A. Pengertian
Ijaroh berasal dari kata al–ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-iwadh dalam behasa Indonesia diartikan sebagai ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah ijaroh diartikan sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah ijaroh diartikan ”Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.“
2. Menurut Malikiyah ijaroh ialah ” Nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.“
3. Menurut Sayyid Sabiq ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
4. Menurut fatwa DSN ijaroh didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
B. Landasan Hukum
1. Firman Allah QS. al-Zukhruf [43]: 32:
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ، نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا، وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ.
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar seba-gian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
...وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
4. Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
5. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
6. Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
8. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
9. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
C. Rukun, Syarat dan Prinsip Ijaroh
Adapun rukun dan syarat Ijaroh adalah sebagai berikut :
1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. mu’jir adalah orang yang memberi sewa atau upah, sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah atau sewa.
2. Shiqot ijab kabul sewa menyewa atau upah mengupah antara mu’jir dan musta’jir.
3. Ujroh, kedua belah pihak disyaratkan mengetahui jumlahnya baik dalam sewa menyewa maupun upah mengupah.
4. Barang yang disewakan disyaratkan sebagai berikut :
– Barang yang dijadikan objek upah mengupah maupun sewa menyewa hendaklah batang yang dapat dimanfaatkan kegunaannya.
– Barang yang dijadikan objek upah mengupah dan khususnya sewa menyewa hendaklah dapat diserahkan kepada penyewa atau pekerja berikut kegunaannya.
– Manfaat dari benda yang disewa adalah mubah menurut sayat bukan haram.
– Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zatnya) hingga waktu yang ditentukan menurut akad.
Sedangkan prinsip Ijaroh adalah : Transaksi Ijaroh dilandasi dengan adanya pemindahan manfa’at (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip Ijaroh sama dengan prinsip jual beli. Perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada Ijaroh objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
D. Hak Dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Menurut fatwa DSN kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah adalah ;
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Contohnya : mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima barang yang rusak. Bila mana kondisi ini terjadi, apakah harga sewa masih dibayar penuh ? sebagian ulama berpendapat, jika penyewa tidak membatalkan akad, harga harus dibayar penuh (Mula Khasra, Syarh Al-Duur,3:278-279). Sebagian ulama yang berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat:
a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
E. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Contoh : dikatakan “saya sewakan mobil ini selama sebulan dengan harga sewa Rp. XXX”. Bila penyewa ingin memperpanjang harga 2 kali lebih besar dari harga sebelumnya. Dan sebaliknya sipenyewa dapat saja menawar harga. Semuanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Mayoritas ulama mengatakan “syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga pada harga sewa (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4;59).
Dari contoh ini diperoleh ; Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewakan kepada musta’jir, maka musta’jir berhak membayarnya karena musta’jir telah menerima kegunaan benda maupun barang tersebut. Hak menerima upah bagi mu’jir adalah sebagai berikut :
– Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, adapun dasarnya adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
– Jika menyewa barang, upah sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali jika dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarohkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
– Dalam ijaroh, harga sewa ditentukan oleh kedua pihak yaitu penyewa dan yang menyewakan. Misalnya dikatakan, “Saya sewakan rumah ini selama satu tahun dengan harga sewa Rp. XX.” Kesepakatan ini berlaku sepanjang periode sewa yang telah disepakati yaitu satu tahun.
– Harga sewa dan upah harus ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi, sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abu Hurairah, “Siapa yang memperkerjakan seorang pekerja harus memberitahukan upahnya.” Lalu jika terjadi kasus misalnya naik ojeg tanpa kesepakatan terlebih dahulu, maka fatwa ulama mengatakaan bahwa harga sewa yang lazim berlaku jika tidak ditentukan dimuka.
– Mu’jir boleh menyewakan kembali barang yang telah dia sewakan, asalkan penggunaan barang tersebut sesuai dengan yang dijanjikan ketika akad.
F. Ijaroh Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
M. Syafe’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah Bagi Para Bangkir Dan Praktisi Keuangan menuliskan bahwa yang dimaksud dengan Ijaroh Muntahia Bit Tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan sipenyewa. Sifat kepemilikan inilah yang membedakannya dengan ijaroh biasa. IMBT memiliki banyak bentuk, tergantung apa yang di sepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al ijaroh dan janji menjual, nilai sewa yang mereka tentukan, harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan dipindahkan. Tapi dalam IMBT pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :
- Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
- Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual pada akhir masa sewa (alternative 1) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative kecil. Karena sewa yang dibayar relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai dibayarkan akhir periode belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Maka itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu pada akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative besar. Karena sewa yang dibayarkan relative besar, akumulasi sewa pada akhir periode sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan bank. Dengan demikian bank dapat menghibahkan barang tersebut pada akhir masa periode pada penyewa.
Hibah ini bersifat mu’allaq terhadap masa mustaqbal (akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fiqh Islam. Demikian pula muallaq (ta’aluq dalam waktu) dalam jual beli. Misalnya, “Jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI dan tulisan Adiwarman. Juga (jelas) tanpa pembayaran tambahan di luar angsuran terakhir.
G. Ijaroh wa Iqtina dalam Teknis Perbankan
Ijaroh wa Iqtina (Ijaroh Muntahia Bit Tamlik) adalah akad sewa menyewa atas barang tertentu antara bank sebagai pemilik barang (mu’jir) dan nasabah selaku penyewa (musta’jir) untuk jangka waktu dan dengan harga yang disepakati. Pada akhir masa sewa, bank memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dengan harga yang disepakati pula.
Aplikasinya dalam pembiayaan investasi; seperti untuk pembiayaan barang-barang modal seperti mesin-mesin. Dan dalam pembiayaan consumer; seperti untuk pembelian mobil, rumah dan sebagainya.
Pada dasarnya pembiayaan Ijaroh dan IMBT memiliki kesamaan dengan pembiayaan murobahah. Sampai sa’at ini mayoritas pembiayaan Islamic banking masih terpokus pada produk-produk murobahah. Kesamaan keduanya adalah pada kategori natural certainty contract yang pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaanya hanyalah objek transaksi yang diperjual belikan. Dalam pembiayaan murobahah objek transaksinya adalah berupa barang seperti rumah atau mobil, sedangkan pada ijaroh objeknya berupa jasa, baik manfa’at atas barang maupun manfa’at atas tenaga kerja. Dengan pembiayaan murobahah, Islamic banking hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijaroh, Islamic banking dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Adapun tahapan IBMT di bank adalah ;
Nasabah menjelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir periode ijarah ia ingin memiliki
Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada nasabah.
Apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki asset tersebut
Bank membeli atau menyewa asset yang dibutuhkan nasabah
Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan
Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan.
Bank melakukan penyusutan terhadap asset dan biaya penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi
Di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan.
Jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara hibah.
Sedangkan berakhirnya akad dengan bank, jika :
- Selesainya masa ijarah
- Rusaknya obyek ijarah
- Pembebasan biaya sewa (ibra’) oleh pemilik asset.
H. Ijaroh dan Leasing
Ijaroh biasa mengatur pemanfa’atan hak guna tanpa terjadinya pemindahan kepemilikan, hal ini membuat banyak orang menyamakannya dengan leasing. Pada dasarnya antara ijaroh dengan leasing sama tapi ada hal-hal yang membedakannya, seperti pada table berikut :
Aspek Pembeda Ijaroh Leasing
Objek Manfaat barang dan jasa Manfaat barang saja
Method of Payment Contingen to Performance
Not Contingen to Performance Not Contingen to Performance
Transfer of Title Ijaroh : No transfer of Title
IMBT : Promise to sell or hibah at the beginning of period. Operating lease : no transfer of title.
Financial Lease : option to buy or not to buy, at the end of period
Lease - Purchase Haram karena akadnya gharar. Boleh
Sale and Lease Back Boleh Boleh
Penjelasan table :
a. Objek
Dilihat dari sisi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku sewa menyewa barang saja. Sedangkan ijaroh, objek yang disewakan bisa berupa barang atau jasa. Kalau berupa barang, pengambilan manfa’at barang berupa sewa menyewa dan pada jasa disebut upah mengupah.
b. Metode pembayaran
Dalam metode pembayaran leasing bersifat not contingent to performance, artinya pembayaran sewa tidak tergantung pada kenerja objek yang disewakan. Misalnya Ahmad menyewa mobil X pada Toyota Rent A Car untuk dua hari dengan tariff Rp. 1.000.000/hari. Dengan mobil itu Ahmad berencana pergi ke Bandung, tapi karena sesuatu hal, Ahmad memutuskan berhenti di Bogor dan tidak melanjutkan perjalanan lagi ke Bandung. Dalam hal ini Ahmad tetap harus membayar sewa mobil seharga ke Bandung. Dengan demikian, penentuan harga sewa pada kasus di atas tergantung pada lamanya waktu sewa, bukan pada apakah mobil itu dapat mengantarkan Ahmad ke Bandung atau tidak.
Beda dengan leasing, ijaroh memiliki dua metode; pertama sama dengan leasing, dan kedua metode yang pembiayaanya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingen to performance). Contohnya Ahmad ingin pergi ke Bandung, karena tidak mau mengemudikan mobil sendiri, ia menghubungi pihak travel. Kepada pihak travel Pak Ahmad mengatakan “tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan memakai mobil anda, jika mau kami akan bayar Rp 500.000,-“. Pada akad ini pembayaran sewa tidak tergantung pada berapa lamanya mobil itu digunakan oleh penyewa, tapi pembayaran sewa bergantung pada apakah mobil dapat mengantarkan Pak ahmad ke Bandung atau tidak. Bila ternyata mobil itu hanya mengantarkan sampai Bogor, Pak Ahmad tidak perlu membayar sewa.
c. Perpindahan kepemilikan (Transper of title)
Dalam leasing kita kenal dengan operating lease dan financial lease. Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan kepemilikan asset, baik pada awal maupun pada akhir periode sewa. Dan dalam financial lease pada akhir periode sewa si penyewa memberikan pilihan untuk membeli atau tidak barang yang disewakan tersebut. Jadi transper of title masih berupa pilhan dan dilakukan pada akhir periode. Namun pada prakteknya dalam financial lease sudah tidak ada lagi opsi untuk membeli atau tidak, karena pilihan sudah dikunci pada periode awal.
Sedangkan pada Ijaroh pada prinsipnya sama dengan financial lease, tapi ada bedanya yaitu pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal IBMT (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan dan harga jual disepakati pada awal periode. Makanya dalam IBMT pihak yang menyewakan berjanji pada awal periode kepada penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya. Dengan demikian ada dua jenis IBMT, yaitu :
- IBMT dengan janji menghibahkan barang pada akhir periode sewa (IBMT with a promise to hibah)
- IBMT dengan janji menjual barang pada akhir periode (IBMT with a promise to sell).
d. Lease-Purchase
Dalam leasing dikenal lease-purchase (sewa beli), yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak ini perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak sewa beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa dan milik yang menyewakan. Dalam syari’at, akad lease-purchase ini diharamkan karena ada dua akad sekaligus (two in one), yaitu antara akad sewa atau beli. Disini tidak ada kejelasan akad, apakah yang dipakai akad sewa atau akad beli.
e. Sale and Lease Back
Sale and lease back terjadi jika, misalnya A menjual barang ke B seharga Rp 1.200.00,-, tapi karena A masih tetap ingin memiliki barang tersebut, barang yang telah dibeli B itu sewakan kembali ke A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang itu pada akhir periode. Transaksi seperti di atas adalah haram karena ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang kepada B, asalkan B mau menyewakan kembali kepada A. Dalam kasus ini disyaratkan akad I berlaku efektif bila akad II dilakukan. Dalam fiqih jual beli seperti ini dinamakan bai’u al innah.
I. Skema Pembiayaan Ijaroh
1. Nasabah mendatangi bank syariah memohon pembiayaan penyewaan sebuah rumah selama setahun, secara cicilian (bulanan) dan mereka negosiasi tentang harga.
2. Bank menyewa rumah tersebut Rp 10 juta setahun dibayar cash di muka.
3. Bank selanjutnya menyewakan rumah itu secara cicilan per bulan Rp 1 juta dengan akad ijarah (di sini dilaksanakan pengikatan/kontrak).
4. Rumah dimanfaatkan (digunakan) oleh nasabah.
5. Nasabah mencicil biaya sewa setiap bulan kepada bank.
Jenis Barang dan Jasa yang dapat disewakan :
Barang modal (aset tetap) misalnya gedung, ruko, kantor dan lain – lain.
Barang produksi, misalnya mesin dan alat – alat berat.
Barang kendaraan transportasi
Jasa untuk membayar ongkos, misalnya uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel, angkut dan trasportasi dan sebagainya.
J. Pola Pembiayaan Ijaroh
Contoh Ijaroh Murni bayar dengan cicilan :
Pak Ahmad hendak menyewa ruko selama satu tahun dengan nilai sewa Rp. 240.000.000,-. Orang yang punya ruko menghendaki pembayaran dilakukan diawal periode sewa. Tapi karena Pak Ahmad kekurangan biaya dan hanya manpu membayar dengan cicilan perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Pak Ahmad meminta pembiayaan dari Bank. Menganalisis kemampuan Pak Ahmad dan required rate of profit (sebesar 20 %), pihak bank menghitung :
- Harga sewa satu tahun (tunai dimuka) Rp. 240.000.000,-
- Required rate of profit 20% Rp. 48.000.000,-
- Harga sewa kepada Pak Ahmad Rp. 288.000.000,-
- Periode pembayaran 12 bulan (360 hari)
- Besar angsuran Pak Ahmad per bulan Rp. 24.000.000,-
Dengan analisis diatas, maka bentuk pembiayaan yang diberikan kepada Pak Ahmad adalah pembiayaan Ijaroh dengan cicilan per bulan sebesar Rp. 24.000.000,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar