Selasa, 18 November 2008

BANK SYARI'AH ANTARA KONSEP DAN REALITAS

Islam merupakan agama rahmatanlil’alamin (rahmad bagi sekalian alam). Untuk menjadi rahmat tentunya Islam itu telah disusun sesempurnanya dengan mencakup segala macam urusan, baik berupa ibadah maupun mu’amalah, firman Allah SWT;
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Q.S.Alma’idah;3).
Kesempurnaan ini banyak diragukan manusia, sehingga masih banyak diantara manusia yang mencari aturan selain dari pada aturan Islam. Tidak bisa kita pungkiri munculnya krisis keuangan global saat ini, menunjukan bahwa pondasi ekonomi bangsa sangat lemah dan rapuh. Salah satu pilar ekonomi yang paling disorot adalah sektor perbankan. Sebagai bagian dari pilar perekonomian, perbankan tentu bertanggung jawab terhadap krisis yang melanda. Menjadi pertanyaan di tangah masyarakat, ada apa dengan perbankan kita ? apa yang salah dalam pengelolaannya ? seperti apa sebenarnya system perbankan kita?.
Pertanyaan ini tak hanya muncul dikalangan masyarakat umum, tapi juga dikalangan praktisi maupun akademisi turut mempertanyakannya. Telah berbagai upaya dilakukan dalam mengatasinya, namun krisis tak kunjung reda malah makin parah. Akhirnya berbagai kajian dan pembahasan memunculkan kesadaran bersama bahwa perbankan nasional selama ini tidak dijalankan berdasarkan syari’at agama. Ajaran Islam yang mengatur masalah ekonomi menganut prinsip kebersamaan, kemerataan dan kekeluargaan serta berpihak kepada pengusaha kecil atau sector riil. Prinsip ini pada dasarnya merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat.
Ciri utama perbankan Islam adalah menjalankan system bagi hasil (profit and revenue sharing) yang diterapkan untuk menghimpun dan menyalurkan dana bank. System ini diterapkan dalam bentuk pembiayaaan mudharabah, musyarakah, transaksi dalam bentuk Ijarah, transaksi jual beli dalam bentuk piutang merobahah, salam, istisna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qard dan transaksi multijasa dalam bentuk akad Ijarah dan kafalah.
Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shohibul maal) kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian menggunakan metode bagi hasil antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Sedangkan musyarakah adalah penanaman dana secara bersama antara dua pihak dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, dan jika terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung secara bersama-sama.
Jenis pembiayaan ini pada dasarnya akan memberikan pertolongan berupa keringanan kepada kedua belah pihak, disamping juga system yang ampuh mendatang profit yang adil untuk keduanya. Karenanya dalam sebuah hadits qutsi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah di mana Allah berfirman “Saya adalah orang ketiga (bersama) dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantara mereka tidak menghianati yang lainnya”.

Realitas perbankan syari’ah
Semua orang berharap banyak melalui system bagi hasil ini untuk dapat menumbuhkan perekonomian, kesempatan yang sama untuk melakukan usaha/bisnis dengan dukungan nymodal dari bank, berkurangnya kesenjangan ekonomi antara kaya dengan miskin dan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil.
Sedmikian besarnya harapan orang, maka adalah hal wajar dipertanyakan sudah, seberapa besar bank syari’ah telah menjalankan system bagi hasil tersebut dan bagaimana realisasinya ditengah-tengan masyarakat?. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu penulis utarakan disini realitas yang terjadi pada perbankan syari’ah kita dewasa ini, diantaranya :
a. Belum ada perbankan syari’ah kita yang menjalankan prinsip bagi hasil secara murni
Berdasarkan laporan keuangan publikasi dari beberapa bank syari’ah, ternyata belum ada bank syari’ah menjalankan skim bagi hasil yang melewati 50 % dari total pembiayaan. Artinya pembiayaan bank-bank syari’ah lebih banyak disalurkan lewat skim lain terutama skim jual beli dalam bentuk murobahah. Tercatat hanya Bank Mu’amalat yang menginplementasikan skim bagi hasil 49%, selebihnya seperti Bank DKI syari’ah 43%, Bank Niaga Syari’ah 36%, BNI Syari’ah 19%, Bank Bukopin Syari’ah 18%. Kondisi ini amat memprihatinkan karena mengingat dasar yang dibangun oleh bank syari’ah yang mengedepankan bagi hasil sebagai jargonnya dalam pemasaran. Adalah ironis bank syari’ah yang mempunyai tujuan untuk membangun sector usaha kecil dan menengah (sector riil) tidak berpihak kepada sector tersebut.
Dalam pandangan saya ada beberapa hal yang menyebabkan bank syari’ah berlaku seperti ini, diantaranya : Pertama, bank syari’ah masih terlalu besar ketakutannya terhadap bahaya kerugian dari resiko mudharrobah. Indikasinya bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya pihak bank segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah dikucurkan dengan utuh. Hal ini menandakan akad antara bank dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharrabah, akan tetapi hutang piutang yang berbunga alias riba.
Kedua, Bank selaku pemilik modal masih belum yakin dengan kejujuran nasabah dalam melaporkan hasil usahanya. Ketiga, peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur skim bagi hasil ini masih dianggap menimbulkan kekhawatiran bagi bank. Melihat dari ketiga penyebab ini, rasanya yang paling ditonjolkan pihak bank sebagai alasan untuk menghambat pengucuran dana kepihak nasabah atau pelaku usaha adalah rasa takut rugi (ketidak siapan menjalankan system bagi hasil menurut ajaran Islam) berkedok dengan alasan ketidak jujuran nasabah.
b. Peranan ganda perbankan
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap peranan ini berubah, bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.
Status ganda ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad hutang piutang dan bukan akad mudharrabah. Yang demikian ini ketika bank berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada pada bank adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainya. Amanah dari pemodal ialah mengelola dana tersebut dalam usaha yang nyata yang akan mendatangkan laba (keuntungan), sehingga bank tidak semestinya menyalurkan dana yang terima ke pengesuha lainnya dengan akad mudharrobah. sehingga bila bank berperan sebagai pemodal, maka bank mendustakan kenyataan yang sebenarnya yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.
Imam an-Nawawi mengemukakan; “Hukum kedua, tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharrobah. Bila ia melakukan hal itu atas seizing pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharrobah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad modharrobah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang perolehnnya. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu maka akad mudharrobah bathil”. Ucapan senada juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata “tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang diterima) kepada orang lain dalam bentuk mudharrobah”,(demikian penegasan Imam Ahmad yang diambil dari pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafe’i)”.
Dalam akad mudharrobah yang dijalankan bank melalui peranan ganda seizin pemodal sedangkan bank tidak ikut serta menjalankan usaha yang dijalankan pengusaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanya sebagai perantara. Para ulama menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah karena keuntungan dalam akad mudharrobah hanyalah hak milik pemodal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal dan tidak ikut mengelola usaha tidak memiliki hak terhadap hasil usaha tersebut.
c. Bank tidak memiliki usaha yang riil
Bank syari’ah yang ada sekarang seakan tidak sepenuh hati menjalankan system perekonomian Islam secara utuh. Bank seakan menghindari sunnatullah yang telah digariskan dalam dunia usaha, yaitu untung rugi. Operator bank syari’ah senantiasa menghentikan langkah syari’at pada tahap aman dan tidak beresiko.
Oleh karena itu bank syari’ah yang ada tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang ditawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dan nasabah. Sebagai contoh nyata dari produk mudharrobah. operator bank syari’ah tidak berlaku sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana. Hal ini mereka lakukan karena takut dari resiko usaha, dan hanya ingin hanya mendapat keuntungan. Dengan demikian keadaannya, maka dana yang diperoleh oleh bank syari’ah adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh Imam diatas.
d. Bank tidak siap menanggung kerugian
Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang dterapkan perbankan syari’ah yaitu mewajibkan pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil. Dalam ilmu fiqih jika ada persyaratan yang bathil, maka solusinya adalah :
- Akad beserta persyaratannya tidak sah, sehingga masing-masing pihak harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
- Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan akad persyaratan tersebut.
Contohnya Bank Syari’ah A mengucurkan dana kepada Pak Ahmad sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60;40%. Setelah usaha jalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kerugian karena tempat usahanya kebakaran, sehingga modal yang ia terima dari bank tersisa Rp.20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syari’ah A akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya secara utuh, yaitu Rp.100.000.000,-.
Dalam kasus ini mungkin bank akan berdalih bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan dan kerugian. Praktek seperti ini adalah salah karena dalam akad mudharrobah, segala bentuk kerugian yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar human error ditanggung oleh bank, dan dalam kasus di atas kerugian disebabkan oleh kebakaran, makanya tidak sepantasnya bank membebankan kerugian kepada pengusaha
e. Semua nasabah mendapatkan bagi hasil.
Dalam hal ini bank mencampuradukan seluruh dana yang telah dihimpun, sehingga sulit diketahui mana nasabah yang dananya telah disalurkan dan masih beku di bank. namun demikian pada setiap akhir bulan setiap nasabah memperoleh keuntungan bagi hasil. Dalam praktek mudharrobah secara murni, praktek semacam ini menjadi masalah yang besar. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, belum berhak untuk mendapatkan bagi hasil karena keuntungan yang diperoleh bersumber dari dana nasabah yang telah disalurkan. Dan pembagian kepada nasabah yang jelas-jelas dananya belum disalurkan akan merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.
Inilah fakta diperbankan syari’ah yang ada di negeri kita, oleh karena itu tidaklah mengherankan bila perbankan syari’ah dihantui over liquilitas, yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang diperoleh dari nasabah. Keadaan ini memaksa perbankan syari’ah untuk menyimpan di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi’ah. Dan menurut data per Januari 2004, perbankan syari’ah berhasil mengumpulkan dana dari masyarakat sebeasar 6,62 triliun rupiah dan yang berhasil disalurkan sebesar 5,86 triliun rupiah, sedangkan sisanya disimpan di SBI. Kalau dianalisis penyimpanan dana di SBI ini juga tidak sesuai dengan ajaran syari’at karena membiarkan dana menganggur.
f. Metode bagi hasil yang berbelit-belit
Bila kita datang ke salah satu kantor bank syari’ah, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan metode bagi hasil. Untuk dapat memahami system bagi hasil ini tidaklah hal yang mudah, lebih-lebih bagi yang berpendidikan rendah. Berikut metode bagi hasil yang diterapkan diperbankan syari’ah;
Bagi hasil nasabah = dana/saldonasabah x E x rasio/nisbah nasabah
1000 1000
E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.
Dapat dilihat dengan jelas, bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema diatas adalah total modal nasabah. Adapun dalam akad mudharrobah yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, makanya akad ini dinamakan bagi hasil.
Muhammad Nawawi al Bantaani berkata, “Rukun mudharrobah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, diantaranya keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam persentase di awal”.
Yang lebih rumit lagi adalah metode penghitungan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah, berikut salah satu contohnya :
E = total dana nasabah – giro wajib minimum x total pendapatan x 1000
Total investasi total dana nasabah
Metode penghitungn ini berbelit-belit dan ini menandakan bahwa bank syari’ah yang ada tidak menerapkan metode mudharrobah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syari’at yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah memainkan istilah-istilah syari’at.

Kesimpulan
Perbankan syari’ah disusun atas dasar menjalankan syari’at Islam dengan kekaffahan (menyeluruh). Kaffah disini bermaksud, seluruh elemen yang berhubungan dengan pelaksanaan perbankan diharapkan berdasarkan pada prinsip Islam, sehingga bank syari’ah yang ada betul-betul terjaga keIslamannya. Makanya tidak mengherankan orang berharap banyak dengan keberadaan bank syari’ah, karena diyakini bank syari’at akan manpu menganggkat derajat manusia.
Jadi tidaklah mengherankan muncul kritikan-kritikan terhadap keberadaan bank syari’ah dewasa ini. Mereka menganggap bank syari’ah yang ada sekarang belum menunjukan bank syari’ah yang sebenarnya menjalankan programnya sesuai dengan Islam. Kita tidak menutup kelemahan-kelemahan yang ada pada bank syari’ah, tapi demikianlah keadaannya. Makanya perlu solusi yang membangun untuk perbaikan bank syari’ah kedepan, dalam hal ini saya memberikan beberapa solusi, diantaranya :
a. Perlu pemilahan nasabah berdasarkan tujuan masing-masing nasabah
Secara global, kita perlu mengelompokan nasabah yang menyimpan dananya di bank berdasarkan keinginan mereka menyimpan dana di bank. Kelompok pertama adalah kelompok nasabah yang semata-mata ingin mengamankan dananya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.
Masing-masing kelompok ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Berdasarkan pemilahan ini pula perbankan dapat menentukan hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan dari kelompok pertama, dapat dimanfaatkan oleh bank dan hasilnya menjadi milik bank sendiri karena untuk menghindari over liquiditas, dan pihak nasabah tidak mendapatkan apa-apa atau mungkin nasabah tersebut yang mesti membayar upah menitipan uangnya karena uangnya telah dijaga dengan aman dan mereka dapat mengambil kapan saja dana tersebut. Tapi sebaliknya bagi kelompok kedua, mereka mempunyai hak terhadap hasil keuntungan dan begitu sebaliknya mereka juga ikut menanggung kerugian jika terjadi kerugian. Makanya perlu pemisahan antara nasabah tersebut.
b. Perbankan harus terjun langsung ke sector riil
Salah satu beda bank syari’ah dengan konvensional adalah sector garapan bank syari’ah yang lebih mengedepankan penyaluran dana ke UKM (sector riil). Dalam bank syari’ah pada konsepnya tidak dibolehkan adanya dana mengangur apalagi dititipkan pada SBI, biarkan dana itu mengalir seperti bola salju. Karena dengan system seperti ini kemerataan perekonomian dapat terwujud, sehingga jurang pemisah antara kaya dengan miskin dapat diperkecil.
c. Perlu keterbukaan dalam pengelolaan dana oleh bank
Keterbukaan bank akan menghindarkan kecurigaan dari pihak nasabah, sehingga kalau bank memegang prinsip ini, kepercayaan nasabah terhadap bank akan tetap tercipta. Kepercayaan ini akan membuat nasabah semakin memperbanyak investasinya melalui bank syari’ah, sehingga diharapkan tingkat penyaluran dana tersebut ke sector riil juga mengalami peningkatan……

Tidak ada komentar:

My Album

AYAT-AYAT CINTA