% pada September 2007.
Disamping itu dalam tulisan yang dimuat pada majalah Sharing edisi 13 tahun II – Januari 2008 yang disuting berdasarkan laporan keuangan publikasi beberapa bank syari’ah hingga tahun 2006 dikemukakan bahwa ternyata belum ada bank syari’ah menjalankan skim bagi hasil yang melewati 50 % dari total pembiayaan. Artinya pembiayaan bank-bank syari’ah lebih banyak disalurkan lewat skim lain terutama skim jual beli dalam bentuk murobahah. Tercatat hanya Bank Mu’amalat yang menginplementasikan skim bagi hasil 49%, selebihnya seperti Bank DKI syari’ah 43%, Bank Niaga Syari’ah 36%, BNI Syari’ah 19%, Bank Bukopin Syari’ah 18%.
Muncul sebuah pertanyaan bagi kita, kenapa bank syari’ah lebih mengutamakan produk murobahah tersebut dibanding produk lainnya?. Dalam Majalah Sharing terbitan di atas juga disebutkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan ini bisa terjadi, diantaranya :
 Bank selaku pemilik modal (shohibul mal) masih belum yakin dengan kejujuran nasabah dalam melaporkan hasil usahanya.
 Dalam beberapa kasus masih terdapat nasabah (mudharib) yang tidak amanah (moral hazard), masih menyembunyikan keuntungan usaha yang sesungguhnya, dan hal ini mendatangkan trouma bagi bank.
 Masih ada ketakutan dari bank akan adanya penyalahgunaan penggunaan dana (side streaming) dimana nasabah tidak menggunakan dananya sesuai dengan apa yang tertera dalam kesepakatan, karena walu bagaimanapun bank tidak mungkin mengawasi terus menerus.
 Bank harus menyediakan waktu yang cukup untuk ikut memantau perkembangan sekaligus memberikan masukan-masukan terhadap usaha nasabah.
 Peraturan Bank Indoensia (PBI) yang mengatur skim bagi hasil ini masih dianggap menimbulkan kekkawatiran bagi bank.
 Secara teori akuntansi syari’ah, PP dari pembiayaan bagi hasil ini tidak bisa dicatat dalam neraca pada pos pendapatan yang akan diterima (PAD) pada bulan tersebut, sehingga tidak menambah aset bank. Ini berbeda dengan murobahah dimana pembayaran angsuran nasabah bulan yang akan datang dapat dicatat pada pos pendapata yang akan diterima (PAD).
Senada dengan hal di atas, Syahril T. Alam mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan perbankan syari’ah masih takut-takut untuk memperbesar porsi pembiayaan bagi hasil (Republika, 9 Juli 2003). Faktor-faktor tersebut antara lain pertama, faktor resiko yang masih tinggi. Yang ada dalam persepsi bank selama ini adalah bahwa bank harus menanggung jika debitor mengalami kerugian. Ditambah lagi, kendala psikologis bank untuk mengeksekusi jaminan sang debitor tadi ketika kerugian disebabkan oleh risk business. Jaminan hanya bisa dieksekusi bila debitor atau nasabah wanprestasi dari perjanjian yang telah disepakati.
Kedua, kesulitan bank-bank syari’ah dalam mencari pengusaha yang jujur dan amanah. Padahal kunci keberhasilan pembiayaan bagi hasil sangat tergantung pada karakter nasabah. Menurutnya, jika pendapatan besar harus dilaporkan besar pula jangan sebaliknya. Demikian seterusnya, kejujuran menjiwai setiap aktifitas dan perilaku pengusaha.
Faktor terakhir yang menghambat bank untuk memperbesar porsi pembiayaan bagi hasil adalah rentannya model pembiayaan ini terhadap perilaku moral hazard. Masih banyak nasabah atau debitor yang tidak memiliki itikad baik terhadap pembiayaan yang diterimanya.
Meskipun demikian, kita tidak mengharapkan adanya apologi terhadap kendala-kendala yang dihadapi oleh perbankan syari’ah tersebut. Pengamat perbankan syari’ah seperti Hanifah Husein mengkritisi keadaan ini dengan sangat tajam. Beliau menyampaikan bahwa bank-bank syari’ah lebih mendahulukan murabahah (jual-beli), bukan mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (kemitraan usaha). Meski skim murabahah ini tidak salah di mata sistem perbankan syari’ah, namun yang jauh lebih menyentuh kesyari’ahan sebenarnya adalah skim mudharabah dan musyarakah (Republika, 15 Desember 2004). Kwik Kian Gie pun mengungkapkan hal yang senada. Ia mengatakan bahwa sektor riil dapat digerakkan melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil ini merupakan salah satu prinsip utama dalam kegiatan ekonomi berbasis syari’ah (Republika, 26 Juni 2003).
Kalau kita analisa, faktor ini sebenarnya bisa disiasati kalau sekiranya bank syari’ah
betul-betul punya keinginan memajukan perekonomian masyarakat secara merata. Mengingat bank syari’ah dipandang sebagai sebuah lembaga bisnis yang tidak hanya berorientasi pada profit semata. Akan tetapi sebagaimana telah disebutkan di atas, bank syari’ah di samping memiliki kepentingan bisnis, juga mengusung sebuah tanggung jawab etis yang harus di jalankan, terutama yang terkait dengan fungsi sosialnya.
Mengutip pernyataan Syafi’i Antonio, dalam landasan falsafahnya dinyatakan bahwa perbankan syari’ah ditujukan untuk mencari keridhaan Allah SWT, untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama harus dihindari, yaitu dengan cara menjauhkan diri dari unsur riba dan menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan. Dengan mengacu pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 dan an- Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalat berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi. Prinsip utama bank syari’ah adalah harus menuju pada pengembangan kesejahteraan masyarakat yang bermuara kepada kondisi sosial masyarakat yang menentramkan. Itulah sebabnya mengapa salah satu misi bank syariah adalah mengutamakan dana dari golongan menengah dan ritel, memperbesar portofolio pembiayaan untuk skala menengah dan kecil, serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infak, dan sedekah yang lebih efektif sebagai cerminan kepada kepedulian sosial.
Aspek pelayanan dalam perbankan syari’ah merupakan gabungan antara aspek moral dan aspek bisnis. Dalam operasionalnya selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan terbebaskan dari unsur perjudian, garar (ketidakjelasan/manipulasi), dan riba. Oleh karena itu, bank syariah tidak bebas bertransaksi semaunya, melainkan harus mengintegrasi nilai-nilai moral dengan tindakan-tindakan ekonomi berdasarkan syariah. Uang dan kekayaan hanya sebatas menjadi alat terpadu untuk mencapai kebaikan dalam masyarakat. Sedangkan landasan utama perbankan syariah adalah keyakinan, kebebasan, kejujuran, dan kegigihan untuk meraih sukses, ditunjang faktor-faktor sumber dana, sumber daya manusia, mitra usaha, dan perkembangan teknologi.
Baik landasan falsafah maupun aspek layanan bank syari’ah di atas menjadi nilai lebih yang tidak dimiliki oleh bank konvensional. Namun, pada saat yang bersamaan dikhawatirkan hal tersebut juga menjadi kelemahan yang mencolok manakala tidak diimplementasikan dengan sepenuhnya. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan jika melihat pada realitas bank syari’ah saat ini. Realitas yang dimaksud adalah kondisi-kondisi riil dimana bank syari’ah; (1) telah mereduksi makna fungsi sosial menjadi peyaluran dana sosial (Zakat, Infak Sadaqah/ ZIS); (2) lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dalam bentuk keuntungan materi, tidak ubahnya bank konvensional; (3) lemah dalam aspek sumber daya manusia, dimana SDM yang tersedia kurang atau bahkan tidak mengenal hukum Islam, serta; (4) minimnya upaya sosialisasi atau pendidikan terhadap masyarakat. Hal ini membawa akibat serius terhadap keberlangsungan masa depan bank syari’ah itu sendiri. Faktanya hingga saat ini masyarakat masih awam tentang perbankan syari’ah, bahkan masyarakat muslim sendiri. Selain itu, selama ini masyarakat yang menjadikan bank syari’ah sebagai pilihan pada dasarnya hanya didorong oleh ikatan emosional sebagai tuntutan moral seorang muslim dan bukan merupakan pilihan rasional.
Melihat fenomena yang seperti demikian, berarti tidak ada jalan lain bagi bank-bank syari’ah selain membuat strategi khusus agar porsi pembiayaan bagi hasil meningkat disertai upaya-upaya peminimalisasian kendala-kendala yang dihadapi. Ada dua buah strategi khusus yang mungkin ditempuh oleh bank-bank syari’ah. Strategi tersebut adalah strategi pengembangan ekonomi yang dilandasi oleh sikap pro aktif kepada masyarakat. Pelaksanaannya murni oleh bank-bank syari’ah sendiri. Dan yang kedua adalah strategi bersinergi dengan institusi-institusi sosial ekonomi seperti lembaga pengelola zakat.
Konsekuensi strategi yang pertama, bank-bank syari’ah mempersiapkan sumber daya insani yang memenuhi kapasitas sebagai pemberdaya masyarakat sekaligus mampu membentuk modal sosial di masyarakat. Dengan kata lain fungsi intermediary perbankan syari’ah diperluas dengan pembimbingan dan pembinaan kepada masyarakat.
Sedangkan konsekuensi strategi yang kedua tidak serumit yang pertama. Dengan bersinergi, berarti antara perbankan syari’ah dengan lembaga-lembaga pengelola zakat merupakan satu kesatuan yang terintegrasi.
Setiap lembaga pengelola zakat pasti bertujuan agar unit-unit usaha yang dikembangkan atau dibinanya mencapai tingkat kemandirian sekaligus mampu memupuk modal sosial pada masyarakatnya. Unit-unit usaha yang telah mampu mencapai kedua tujuan tadi dilepas, sehingga untuk pengembangan atau wujud ekspansi usaha lainnya tidak perlu bergantung kepada lembaga pengelola zakat lagi melainkan ditindaklanjuti oleh perbankan syari’ah atas rekomendasi dari lembaga pengelola zakat tadi.
Inti sari kedua strategi di atas adalah sikap pro aktif dan pembentukan modal sosial sangat berperan untuk menghapuskan fobia perbankan syari’ah terhadap pembiayaan bagi hasil. Sikap pro aktif sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena mereka membutuhkan bimbingan kewirausahaan dan modal sosial sangat penting agar ikatan persaudaraan serta nilai-nilai moral terbangun di tengah masyarakat. Seandainya saja kedua strategi ini mampu direalisasikan, kendala apalagi yang harus ditakutkan?

Urgensi pengembangan UMKM
Pengembangan usaha kecil dan menengah terutama di pedesaan mutlak diperlukan baik dari segi pandangan pemerataan pembangunan, maupun distribusi ekonomi dan pendapatan yang sehat. Dengan demikian masalah-masalah migrasi, urbanisasi, pengangguran dan penghuni liar kian berkurang secara gradual dan siginifikan.
Namun itu semua bukanlah hal yang mudah, menanggulangi akibat krisis pada saat yang sama dengan menyiapkan infastruktur yang kuat dan kondusif bagi pengembangan usaha kecil dan menengah tidak dapat dikerjakan secara parsial oleh para pelaku pasar melainkan harus melalui pendekatan komprehensif dan workable yang simultan dari seluruh unsur. Dalam kerangka pendekatan yang komprehensif tersebut bank syari’ah memegang peranan yang sangat penting karena kesulitan utama pengembangan usaha kecil adalah ketidakmampuan mereka menyediakan modal, jaminan dan keahlian yang memadai untuk mejalankan usaha dengan efektif dan efisien (profesionalisme).
Pada prinsipnya model pembiayaan yang ada di bank syari’ah memiliki kecocokan dengan sektor UMKM ini, mengingat salah satu fungsi yang diemban oleh bank syari’ah adalah mengembangkan kesetaraan perputaran uang di antara masyarakat. Dan adalah salah satu bentuknya memberikan bantuan modal usaha lewat sistem bagi hasil (mudharobah dan musyarokah).
Prinsip bagi hasil (Profit and Lost Sharing Principle) dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing. Menurut Humayon A. Dar dan John R. Presley : Profit and Loss Sharing is a contractual arrangement between two or more transacting parties, which allows them to pool their resources to invest in a project to share in profit and loss. (Bagi hasil adalah perjanjian kontraktual antara dua pihak atau lebih, yang memperbolehkan mereka untuk menempatkan sumber daya mereka untuk diinvestasikan dalam sebuah proyek untuk berbagi dalam keuntungan dan kerugian).
Pada tabel laporan Bank Indonesia diatas, dapat dilihat sampai Agustus 2008, total pembiayaan yang disalurkan bank syari’ah mencapai Rp.36,57 triliun, lebih tinggi 42,91% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp.25,58 triliun. Dan sejauh ini, penyaluran kredit terhadap beberapa sektor riil, terutama sektor agribisnis / agroindustri, belum seimbang sehingga perlu diperbaiki melalui implementasi sistem syariah. Sebagai contoh, nilai kredit pada sektor pertanian dalam persepsi agribisnis/agroindustri tidak sebesar nilai kredit yang diberikan bank terhadap sektor perindustrian, perdagangan, maupun jasa. Rata-rata kredit untuk sektor pertanian pada periode 1996-2002 besarnya hanya 7,29 % dari total kredit yang diberikan oleh perbankan atau sebesar Rp 24.202 miliar. Kondisi tersebut menjadi sangat dilematis, mengingat sektor industri yang bahan bakunya sebagian besar diimpor merupakan sektor dengan persentase jumlah kredit terbesar untuk seluruh sektor perekonomian, yaitu 34,05 %. Hal ini sangat kontradiktif dengan peranan agroindustri nasional pada ekspor dan perolehan devisa yang selalu menunjukkan peningkatan yang positif, terutama dari ekspor produk-produk minyak sawit dan turunannya, karet dan barang-barang karet, kayu dan produk kayu, pulp dan kertas, ikan dan udang, teh, kopi, kakao, lada, pala, kulit dan barang kulit serta beragam jenis bumbu dan rempah-rempah.
Disamping itu berdasarkan portfolio pembiayaan BSM bagi UMKM sampai dengan Desember 2002.
Ket Jumlah Portfolio Pembiayaan (Rp Milyar)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nop Des
Korporasi 30,2 343,9 338,9 434,5 479,1 508,1 538,8 550,0 468,3 489,4 593,1 592,5
Menengah/retail 341,5 342,8 362,3 376,4 387,8 407,9 421,3 439,7 557,6 568,4 551,7 552,5
Jumlah Debitur pembiayaan Bank Syariah Mandiri sampai dengan Desember 2002 adalah sebagai berikut:
Ket Jumlah Portfolio Pembiayaan (Rp Milyar)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nop Des
Korporasi 68 79 81 93 105 110 115 120 122 127 134 136
Menengah/retail 13.132 13.443 13.733 14.285 14.777 15.150 15.973 15.956 16.312 16.686 17.047 17.277
Dari data di atas terlihat bahwa jumlah portfolio pembiayaan sektor korporasi masih lebih besar dibanding penyaluran pembiayaan kesektor menengah/retail, namun dari segi jumlah debitur, nasabah UKM sangat jauh lebih banyak dibanding nasabah korporsi.

F. KESIMPULAN
Bank syari’ah yang dibangun atas prinsip syari’ah yang mengacu pada Al qur’an dan hadits. Dalam Al qur’an tidak diperbolehkan harta itu berputar pada kalangan orang kaya saja, tapi mesti berputar juga pada semua lapisan masyarakat. Hal ini bertujuan supaya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu jauh antara si miskin dengan si kaya.
Untuk melaksanakan hal itu, bank syari’ah memiliki kewajiban untuk mentranspormasikan perputaran uang secara merata. Produk-produk yang tercipta pada bank syari’ah dasarnya mengacu pada prinsip ini. Tapi realitasnya berkata lain, bank syari’ah lebih mengedepankan produk pada sektor murobahah yang menurut para ahli ekonomi, murobahah bukan produk yang tepat untuk meratakan perekonomian karena murobahah lebih bersifat konsumtif dan bukan bersifat produktif. Dan menurut ahli ekonomi Islam, kalau bank syari’ah ingin betul-betul menjalankan syari’at secara utuh, maka adalah keharusan bagi bank syari’ah untuk mengedepankan produk yang bersifat produktif. Produk itu terdapat pada mudharobah dan musyarokah.
Memang produk mudharobah dan musyarokah memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibanding produk lainnya, tapi memiliki tingkat efektifitas yang jauh lebih bagus dalam hal pemerataan ekonomi. Selain itu, resiko bisa diminimalisir jika diiringi kemauan yang keras dari pihak bank syari’ah itu sendiri. Maka adalah hal wajar jika bank syari’ah mendapatkan kritikan, jika tidak berpihak pada sektor UMKM.

Reference :
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997
Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung, 2002
Algaoud, M. Latifa dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktik dan Prospek, (Terjemahan Burhan Wirasubrata), PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005.
Amin Aziz, Muhammad, Data Pinbuk Pusat tahun 2002, Jakarta, 2003
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani,
Jakarta, 2001.
.............................................., Bank Syari’ah bagi para bankir dan praktisi keuangan. Jakarta : BI bekerja sama dengan Tazkia Institute, 1999.
Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia, Jakarta, 2002
Data Direktorat Bank Syari’ah Bank Indonesia, Harian Republika, 6 Januari 2004
Data Bank Indonesia, Harian Republika, 19 Januari 2004
Dawam Rahardjo, Muhammad, Pengantar buku Bank Syari’ah Analisis Fikih dan Keuangan, IIIT , Jakarta, 2003
Didin Damanhuri, Ekonomi Berbasis Hutang, Republika, 27 Desember 2002
Helmi Hilmawan, Berpikir Global , Bertindak Lokal, BNI 46, Jakarta, 2003
Ismail Yusanto, Mencari Solusi Krisis Ekonomi, dalam buku Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, PIRAC, Jakarta, 2001
Majalah Sharing, Edisi 13 Tahun II Januari 2008
Syafri Harahap, Harahap, Pelajaran dari Krisis Asiam,Pustaka Quantum , Jakarta, 2003
Irman Hilman, dkk, Perbankan Syari’ah Masa Depan, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003
Riva’i, Vethzal, Prof.,Dr.,MBA., & Andria Permata Veithzal, MBA., Islamic financial Management; teori, konsep, dan aplikasi panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi dan mahasiswa. Jakarta : Rajawali Press, 2007
Republika, 29 Desember 2003
Republika, 16 Februari 2004
Republika, 22 Maret 2004

www.infoperbankan.com
www.vibisnews.com
www.tazkia.com
www.stebi.com
www.wikipedia.com

My Album

AYAT-AYAT CINTA