Rabu, 03 Juni 2009

SPIRITUALITAS

Menurut Prijosaksono dan Erningpraja (www.hariansinarharapan.com), kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari Bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri kita yang sebenarnya adalah roh kita itu. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar tubuh fisik kita, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter kita. Kecerdasan spiritual berarti kemampuan kita untuk dapat mengenal dan memahami diri kita sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.
Selanjutnya Aribowo mengatakan bahwa spiritualitas tidak sama dengan agama walaupun keduanya saling menunjang. Dalam Bahasa Jawa, agama diartikan sebagai ”ageman” atau pakaian yang kita pakai. Apa pun agama kita, yang terpenting justru siapa roh kita sebenarnya. Jika merujuk pada agama, pada awal penciptaan manusia, Tuhan meniupkan roh atau napas kehidupan kepada manusia. Berarti roh kita adalah sesuatu yang membuat kita hidup. Roh kita juga bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita nantinya juga akan kembali menyatu dengan Sang Pemberi Kehidupan. Jadi apa pun agama kita, status sosial ekonomi, suku, ras, golongan, kebangsaan dan tingkat pendidikan kita, tidaklah menjadi yang utama. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat Illahiah. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan (menjadi co-creator).
Sementara itu dalam sebuah makalahnya, Ismail (2003) mengemukakan spiritual merupakan penggabungan dari Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual dengan Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi. Kecerdasan inteletual (IQ) adalah merupakan perkalian 100 atas Usia Mental (MA, yang didapat melalui nilai test psikologi) dibagi dengan Usia Kalender (CA, yang didapat dari usia kelahiran). Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Ditinjau dari ilmu saraf, IQ merupakan hasil dari pengorganisasian saraf yang memungkinkan kita untuk berpikir rasional, logis dan taat asas. Kecerdasan emosional (EQ) menurut Goleman (http://www.himpsi.org) yang mempopulerkannya pada pertengahan 1990-an mengemukakan, kemampuan merasakan, memahami, dan secara aktif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Makanya EQ merupakan persyaratan dasar untuk dapat menggunakan IQ secara efektif. EQ yang memungkinkan kita untuk bepikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan dan memampukan kita untuk dapat mengenali pola-pola emosi. Sedangkan SQ memungkinkan kita untuk berfikir secara kreatif, berwawasan jauh membuat dan bahkan mengubah aturan. Dengan demikian Spritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan merupakan jenis pemikiran yang memungkinkan kita menata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran yang dihasilkan IQ dan EQ.
Senada dengan pengertian diatas, Zohar dan Marshall (dalam Agustian, 2007;13) mengemukakan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna (value), yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Menyempurnakan Agustian (2007;14) menyimpulkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku, dan kegiatan, serta mampu mensinerjikan IQ, EQ dan SQ secara komprehensif.
Pendapat lain dikemukakan oleh Suryanto (www.pemimpin-ungul.com) yang menyatakan bahwa spiritual berarti percaya kepada sesuatu diluar (beyond) kita yang mampu mengatur segalanya, dan kita tidak berdaya utuk mencegahnya berbuat sesuatu. Lebih lanjut Suryanto menyebutkan disini sesungguhnya terjadi titik temu antara dunia sains dan agama, sama-sama menuju tuhan. Bahkan Einstein mengemukakan, “sesungguhnya sangat mengherankan seorang ilmuan yang mampu memahami rahasia alam, namun ia tidak mengenal tuhannya”.
Menyempurnakan pendapat diatas, Hafiduddin (2003;5) menuliskan bahwa spiritual lebih kepada pemaknaan manusia secara lebih mendalam terhadap esensi penciptaannya di atas dunia yang fana ini. Disini spiritual dikaitkan dengan nilai-nilai agama. Bagi Islam bagaimana seorang hamba memahami esensi penciptaannya dan kemudian ia berusaha menjalankannya sebagai wujud menjalankan perintah yang menciptakannya. Dalam Al qur’an Allah SWT telah menelaskan bahwa :

5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS. Al Hajj;22;5).

56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. Az-Zariad;51;56).
Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al qur’an diatas, spiritual bagi seorang muslim adalah penyerahan diri sepenuhnya hanya untuk yang menciptakannya. Spiritual menjadikan Allah SWT sebagai tujuan akhir kehidupannya, sehingga apapun yang dia lakukan di atas permukaan bumi ini semuanya merupakan wahana untuk pengabdian kepada Allah SWT. Makanya dalam setiap kerja yang dilakukannya, semua dianggap sebagai ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al qur’an Allah SWT menyebutkan :

162. Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al An’am,6;162)

65. Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?(QS. Maryam,19;65)
Selain itu seorang muslim meyakini bahwa apapun yang dilakukan akan dibalasi oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya;

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS. Al Zalzalah,99;7-8)
Penghambaan diri kepada Allah SWT bagi seorang muslim sebetulnya merupakan bentuk memegang janji kepada Allah SWT. Dalam Al qur’an telah dijelaskan bahwa sebelum manusia dan bumi diciptakan, ruh manusia telah mengadakan perjanjian dengan Tuhannya. Tuhan bertanya kepada jiwa manusia “Bukankah Aku Tuhanmu?” lalu ruh manusia menjawab “Ya, kami bersaksi, Engkau Tuhan kami”(QS.AL A’raf,7;172). Bukti perjanjian ini menurut Dryarkara (dalam Agustian,2003;47), adanya suara hati manusia, yaitu suara tuhan yang merekam dalam diri manusia. Sehingga ketika manusia hendak berbuat keburukan, suara hati nurani akan melarangnya, karena Allah SWT tak menghendaki manusia berbuat kemungkaran. Jika manusia tetap mengerjakan keburukan itu, suara hatinya akan menasehati dan akan muncul perasaan menyesalinya. MacScheler (dalam Agustian,2003;47) mengatakan penyesalan adalah “tanda kembalinya seseorang kepada tuhan”, itulah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Firman Allah SWT :

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"(QS.Al A’raf,7’172).
Dalam kehidupan keseharian, pemahaman spiritual dituliskan oleh Agustian (2003;12) dengan menceritakan kisah Erwin yang bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai seorang buruh. Tugasnya mengencangkan baut pada jok pengemudi. Itulah tugas rutin yang dikerjakannya hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP membuat sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Saya pernah bertanya pada Ewin, “Bukankah itu pekerjaan yang membosankan?”, ia menjawab dengan tersenyum “tidakkah ini pekerjaan mulia, saya telah menyelamatkan ribuan nyawa manusia yang mengemudikan mobil-mobil ini? Saya mengencangkan seluruh kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga mereka sekeluarga selamat, termasuk kursi mobil yang anda duduki itu”.
Esoknya, saya mendatangi Erwin lagi dan bertanya, “Mengapa anda bekerja begitu giat, upah andakan tidak besar? Mengapa anda tidak melakukan mogok kerja seperti karyawan lain yang menuntut kenaikan gaji?”, sambil tersenyum ia menjawab, “saya memang senang dengan kenaikan gaji seperti teman-teman lain, tetapi sayapun memahami bahwa keadaan ekonomi memang sedang sulit dan perusahaanpun terkena imbasnya. Saya memahami keadaan pimpinan perusahaan yang juga tentu dalam kesulitan, bahkan terancam pemotongan gaji seperti saya. Jadi kalau saya mogok, maka itu hanya akan memperberat masalah mereka, masalah saya juga”. Lalu ia melanjutkan pembicaraan, “saya bekerja karena prinsip saya adalah memberi bukan untuk perusahaan, namun lebih kepada pengabdian saya pada Tuhan”.
Cerita di atas memperlihatkan sikap Erwin yang mampu memaknai pekerjaan sebagai pengabdiannya kepada Tuhan dan demi kepentingan umat manusia yang dicintainya. Ia berfikir secara integralistik dengan memahami kondisi perusahaan secara keseluruhan, situasi ekonomi, dan masalah atasannya dalam satu kesatuan yang integral. Erwin berprinsip dari dalam, bukan dari luar, ia tidak terpengaruh oleh lingkungannya. Erwin adalah seorang raja atas jiwanya sendiri yang bebas merdeka. Sikapnya merupakan bentuk penerapan spiritualitas. Hasilnya adalah kebahagiaan dan kedamaian pada jiwa Erwin, sekaligus memunculkan etos kerja yang tak terbatas dan tahan guncangan. Ia menjadi aset perusahaan yang sangat penting dan “rahmatan lil ‘alamin” bagi lingkungan sekitarnya.
Jadi inti spiritualitas yang dikemukakan di atas adalah berhubugan dengan keimanan dan ketauhidan yang dipegang oleh manusia. Materi keimanan dan ketauhidan ini, dilingkungan Bank Mu’amalat diterjemahkan dalam konsep The Celestial Management ZIKR (Zero Base, Iman, Konsisten dan Result Oriented), FIKR (Power sharing, Information sharing, Knowledge sharing & Reward sharing) dan MIKR (Militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneration). (Amin,2004 seperti yang dikutip oleh Byarwati,2006). Amin mengemukakan konsep ZIKR mengilhami kru untuk menyandarkan semua aspek aktifitasnya semua untuk mencari ridha Allah SWT. ZIKR juga membangun keselarasan hubungan antar manusia dengan sang Khaliknya (Hablumminallah) dan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (Hablumminannas). Setelah ZIKR kemudian kru mendapatkan reward yang sesuai dengan prestasi kerja. Reward tergabung dalam PIKR yang selanjutnya akan menghasilkan komunitas MIKR, yaitu interaksi yang terjadi tidak hanya dilandasi akal, tapi juga hati. Kesemua hubungan ini menjadikan organisme yang dinaungi menjadi organisme yang unggul.

2.2.2 Indikator Spiritual
Hafiduddin (2003;6) mengemukakan bahwa ada beberapa indikator dari nilai spiritual, diantaranya:
a. Mengerjakan sesuatu dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Suatu perbuatan walaupun terkesan baik tapi jika tidak dilandasi keikhlasan karena Allah SWT, maka perbuatan itu tidak dikatakan sebagai ibadah. Niat yang ikhlas akan dimiliki oleh orang-orang yang betul-betul yakin akan adaNya Allah Yang Maha Pencipta. Firman Allah SWT :

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus (QS. Al Bayyinah,98;5).
b. Tata cara pelaksanaannya disesuaikan dengan syari’at Islam. Suatu perbuatan yang baik tapi dilaksanakan tidak sesuai dengan syari’at Islam, maka tidak dikatakan sebagai amal sholeh. Sebagai contoh seorang pekerja disebuah perusahaan, bekerja merupakan ibadah, tapi kalau dikerjakan tidak sesuai dengan aturan syari’at maka bekerja yang awalnya sebagai ibadah tidak lagi dianggab sebagai sebuah ibadah.
c. Dikerjakan dengan penuh kesungguhan. Perbuatan yang dilakukan asal-asalan tidak termasuk amal sholeh. Pekerjaan yang didasari dengan keikhlasan akan dijalankan dengan penuh kesungguhan. Keikhlasan dapat dilihat dari kesungguhannya dalam menjalankan pekerjaan tersebut. Jadi keikhlasan seorang pegawai dalam bekerja dapat dilihat dari kesungguhannya dalam bekerja.
Julyantoro (www.kabupatenngawi.or.id) juga mengemukakan indikator dari nilai-nilai spiritual adalah dengan menghasilkan sifat-sifat utama, yaitu: integritas atau kejujuran, Energi dan semangat, inspirasi dan inisiatif, wisdom atau sikap bijak, dan keberanian dalam mengambil keputusan.
Sedangkan mengenai spiritualitas di tempat kerja, Neal (www.kompas.com) menyatakannya sebagai integritas, menegakkan kebenaran dalam diri sendiri, dan memberitahukan kebenaran kepada orang lain. Spiritualitas di tempat kerja menunjuk pada usaha individu untuk menghidupi nilai-nilainya secara penuh di tempat kerja, atau menunjuk pada cara organisasi-organisasi mengatur dirinya untuk mendukung pertumbuhan spiritualitas di tempat kerja. Berikut ini disajikan bagaimana penjelasan Ashmos & Duchon (2000) mengenai tiga komponen spiritualitas di tempat kerja tersebut di atas ;
- Kehidupan batin sebagai identitas spiritual
Memahami spiritualitas di tempat kerja dapat dimulai dengan memahami bahwa setiap orang memiliki kehidupan batin maupun lahir, dan bahwa makanan untuk kehidupan batin dapat mengakibatkan kehidupan lahir yang lebih bermakna dan produktif. Conger menjelaskan kehidupan batin (inner life) sebagai bentuk spiritualitas yang memberikan ekspresi terhadap sesuatu yang ada dalam diri kita.
- Makna dan tujuan dalam bekerja
Neal (dalam Ashmos & Duchon, 2000, hal 136) menuliskan: Orang-orang mengatakan, "Cukup sudah. Kami ini lebih dari sekadar ongkos untuk organisasi. Kami memiliki spirit. Kami memiliki jiwa. Kami memiliki mimpi. Kami menginginkan suatu kehidupan yang bermakna. Kami ingin menyumbang untuk masyarakat. Kami ingin merasakan hal yang baik mengenai apa yang kami lakukan." Pentingnya pekerjaan yang bermakna dinyatakan oleh Fox, hidup dan penghidupan (mata pencaharian) bukan dua hal yang terpisah, melainkan mengalir dari sumber yang sama, yaitu spirit. Spirit berarti hidup, dan hidup maupun penghidupan adalah menyangkut kehidupan dengan makna, tujuan, kedamaian, dan perasaan memiliki kontribusi terhadap komunitas yang lebih luas. Spiritualitas kerja adalah menyangkut bagaimana membawa hidup dan penghidupan kembali bersama. Gerakan spiritualitas di tempat kerja menyangkut kerja yang lebih bermakna, menyangkut keterkaitan antara jiwa (soul) dengan kerja, dan bagaimana mendapatkan perhatian dari perusahaan karena pengakuan bahwa memberi makan jiwa dapat memberikan hal yang baik bagi bisnis.
- Perasaan terhubung dengan komunitas
Spiritualitas di tempat kerja bukan hanya bagaimana mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan kehidupan batin dengan mencari pekerjaan yang bermakna, tetapi juga bagaimana seseorang dapat hidup terkoneksi dengan orang lain. Mirvis menyatakan: "Kerja itu sendiri ditemukan sebagai suatu sumber pertumbuhan spiritualitas dan koneksi (hubungan) dengan orang lain."
Berdasarkan indikator-indikator di atas, dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan beberapa indikator saja diantaranya : menjadikan sesuatu pekerjaan adalah bernilai ibadah, mengerjakan sesuatu ikhlas karena Allah SWT, bekerja penuh kesungguhan, bekerja dengan penuh kesabaran, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan menyesuaikan setiap pekerjaan dengan aturan-aturan Al-Qur’an dan Hadits.

Tidak ada komentar:

My Album

AYAT-AYAT CINTA