Islam merupakan agama rahmatanlil’alamin (rahmad bagi sekalian alam). Untuk menjadi rahmat tentunya Islam itu telah disusun sesempurnanya dengan mencakup segala macam urusan, baik berupa ibadah maupun mu’amalah, firman Allah SWT;
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Q.S.Alma’idah;3).
Kesempurnaan ini banyak diragukan manusia, sehingga masih banyak diantara manusia yang mencari aturan selain dari pada aturan Islam. Tidak bisa kita pungkiri munculnya krisis keuangan global saat ini, menunjukan bahwa pondasi ekonomi bangsa sangat lemah dan rapuh. Salah satu pilar ekonomi yang paling disorot adalah sektor perbankan. Sebagai bagian dari pilar perekonomian, perbankan tentu bertanggung jawab terhadap krisis yang melanda. Menjadi pertanyaan di tangah masyarakat, ada apa dengan perbankan kita ? apa yang salah dalam pengelolaannya ? seperti apa sebenarnya system perbankan kita?.
Pertanyaan ini tak hanya muncul dikalangan masyarakat umum, tapi juga dikalangan praktisi maupun akademisi turut mempertanyakannya. Telah berbagai upaya dilakukan dalam mengatasinya, namun krisis tak kunjung reda malah makin parah. Akhirnya berbagai kajian dan pembahasan memunculkan kesadaran bersama bahwa perbankan nasional selama ini tidak dijalankan berdasarkan syari’at agama. Ajaran Islam yang mengatur masalah ekonomi menganut prinsip kebersamaan, kemerataan dan kekeluargaan serta berpihak kepada pengusaha kecil atau sector riil. Prinsip ini pada dasarnya merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat.
Ciri utama perbankan Islam adalah menjalankan system bagi hasil (profit and revenue sharing) yang diterapkan untuk menghimpun dan menyalurkan dana bank. System ini diterapkan dalam bentuk pembiayaaan mudharabah, musyarakah, transaksi dalam bentuk Ijarah, transaksi jual beli dalam bentuk piutang merobahah, salam, istisna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qard dan transaksi multijasa dalam bentuk akad Ijarah dan kafalah.
Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shohibul maal) kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian menggunakan metode bagi hasil antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati. Sedangkan musyarakah adalah penanaman dana secara bersama antara dua pihak dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, dan jika terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung secara bersama-sama.
Jenis pembiayaan ini pada dasarnya akan memberikan pertolongan berupa keringanan kepada kedua belah pihak, disamping juga system yang ampuh mendatang profit yang adil untuk keduanya. Karenanya dalam sebuah hadits qutsi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah di mana Allah berfirman “Saya adalah orang ketiga (bersama) dari dua orang yang berserikat selama salah seorang diantara mereka tidak menghianati yang lainnya”.
Realitas perbankan syari’ah
Semua orang berharap banyak melalui system bagi hasil ini untuk dapat menumbuhkan perekonomian, kesempatan yang sama untuk melakukan usaha/bisnis dengan dukungan nymodal dari bank, berkurangnya kesenjangan ekonomi antara kaya dengan miskin dan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil.
Sedmikian besarnya harapan orang, maka adalah hal wajar dipertanyakan sudah, seberapa besar bank syari’ah telah menjalankan system bagi hasil tersebut dan bagaimana realisasinya ditengah-tengan masyarakat?. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu penulis utarakan disini realitas yang terjadi pada perbankan syari’ah kita dewasa ini, diantaranya :
a. Belum ada perbankan syari’ah kita yang menjalankan prinsip bagi hasil secara murni
Berdasarkan laporan keuangan publikasi dari beberapa bank syari’ah, ternyata belum ada bank syari’ah menjalankan skim bagi hasil yang melewati 50 % dari total pembiayaan. Artinya pembiayaan bank-bank syari’ah lebih banyak disalurkan lewat skim lain terutama skim jual beli dalam bentuk murobahah. Tercatat hanya Bank Mu’amalat yang menginplementasikan skim bagi hasil 49%, selebihnya seperti Bank DKI syari’ah 43%, Bank Niaga Syari’ah 36%, BNI Syari’ah 19%, Bank Bukopin Syari’ah 18%. Kondisi ini amat memprihatinkan karena mengingat dasar yang dibangun oleh bank syari’ah yang mengedepankan bagi hasil sebagai jargonnya dalam pemasaran. Adalah ironis bank syari’ah yang mempunyai tujuan untuk membangun sector usaha kecil dan menengah (sector riil) tidak berpihak kepada sector tersebut.
Dalam pandangan saya ada beberapa hal yang menyebabkan bank syari’ah berlaku seperti ini, diantaranya : Pertama, bank syari’ah masih terlalu besar ketakutannya terhadap bahaya kerugian dari resiko mudharrobah. Indikasinya bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya pihak bank segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah dikucurkan dengan utuh. Hal ini menandakan akad antara bank dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharrabah, akan tetapi hutang piutang yang berbunga alias riba.
Kedua, Bank selaku pemilik modal masih belum yakin dengan kejujuran nasabah dalam melaporkan hasil usahanya. Ketiga, peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur skim bagi hasil ini masih dianggap menimbulkan kekhawatiran bagi bank. Melihat dari ketiga penyebab ini, rasanya yang paling ditonjolkan pihak bank sebagai alasan untuk menghambat pengucuran dana kepihak nasabah atau pelaku usaha adalah rasa takut rugi (ketidak siapan menjalankan system bagi hasil menurut ajaran Islam) berkedok dengan alasan ketidak jujuran nasabah.
b. Peranan ganda perbankan
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap peranan ini berubah, bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.
Status ganda ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad hutang piutang dan bukan akad mudharrabah. Yang demikian ini ketika bank berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada pada bank adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainya. Amanah dari pemodal ialah mengelola dana tersebut dalam usaha yang nyata yang akan mendatangkan laba (keuntungan), sehingga bank tidak semestinya menyalurkan dana yang terima ke pengesuha lainnya dengan akad mudharrobah. sehingga bila bank berperan sebagai pemodal, maka bank mendustakan kenyataan yang sebenarnya yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.
Imam an-Nawawi mengemukakan; “Hukum kedua, tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharrobah. Bila ia melakukan hal itu atas seizing pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharrobah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad modharrobah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang perolehnnya. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu maka akad mudharrobah bathil”. Ucapan senada juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata “tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang diterima) kepada orang lain dalam bentuk mudharrobah”,(demikian penegasan Imam Ahmad yang diambil dari pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafe’i)”.
Dalam akad mudharrobah yang dijalankan bank melalui peranan ganda seizin pemodal sedangkan bank tidak ikut serta menjalankan usaha yang dijalankan pengusaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanya sebagai perantara. Para ulama menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah karena keuntungan dalam akad mudharrobah hanyalah hak milik pemodal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal dan tidak ikut mengelola usaha tidak memiliki hak terhadap hasil usaha tersebut.
c. Bank tidak memiliki usaha yang riil
Bank syari’ah yang ada sekarang seakan tidak sepenuh hati menjalankan system perekonomian Islam secara utuh. Bank seakan menghindari sunnatullah yang telah digariskan dalam dunia usaha, yaitu untung rugi. Operator bank syari’ah senantiasa menghentikan langkah syari’at pada tahap aman dan tidak beresiko.
Oleh karena itu bank syari’ah yang ada tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang ditawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dan nasabah. Sebagai contoh nyata dari produk mudharrobah. operator bank syari’ah tidak berlaku sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana. Hal ini mereka lakukan karena takut dari resiko usaha, dan hanya ingin hanya mendapat keuntungan. Dengan demikian keadaannya, maka dana yang diperoleh oleh bank syari’ah adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh Imam diatas.
d. Bank tidak siap menanggung kerugian
Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang dterapkan perbankan syari’ah yaitu mewajibkan pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil. Dalam ilmu fiqih jika ada persyaratan yang bathil, maka solusinya adalah :
- Akad beserta persyaratannya tidak sah, sehingga masing-masing pihak harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
- Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan akad persyaratan tersebut.
Contohnya Bank Syari’ah A mengucurkan dana kepada Pak Ahmad sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60;40%. Setelah usaha jalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kerugian karena tempat usahanya kebakaran, sehingga modal yang ia terima dari bank tersisa Rp.20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syari’ah A akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya secara utuh, yaitu Rp.100.000.000,-.
Dalam kasus ini mungkin bank akan berdalih bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan dan kerugian. Praktek seperti ini adalah salah karena dalam akad mudharrobah, segala bentuk kerugian yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar human error ditanggung oleh bank, dan dalam kasus di atas kerugian disebabkan oleh kebakaran, makanya tidak sepantasnya bank membebankan kerugian kepada pengusaha
e. Semua nasabah mendapatkan bagi hasil.
Dalam hal ini bank mencampuradukan seluruh dana yang telah dihimpun, sehingga sulit diketahui mana nasabah yang dananya telah disalurkan dan masih beku di bank. namun demikian pada setiap akhir bulan setiap nasabah memperoleh keuntungan bagi hasil. Dalam praktek mudharrobah secara murni, praktek semacam ini menjadi masalah yang besar. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, belum berhak untuk mendapatkan bagi hasil karena keuntungan yang diperoleh bersumber dari dana nasabah yang telah disalurkan. Dan pembagian kepada nasabah yang jelas-jelas dananya belum disalurkan akan merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.
Inilah fakta diperbankan syari’ah yang ada di negeri kita, oleh karena itu tidaklah mengherankan bila perbankan syari’ah dihantui over liquilitas, yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang diperoleh dari nasabah. Keadaan ini memaksa perbankan syari’ah untuk menyimpan di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi’ah. Dan menurut data per Januari 2004, perbankan syari’ah berhasil mengumpulkan dana dari masyarakat sebeasar 6,62 triliun rupiah dan yang berhasil disalurkan sebesar 5,86 triliun rupiah, sedangkan sisanya disimpan di SBI. Kalau dianalisis penyimpanan dana di SBI ini juga tidak sesuai dengan ajaran syari’at karena membiarkan dana menganggur.
f. Metode bagi hasil yang berbelit-belit
Bila kita datang ke salah satu kantor bank syari’ah, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan metode bagi hasil. Untuk dapat memahami system bagi hasil ini tidaklah hal yang mudah, lebih-lebih bagi yang berpendidikan rendah. Berikut metode bagi hasil yang diterapkan diperbankan syari’ah;
Bagi hasil nasabah = dana/saldonasabah x E x rasio/nisbah nasabah
1000 1000
E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.
Dapat dilihat dengan jelas, bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema diatas adalah total modal nasabah. Adapun dalam akad mudharrobah yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, makanya akad ini dinamakan bagi hasil.
Muhammad Nawawi al Bantaani berkata, “Rukun mudharrobah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, diantaranya keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam persentase di awal”.
Yang lebih rumit lagi adalah metode penghitungan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah, berikut salah satu contohnya :
E = total dana nasabah – giro wajib minimum x total pendapatan x 1000
Total investasi total dana nasabah
Metode penghitungn ini berbelit-belit dan ini menandakan bahwa bank syari’ah yang ada tidak menerapkan metode mudharrobah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syari’at yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah memainkan istilah-istilah syari’at.
Kesimpulan
Perbankan syari’ah disusun atas dasar menjalankan syari’at Islam dengan kekaffahan (menyeluruh). Kaffah disini bermaksud, seluruh elemen yang berhubungan dengan pelaksanaan perbankan diharapkan berdasarkan pada prinsip Islam, sehingga bank syari’ah yang ada betul-betul terjaga keIslamannya. Makanya tidak mengherankan orang berharap banyak dengan keberadaan bank syari’ah, karena diyakini bank syari’at akan manpu menganggkat derajat manusia.
Jadi tidaklah mengherankan muncul kritikan-kritikan terhadap keberadaan bank syari’ah dewasa ini. Mereka menganggap bank syari’ah yang ada sekarang belum menunjukan bank syari’ah yang sebenarnya menjalankan programnya sesuai dengan Islam. Kita tidak menutup kelemahan-kelemahan yang ada pada bank syari’ah, tapi demikianlah keadaannya. Makanya perlu solusi yang membangun untuk perbaikan bank syari’ah kedepan, dalam hal ini saya memberikan beberapa solusi, diantaranya :
a. Perlu pemilahan nasabah berdasarkan tujuan masing-masing nasabah
Secara global, kita perlu mengelompokan nasabah yang menyimpan dananya di bank berdasarkan keinginan mereka menyimpan dana di bank. Kelompok pertama adalah kelompok nasabah yang semata-mata ingin mengamankan dananya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.
Masing-masing kelompok ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijabarkan diatas. Berdasarkan pemilahan ini pula perbankan dapat menentukan hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan dari kelompok pertama, dapat dimanfaatkan oleh bank dan hasilnya menjadi milik bank sendiri karena untuk menghindari over liquiditas, dan pihak nasabah tidak mendapatkan apa-apa atau mungkin nasabah tersebut yang mesti membayar upah menitipan uangnya karena uangnya telah dijaga dengan aman dan mereka dapat mengambil kapan saja dana tersebut. Tapi sebaliknya bagi kelompok kedua, mereka mempunyai hak terhadap hasil keuntungan dan begitu sebaliknya mereka juga ikut menanggung kerugian jika terjadi kerugian. Makanya perlu pemisahan antara nasabah tersebut.
b. Perbankan harus terjun langsung ke sector riil
Salah satu beda bank syari’ah dengan konvensional adalah sector garapan bank syari’ah yang lebih mengedepankan penyaluran dana ke UKM (sector riil). Dalam bank syari’ah pada konsepnya tidak dibolehkan adanya dana mengangur apalagi dititipkan pada SBI, biarkan dana itu mengalir seperti bola salju. Karena dengan system seperti ini kemerataan perekonomian dapat terwujud, sehingga jurang pemisah antara kaya dengan miskin dapat diperkecil.
c. Perlu keterbukaan dalam pengelolaan dana oleh bank
Keterbukaan bank akan menghindarkan kecurigaan dari pihak nasabah, sehingga kalau bank memegang prinsip ini, kepercayaan nasabah terhadap bank akan tetap tercipta. Kepercayaan ini akan membuat nasabah semakin memperbanyak investasinya melalui bank syari’ah, sehingga diharapkan tingkat penyaluran dana tersebut ke sector riil juga mengalami peningkatan……
Selasa, 18 November 2008
IJAROH
A. Pengertian
Ijaroh berasal dari kata al–ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-iwadh dalam behasa Indonesia diartikan sebagai ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah ijaroh diartikan sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah ijaroh diartikan ”Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.“
2. Menurut Malikiyah ijaroh ialah ” Nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.“
3. Menurut Sayyid Sabiq ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
4. Menurut fatwa DSN ijaroh didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
B. Landasan Hukum
1. Firman Allah QS. al-Zukhruf [43]: 32:
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ، نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا، وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ.
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar seba-gian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
...وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
4. Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
5. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
6. Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
8. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
9. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
C. Rukun, Syarat dan Prinsip Ijaroh
Adapun rukun dan syarat Ijaroh adalah sebagai berikut :
1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. mu’jir adalah orang yang memberi sewa atau upah, sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah atau sewa.
2. Shiqot ijab kabul sewa menyewa atau upah mengupah antara mu’jir dan musta’jir.
3. Ujroh, kedua belah pihak disyaratkan mengetahui jumlahnya baik dalam sewa menyewa maupun upah mengupah.
4. Barang yang disewakan disyaratkan sebagai berikut :
– Barang yang dijadikan objek upah mengupah maupun sewa menyewa hendaklah batang yang dapat dimanfaatkan kegunaannya.
– Barang yang dijadikan objek upah mengupah dan khususnya sewa menyewa hendaklah dapat diserahkan kepada penyewa atau pekerja berikut kegunaannya.
– Manfaat dari benda yang disewa adalah mubah menurut sayat bukan haram.
– Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zatnya) hingga waktu yang ditentukan menurut akad.
Sedangkan prinsip Ijaroh adalah : Transaksi Ijaroh dilandasi dengan adanya pemindahan manfa’at (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip Ijaroh sama dengan prinsip jual beli. Perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada Ijaroh objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
D. Hak Dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Menurut fatwa DSN kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah adalah ;
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Contohnya : mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima barang yang rusak. Bila mana kondisi ini terjadi, apakah harga sewa masih dibayar penuh ? sebagian ulama berpendapat, jika penyewa tidak membatalkan akad, harga harus dibayar penuh (Mula Khasra, Syarh Al-Duur,3:278-279). Sebagian ulama yang berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat:
a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
E. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Contoh : dikatakan “saya sewakan mobil ini selama sebulan dengan harga sewa Rp. XXX”. Bila penyewa ingin memperpanjang harga 2 kali lebih besar dari harga sebelumnya. Dan sebaliknya sipenyewa dapat saja menawar harga. Semuanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Mayoritas ulama mengatakan “syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga pada harga sewa (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4;59).
Dari contoh ini diperoleh ; Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewakan kepada musta’jir, maka musta’jir berhak membayarnya karena musta’jir telah menerima kegunaan benda maupun barang tersebut. Hak menerima upah bagi mu’jir adalah sebagai berikut :
– Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, adapun dasarnya adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
– Jika menyewa barang, upah sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali jika dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarohkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
– Dalam ijaroh, harga sewa ditentukan oleh kedua pihak yaitu penyewa dan yang menyewakan. Misalnya dikatakan, “Saya sewakan rumah ini selama satu tahun dengan harga sewa Rp. XX.” Kesepakatan ini berlaku sepanjang periode sewa yang telah disepakati yaitu satu tahun.
– Harga sewa dan upah harus ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi, sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abu Hurairah, “Siapa yang memperkerjakan seorang pekerja harus memberitahukan upahnya.” Lalu jika terjadi kasus misalnya naik ojeg tanpa kesepakatan terlebih dahulu, maka fatwa ulama mengatakaan bahwa harga sewa yang lazim berlaku jika tidak ditentukan dimuka.
– Mu’jir boleh menyewakan kembali barang yang telah dia sewakan, asalkan penggunaan barang tersebut sesuai dengan yang dijanjikan ketika akad.
F. Ijaroh Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
M. Syafe’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah Bagi Para Bangkir Dan Praktisi Keuangan menuliskan bahwa yang dimaksud dengan Ijaroh Muntahia Bit Tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan sipenyewa. Sifat kepemilikan inilah yang membedakannya dengan ijaroh biasa. IMBT memiliki banyak bentuk, tergantung apa yang di sepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al ijaroh dan janji menjual, nilai sewa yang mereka tentukan, harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan dipindahkan. Tapi dalam IMBT pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :
- Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
- Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual pada akhir masa sewa (alternative 1) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative kecil. Karena sewa yang dibayar relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai dibayarkan akhir periode belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Maka itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu pada akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative besar. Karena sewa yang dibayarkan relative besar, akumulasi sewa pada akhir periode sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan bank. Dengan demikian bank dapat menghibahkan barang tersebut pada akhir masa periode pada penyewa.
Hibah ini bersifat mu’allaq terhadap masa mustaqbal (akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fiqh Islam. Demikian pula muallaq (ta’aluq dalam waktu) dalam jual beli. Misalnya, “Jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI dan tulisan Adiwarman. Juga (jelas) tanpa pembayaran tambahan di luar angsuran terakhir.
G. Ijaroh wa Iqtina dalam Teknis Perbankan
Ijaroh wa Iqtina (Ijaroh Muntahia Bit Tamlik) adalah akad sewa menyewa atas barang tertentu antara bank sebagai pemilik barang (mu’jir) dan nasabah selaku penyewa (musta’jir) untuk jangka waktu dan dengan harga yang disepakati. Pada akhir masa sewa, bank memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dengan harga yang disepakati pula.
Aplikasinya dalam pembiayaan investasi; seperti untuk pembiayaan barang-barang modal seperti mesin-mesin. Dan dalam pembiayaan consumer; seperti untuk pembelian mobil, rumah dan sebagainya.
Pada dasarnya pembiayaan Ijaroh dan IMBT memiliki kesamaan dengan pembiayaan murobahah. Sampai sa’at ini mayoritas pembiayaan Islamic banking masih terpokus pada produk-produk murobahah. Kesamaan keduanya adalah pada kategori natural certainty contract yang pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaanya hanyalah objek transaksi yang diperjual belikan. Dalam pembiayaan murobahah objek transaksinya adalah berupa barang seperti rumah atau mobil, sedangkan pada ijaroh objeknya berupa jasa, baik manfa’at atas barang maupun manfa’at atas tenaga kerja. Dengan pembiayaan murobahah, Islamic banking hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijaroh, Islamic banking dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Adapun tahapan IBMT di bank adalah ;
Nasabah menjelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir periode ijarah ia ingin memiliki
Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada nasabah.
Apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki asset tersebut
Bank membeli atau menyewa asset yang dibutuhkan nasabah
Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan
Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan.
Bank melakukan penyusutan terhadap asset dan biaya penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi
Di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan.
Jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara hibah.
Sedangkan berakhirnya akad dengan bank, jika :
- Selesainya masa ijarah
- Rusaknya obyek ijarah
- Pembebasan biaya sewa (ibra’) oleh pemilik asset.
H. Ijaroh dan Leasing
Ijaroh biasa mengatur pemanfa’atan hak guna tanpa terjadinya pemindahan kepemilikan, hal ini membuat banyak orang menyamakannya dengan leasing. Pada dasarnya antara ijaroh dengan leasing sama tapi ada hal-hal yang membedakannya, seperti pada table berikut :
Aspek Pembeda Ijaroh Leasing
Objek Manfaat barang dan jasa Manfaat barang saja
Method of Payment Contingen to Performance
Not Contingen to Performance Not Contingen to Performance
Transfer of Title Ijaroh : No transfer of Title
IMBT : Promise to sell or hibah at the beginning of period. Operating lease : no transfer of title.
Financial Lease : option to buy or not to buy, at the end of period
Lease - Purchase Haram karena akadnya gharar. Boleh
Sale and Lease Back Boleh Boleh
Penjelasan table :
a. Objek
Dilihat dari sisi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku sewa menyewa barang saja. Sedangkan ijaroh, objek yang disewakan bisa berupa barang atau jasa. Kalau berupa barang, pengambilan manfa’at barang berupa sewa menyewa dan pada jasa disebut upah mengupah.
b. Metode pembayaran
Dalam metode pembayaran leasing bersifat not contingent to performance, artinya pembayaran sewa tidak tergantung pada kenerja objek yang disewakan. Misalnya Ahmad menyewa mobil X pada Toyota Rent A Car untuk dua hari dengan tariff Rp. 1.000.000/hari. Dengan mobil itu Ahmad berencana pergi ke Bandung, tapi karena sesuatu hal, Ahmad memutuskan berhenti di Bogor dan tidak melanjutkan perjalanan lagi ke Bandung. Dalam hal ini Ahmad tetap harus membayar sewa mobil seharga ke Bandung. Dengan demikian, penentuan harga sewa pada kasus di atas tergantung pada lamanya waktu sewa, bukan pada apakah mobil itu dapat mengantarkan Ahmad ke Bandung atau tidak.
Beda dengan leasing, ijaroh memiliki dua metode; pertama sama dengan leasing, dan kedua metode yang pembiayaanya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingen to performance). Contohnya Ahmad ingin pergi ke Bandung, karena tidak mau mengemudikan mobil sendiri, ia menghubungi pihak travel. Kepada pihak travel Pak Ahmad mengatakan “tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan memakai mobil anda, jika mau kami akan bayar Rp 500.000,-“. Pada akad ini pembayaran sewa tidak tergantung pada berapa lamanya mobil itu digunakan oleh penyewa, tapi pembayaran sewa bergantung pada apakah mobil dapat mengantarkan Pak ahmad ke Bandung atau tidak. Bila ternyata mobil itu hanya mengantarkan sampai Bogor, Pak Ahmad tidak perlu membayar sewa.
c. Perpindahan kepemilikan (Transper of title)
Dalam leasing kita kenal dengan operating lease dan financial lease. Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan kepemilikan asset, baik pada awal maupun pada akhir periode sewa. Dan dalam financial lease pada akhir periode sewa si penyewa memberikan pilihan untuk membeli atau tidak barang yang disewakan tersebut. Jadi transper of title masih berupa pilhan dan dilakukan pada akhir periode. Namun pada prakteknya dalam financial lease sudah tidak ada lagi opsi untuk membeli atau tidak, karena pilihan sudah dikunci pada periode awal.
Sedangkan pada Ijaroh pada prinsipnya sama dengan financial lease, tapi ada bedanya yaitu pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal IBMT (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan dan harga jual disepakati pada awal periode. Makanya dalam IBMT pihak yang menyewakan berjanji pada awal periode kepada penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya. Dengan demikian ada dua jenis IBMT, yaitu :
- IBMT dengan janji menghibahkan barang pada akhir periode sewa (IBMT with a promise to hibah)
- IBMT dengan janji menjual barang pada akhir periode (IBMT with a promise to sell).
d. Lease-Purchase
Dalam leasing dikenal lease-purchase (sewa beli), yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak ini perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak sewa beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa dan milik yang menyewakan. Dalam syari’at, akad lease-purchase ini diharamkan karena ada dua akad sekaligus (two in one), yaitu antara akad sewa atau beli. Disini tidak ada kejelasan akad, apakah yang dipakai akad sewa atau akad beli.
e. Sale and Lease Back
Sale and lease back terjadi jika, misalnya A menjual barang ke B seharga Rp 1.200.00,-, tapi karena A masih tetap ingin memiliki barang tersebut, barang yang telah dibeli B itu sewakan kembali ke A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang itu pada akhir periode. Transaksi seperti di atas adalah haram karena ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang kepada B, asalkan B mau menyewakan kembali kepada A. Dalam kasus ini disyaratkan akad I berlaku efektif bila akad II dilakukan. Dalam fiqih jual beli seperti ini dinamakan bai’u al innah.
I. Skema Pembiayaan Ijaroh
1. Nasabah mendatangi bank syariah memohon pembiayaan penyewaan sebuah rumah selama setahun, secara cicilian (bulanan) dan mereka negosiasi tentang harga.
2. Bank menyewa rumah tersebut Rp 10 juta setahun dibayar cash di muka.
3. Bank selanjutnya menyewakan rumah itu secara cicilan per bulan Rp 1 juta dengan akad ijarah (di sini dilaksanakan pengikatan/kontrak).
4. Rumah dimanfaatkan (digunakan) oleh nasabah.
5. Nasabah mencicil biaya sewa setiap bulan kepada bank.
Jenis Barang dan Jasa yang dapat disewakan :
Barang modal (aset tetap) misalnya gedung, ruko, kantor dan lain – lain.
Barang produksi, misalnya mesin dan alat – alat berat.
Barang kendaraan transportasi
Jasa untuk membayar ongkos, misalnya uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel, angkut dan trasportasi dan sebagainya.
J. Pola Pembiayaan Ijaroh
Contoh Ijaroh Murni bayar dengan cicilan :
Pak Ahmad hendak menyewa ruko selama satu tahun dengan nilai sewa Rp. 240.000.000,-. Orang yang punya ruko menghendaki pembayaran dilakukan diawal periode sewa. Tapi karena Pak Ahmad kekurangan biaya dan hanya manpu membayar dengan cicilan perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Pak Ahmad meminta pembiayaan dari Bank. Menganalisis kemampuan Pak Ahmad dan required rate of profit (sebesar 20 %), pihak bank menghitung :
- Harga sewa satu tahun (tunai dimuka) Rp. 240.000.000,-
- Required rate of profit 20% Rp. 48.000.000,-
- Harga sewa kepada Pak Ahmad Rp. 288.000.000,-
- Periode pembayaran 12 bulan (360 hari)
- Besar angsuran Pak Ahmad per bulan Rp. 24.000.000,-
Dengan analisis diatas, maka bentuk pembiayaan yang diberikan kepada Pak Ahmad adalah pembiayaan Ijaroh dengan cicilan per bulan sebesar Rp. 24.000.000,-
Ijaroh berasal dari kata al–ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-iwadh dalam behasa Indonesia diartikan sebagai ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah ijaroh diartikan sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah ijaroh diartikan ”Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.“
2. Menurut Malikiyah ijaroh ialah ” Nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.“
3. Menurut Sayyid Sabiq ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
4. Menurut fatwa DSN ijaroh didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
B. Landasan Hukum
1. Firman Allah QS. al-Zukhruf [43]: 32:
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ، نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا، وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا، وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ.
“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar seba-gian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233:
...وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ.
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
3. Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
4. Hadist riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
5. Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
6. Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
8. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
9. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
C. Rukun, Syarat dan Prinsip Ijaroh
Adapun rukun dan syarat Ijaroh adalah sebagai berikut :
1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. mu’jir adalah orang yang memberi sewa atau upah, sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah atau sewa.
2. Shiqot ijab kabul sewa menyewa atau upah mengupah antara mu’jir dan musta’jir.
3. Ujroh, kedua belah pihak disyaratkan mengetahui jumlahnya baik dalam sewa menyewa maupun upah mengupah.
4. Barang yang disewakan disyaratkan sebagai berikut :
– Barang yang dijadikan objek upah mengupah maupun sewa menyewa hendaklah batang yang dapat dimanfaatkan kegunaannya.
– Barang yang dijadikan objek upah mengupah dan khususnya sewa menyewa hendaklah dapat diserahkan kepada penyewa atau pekerja berikut kegunaannya.
– Manfaat dari benda yang disewa adalah mubah menurut sayat bukan haram.
– Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zatnya) hingga waktu yang ditentukan menurut akad.
Sedangkan prinsip Ijaroh adalah : Transaksi Ijaroh dilandasi dengan adanya pemindahan manfa’at (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip Ijaroh sama dengan prinsip jual beli. Perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli objek transaksinya barang, sedangkan pada Ijaroh objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
D. Hak Dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Menurut fatwa DSN kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah adalah ;
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Contohnya : mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima barang yang rusak. Bila mana kondisi ini terjadi, apakah harga sewa masih dibayar penuh ? sebagian ulama berpendapat, jika penyewa tidak membatalkan akad, harga harus dibayar penuh (Mula Khasra, Syarh Al-Duur,3:278-279). Sebagian ulama yang berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat:
a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
E. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Contoh : dikatakan “saya sewakan mobil ini selama sebulan dengan harga sewa Rp. XXX”. Bila penyewa ingin memperpanjang harga 2 kali lebih besar dari harga sebelumnya. Dan sebaliknya sipenyewa dapat saja menawar harga. Semuanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Mayoritas ulama mengatakan “syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga pada harga sewa (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4;59).
Dari contoh ini diperoleh ; Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewakan kepada musta’jir, maka musta’jir berhak membayarnya karena musta’jir telah menerima kegunaan benda maupun barang tersebut. Hak menerima upah bagi mu’jir adalah sebagai berikut :
– Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, adapun dasarnya adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
– Jika menyewa barang, upah sewa dibayar ketika akad sewa, kecuali jika dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarohkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
– Dalam ijaroh, harga sewa ditentukan oleh kedua pihak yaitu penyewa dan yang menyewakan. Misalnya dikatakan, “Saya sewakan rumah ini selama satu tahun dengan harga sewa Rp. XX.” Kesepakatan ini berlaku sepanjang periode sewa yang telah disepakati yaitu satu tahun.
– Harga sewa dan upah harus ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi, sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Abu Hurairah, “Siapa yang memperkerjakan seorang pekerja harus memberitahukan upahnya.” Lalu jika terjadi kasus misalnya naik ojeg tanpa kesepakatan terlebih dahulu, maka fatwa ulama mengatakaan bahwa harga sewa yang lazim berlaku jika tidak ditentukan dimuka.
– Mu’jir boleh menyewakan kembali barang yang telah dia sewakan, asalkan penggunaan barang tersebut sesuai dengan yang dijanjikan ketika akad.
F. Ijaroh Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
M. Syafe’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah Bagi Para Bangkir Dan Praktisi Keuangan menuliskan bahwa yang dimaksud dengan Ijaroh Muntahia Bit Tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan sipenyewa. Sifat kepemilikan inilah yang membedakannya dengan ijaroh biasa. IMBT memiliki banyak bentuk, tergantung apa yang di sepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al ijaroh dan janji menjual, nilai sewa yang mereka tentukan, harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan dipindahkan. Tapi dalam IMBT pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :
- Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
- Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual pada akhir masa sewa (alternative 1) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative kecil. Karena sewa yang dibayar relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai dibayarkan akhir periode belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Maka itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu pada akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang pada akhir masa sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative besar. Karena sewa yang dibayarkan relative besar, akumulasi sewa pada akhir periode sudah mencukupi untuk menutupi harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan bank. Dengan demikian bank dapat menghibahkan barang tersebut pada akhir masa periode pada penyewa.
Hibah ini bersifat mu’allaq terhadap masa mustaqbal (akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fiqh Islam. Demikian pula muallaq (ta’aluq dalam waktu) dalam jual beli. Misalnya, “Jika anda telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang ini kepada anda”. Praktek ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Selain itu menurut para ulama perpindahan kepemilikan secara otomatis seperti cara-cara diatas tidak perlu membuat kontrak baru. Hal ini dipertegas dengan fatwa DSN-MUI dan tulisan Adiwarman. Juga (jelas) tanpa pembayaran tambahan di luar angsuran terakhir.
G. Ijaroh wa Iqtina dalam Teknis Perbankan
Ijaroh wa Iqtina (Ijaroh Muntahia Bit Tamlik) adalah akad sewa menyewa atas barang tertentu antara bank sebagai pemilik barang (mu’jir) dan nasabah selaku penyewa (musta’jir) untuk jangka waktu dan dengan harga yang disepakati. Pada akhir masa sewa, bank memberikan opsi kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dengan harga yang disepakati pula.
Aplikasinya dalam pembiayaan investasi; seperti untuk pembiayaan barang-barang modal seperti mesin-mesin. Dan dalam pembiayaan consumer; seperti untuk pembelian mobil, rumah dan sebagainya.
Pada dasarnya pembiayaan Ijaroh dan IMBT memiliki kesamaan dengan pembiayaan murobahah. Sampai sa’at ini mayoritas pembiayaan Islamic banking masih terpokus pada produk-produk murobahah. Kesamaan keduanya adalah pada kategori natural certainty contract yang pada dasarnya adalah kontrak jual beli. Perbedaanya hanyalah objek transaksi yang diperjual belikan. Dalam pembiayaan murobahah objek transaksinya adalah berupa barang seperti rumah atau mobil, sedangkan pada ijaroh objeknya berupa jasa, baik manfa’at atas barang maupun manfa’at atas tenaga kerja. Dengan pembiayaan murobahah, Islamic banking hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim ijaroh, Islamic banking dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.
Adapun tahapan IBMT di bank adalah ;
Nasabah menjelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir periode ijarah ia ingin memiliki
Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada nasabah.
Apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki asset tersebut
Bank membeli atau menyewa asset yang dibutuhkan nasabah
Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan
Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan.
Bank melakukan penyusutan terhadap asset dan biaya penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi
Di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan.
Jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara hibah.
Sedangkan berakhirnya akad dengan bank, jika :
- Selesainya masa ijarah
- Rusaknya obyek ijarah
- Pembebasan biaya sewa (ibra’) oleh pemilik asset.
H. Ijaroh dan Leasing
Ijaroh biasa mengatur pemanfa’atan hak guna tanpa terjadinya pemindahan kepemilikan, hal ini membuat banyak orang menyamakannya dengan leasing. Pada dasarnya antara ijaroh dengan leasing sama tapi ada hal-hal yang membedakannya, seperti pada table berikut :
Aspek Pembeda Ijaroh Leasing
Objek Manfaat barang dan jasa Manfaat barang saja
Method of Payment Contingen to Performance
Not Contingen to Performance Not Contingen to Performance
Transfer of Title Ijaroh : No transfer of Title
IMBT : Promise to sell or hibah at the beginning of period. Operating lease : no transfer of title.
Financial Lease : option to buy or not to buy, at the end of period
Lease - Purchase Haram karena akadnya gharar. Boleh
Sale and Lease Back Boleh Boleh
Penjelasan table :
a. Objek
Dilihat dari sisi objek yang disewakan, leasing hanya berlaku sewa menyewa barang saja. Sedangkan ijaroh, objek yang disewakan bisa berupa barang atau jasa. Kalau berupa barang, pengambilan manfa’at barang berupa sewa menyewa dan pada jasa disebut upah mengupah.
b. Metode pembayaran
Dalam metode pembayaran leasing bersifat not contingent to performance, artinya pembayaran sewa tidak tergantung pada kenerja objek yang disewakan. Misalnya Ahmad menyewa mobil X pada Toyota Rent A Car untuk dua hari dengan tariff Rp. 1.000.000/hari. Dengan mobil itu Ahmad berencana pergi ke Bandung, tapi karena sesuatu hal, Ahmad memutuskan berhenti di Bogor dan tidak melanjutkan perjalanan lagi ke Bandung. Dalam hal ini Ahmad tetap harus membayar sewa mobil seharga ke Bandung. Dengan demikian, penentuan harga sewa pada kasus di atas tergantung pada lamanya waktu sewa, bukan pada apakah mobil itu dapat mengantarkan Ahmad ke Bandung atau tidak.
Beda dengan leasing, ijaroh memiliki dua metode; pertama sama dengan leasing, dan kedua metode yang pembiayaanya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingen to performance). Contohnya Ahmad ingin pergi ke Bandung, karena tidak mau mengemudikan mobil sendiri, ia menghubungi pihak travel. Kepada pihak travel Pak Ahmad mengatakan “tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan memakai mobil anda, jika mau kami akan bayar Rp 500.000,-“. Pada akad ini pembayaran sewa tidak tergantung pada berapa lamanya mobil itu digunakan oleh penyewa, tapi pembayaran sewa bergantung pada apakah mobil dapat mengantarkan Pak ahmad ke Bandung atau tidak. Bila ternyata mobil itu hanya mengantarkan sampai Bogor, Pak Ahmad tidak perlu membayar sewa.
c. Perpindahan kepemilikan (Transper of title)
Dalam leasing kita kenal dengan operating lease dan financial lease. Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan kepemilikan asset, baik pada awal maupun pada akhir periode sewa. Dan dalam financial lease pada akhir periode sewa si penyewa memberikan pilihan untuk membeli atau tidak barang yang disewakan tersebut. Jadi transper of title masih berupa pilhan dan dilakukan pada akhir periode. Namun pada prakteknya dalam financial lease sudah tidak ada lagi opsi untuk membeli atau tidak, karena pilihan sudah dikunci pada periode awal.
Sedangkan pada Ijaroh pada prinsipnya sama dengan financial lease, tapi ada bedanya yaitu pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal IBMT (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan dan harga jual disepakati pada awal periode. Makanya dalam IBMT pihak yang menyewakan berjanji pada awal periode kepada penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya. Dengan demikian ada dua jenis IBMT, yaitu :
- IBMT dengan janji menghibahkan barang pada akhir periode sewa (IBMT with a promise to hibah)
- IBMT dengan janji menjual barang pada akhir periode (IBMT with a promise to sell).
d. Lease-Purchase
Dalam leasing dikenal lease-purchase (sewa beli), yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak ini perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak sewa beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa dan milik yang menyewakan. Dalam syari’at, akad lease-purchase ini diharamkan karena ada dua akad sekaligus (two in one), yaitu antara akad sewa atau beli. Disini tidak ada kejelasan akad, apakah yang dipakai akad sewa atau akad beli.
e. Sale and Lease Back
Sale and lease back terjadi jika, misalnya A menjual barang ke B seharga Rp 1.200.00,-, tapi karena A masih tetap ingin memiliki barang tersebut, barang yang telah dibeli B itu sewakan kembali ke A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang itu pada akhir periode. Transaksi seperti di atas adalah haram karena ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang kepada B, asalkan B mau menyewakan kembali kepada A. Dalam kasus ini disyaratkan akad I berlaku efektif bila akad II dilakukan. Dalam fiqih jual beli seperti ini dinamakan bai’u al innah.
I. Skema Pembiayaan Ijaroh
1. Nasabah mendatangi bank syariah memohon pembiayaan penyewaan sebuah rumah selama setahun, secara cicilian (bulanan) dan mereka negosiasi tentang harga.
2. Bank menyewa rumah tersebut Rp 10 juta setahun dibayar cash di muka.
3. Bank selanjutnya menyewakan rumah itu secara cicilan per bulan Rp 1 juta dengan akad ijarah (di sini dilaksanakan pengikatan/kontrak).
4. Rumah dimanfaatkan (digunakan) oleh nasabah.
5. Nasabah mencicil biaya sewa setiap bulan kepada bank.
Jenis Barang dan Jasa yang dapat disewakan :
Barang modal (aset tetap) misalnya gedung, ruko, kantor dan lain – lain.
Barang produksi, misalnya mesin dan alat – alat berat.
Barang kendaraan transportasi
Jasa untuk membayar ongkos, misalnya uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel, angkut dan trasportasi dan sebagainya.
J. Pola Pembiayaan Ijaroh
Contoh Ijaroh Murni bayar dengan cicilan :
Pak Ahmad hendak menyewa ruko selama satu tahun dengan nilai sewa Rp. 240.000.000,-. Orang yang punya ruko menghendaki pembayaran dilakukan diawal periode sewa. Tapi karena Pak Ahmad kekurangan biaya dan hanya manpu membayar dengan cicilan perbulan. Untuk memecahkan masalah ini, Pak Ahmad meminta pembiayaan dari Bank. Menganalisis kemampuan Pak Ahmad dan required rate of profit (sebesar 20 %), pihak bank menghitung :
- Harga sewa satu tahun (tunai dimuka) Rp. 240.000.000,-
- Required rate of profit 20% Rp. 48.000.000,-
- Harga sewa kepada Pak Ahmad Rp. 288.000.000,-
- Periode pembayaran 12 bulan (360 hari)
- Besar angsuran Pak Ahmad per bulan Rp. 24.000.000,-
Dengan analisis diatas, maka bentuk pembiayaan yang diberikan kepada Pak Ahmad adalah pembiayaan Ijaroh dengan cicilan per bulan sebesar Rp. 24.000.000,-
Langganan:
Postingan (Atom)