Rabu, 19 September 2007

Belajar Pengentasan Kemiskinan dari Umar bin Abdul Aziz

Kemiskinan di negri ini semakin hari semakin memprihatinkan. Setelah lebih 60 tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Alih-alih tereduksi, kemiskinan terjadi dalam skala yang meluas, bahkan dengan kondisi yang lebih dalam. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, dikejutkan oleh wabah busung lapar, dikagetkan dengan banyaknya masyarakat yang harus makan nasi aking, dan melonjaknya jumlah kemiskinan. Padahal, program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, dengan dana penanggulangan kemiskinan yang terus meningkat.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi program Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia. MDGs merupakan agenda kampanye global memutus mata rantai sejarah kemiskinan (make poverty history). Dalam deklarasi tersebut, diharapkan seluruh negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.



Islam dan Kemiskinan

Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Sementara tahun 2004 angka penduduk miskin turun menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen. Namun angka ini sesungguhnya sangat konservatif. Dengan menggunakan standar Bank Dunia, dengan garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS sehari, maka angka kemiskinan bisa menjadi 53,4 persen atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini kurang lebih sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Isu kemiskinan dan pengangguran kembali mencuat dan mendapat perhatian banyak pihak usai pidato kontroversial Presiden pada Agustus 2006 di depan DPR yang menyatakan bahwa angka kemiskinan dan pengangguran menurun. Data BPS (2006) ternyata menunjukan kenyataan sebaliknya, per Maret 2006 angka kemiskinan melonjak menjadi 17,75 persen. Angka pengangguran juga memburuk dari 9,86 persen pada 2004 menjadi 10,4 persen pada 2006.

Dalam Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis, posisi Indonesia tahun ini tidak berubah, bahkan kian anjlok. Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian MDGs Asia Pacific oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan tersebut, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.

Ancaman kegagalan disebabkan kecilnya alokasi pembelanjaan PDB untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Ini membuat Indonesia gagal menyehatkan anak-anak balita. Jumlah anak balita dengan berat badan di bawah normal meningkat, Indonesia juga dinilai stagnan, cenderung gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan bersekolah pada kelas V.

Dengan melihat fakta kegagalan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan, kita perlu mencari cara pandang baru terhadap persoalan kemiskinan. Kita perlu mengkaji kembali satu realitas sejarah Islam yang pernah hadir untuk menjawab persoalan kemiskinan secara konkret. Umar bin Khattab r.a. yang menjadi khalifah pada periode tahun 12-22 Hijriyah pernah menjadikan Yaman sebagai satu provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Gubernur Yaman waktu itu, Mu’adz bin Jabal, mengirim ke Madinah (Ibu Kota) sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi itu, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil di tahun ketiga. Zakat dikirim ke Ibu Kota setelah tidak bisa dibagi lagi didalam provinsi. Bukti kedua pengentasan kemiskinan juga terjadi pada masa kepemimpinan dua tahun Umar bin Abdul Aziz (99-101H) (Monzer Kahf, 1999).

Sejarah keberhasilan dua pemimpin muslim tersebut dengan panduan konsep Islam dalam kebijakannya, sayangnya diabaikan dalam catatan sejarah ekonomi. Akibatnya konsep Islam dalam kebijakan publik, yang pernah sukses dipraktikan untuk memecahkan persoalan kemiskinan tidak pernah dilirik oleh para ekonom yang berada dilingkaran kekuasaan negeri ini (baik Pusat maupun Daerah).

Di negeri ini bahkan, Islam sering mendapat citra negatif dari kemiskinan. Bahkan sering dituding sebagai penyebab kemiskinan. Padahal Islam sebagai sebuah risalah paripurna dan ideologi hidup sangat memperhatikan masalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keimanan (QS 2: 268). Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan-Nya (QS 30:40; QS 11:6). Setiap makhluk memiliki rizki masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Di saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15) (Yusuf Wibisono, 2006).



Kebijakan Umar bin Abdul Aziz

Ditengah kegagalan sewindu pemerintahan pasca reformasi untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat yang dapat mengurangi jumlah kemiskinan, kita perlu belajar bagaimana Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekhalifahan beliau yang singkat (2 tahun 5 bulan) bisa menjalankan kerja besar meredusir kemiskinan bahkan mengentaskan kemiskinan.

Menurut Monzer Kahf (1999), setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan surplus zakat sebagai penanda terentaskannya kemiskinan dalam masyarakat muslim periode tersebut.

Pertama, terjadi penambahan kekayaan masyarakat dari redistribusi aset dan kemakmuran internal yang sebagian besar disebabkan oleh perbesaran pasar dan meningkatnya keamanan. Peningkatan kekayaan masyarakat miskin terutama dimulai dari kebijakan redistribusi aset yang dilakukan secara besar-besaran dari kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang diperoleh secara tidak sah. Kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang terindikasi diperoleh secara tidak sah terutama melalui korupsi dan kolusi segera diambil alih oleh pemerintah dan dikembalikan kepada masyarakat.

Redistribusi aset ini menyebabkan aset yang sebelumnya terakumulasi pada segelintir elit menjadi sumber modal yang menyebar. Sehingga mampu menggerakan roda ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Daya beli yang meningkat memicu pertumbuhan sisi permintaan (demand side) akan berbagai barang dan jasa. Hal ini kemudian memacu sektor produksi, konsumsi, distribusi, dan juga memperbesar pasar barang, jasa dan tenaga kerja. Roda perekonomian berputar cepat dan menggerakan seluruh potensi sumber daya secara optimal.

Adapun pelajaran bagi Indonesia, dalam pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini sangat ditabukan adanya konsep redistribusi aset. Bahkan aset pejabat yang jelas terlihat oleh publik dari hasil KKN tidak ada sedikitpun yang diambil negara. Yang dijalankan hanya menuntut bagaimana meningkatkan produktivitas masyarakat miskin daripada bagaimana memberi mereka akses pada aset-aset produksi yang akan memungkinkan mereka menaikan produktivitas.

Faktanya, negeri ini memiliki sumber modal yang cukup banyak dan sebagian rakyatnya tergolong kaya dengan aset mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Hal ini dibuktikan paling tidak oleh hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini (publikasi 2006). Kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu melaporkan, sekitar sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura (sebesar US$260 miliar) adalah milik warga negara Indonesia (WNI). Kekayaan 18.000 orang WNI yang berdomisili di Singapura mencapai US$87 miliar (sekitar Rp800 triliun). Bahkan, total kekayaan WNI jauh lebih besar dari Rp800 triliun bila ditambah dana yang diinvestasikan di sejumlah kegiatan bisnis di Singapura. Apalagi kalau ditambahkan lagi kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di sejumlah negara, seperti Australia, China, Hong Kong, Swiss, dan Caymand Island.

Bukan rahasia lagi, banyak konglomerat, 'pengusaha hitam', 'pejabat hitam', dan mantan 'pejabat hitam' asal Indonesia yang tinggal, menyimpan uang, dan menanamkan modal di Singapura. Hal ini sebagaimana diungkap Andy Xie, mantan Ekonom Kepala Morgan Stanley untuk Asia, yang menyatakan Singapura merupakan negara yang tergantung pada uang gelap dari Indonesia dan China. Keberhasilan ekonomi Singapura, menurutnya, terutama karena posisinya sebagai pusat pencucian uang bagi pebisnis dan pejabat Indonesia yang korup (Bisnis Indonesia,13/10/06).

Selama ini, pemerintah senatiasa tak berdaya menghadapi para penjahat yang telah mengeruk kekayaan bangsa tersebut. Karena aset masih terkonsentrasi pada koruptor lama, akhirnya kita tidak memiliki modal yang cukup untuk menggerakkan ekonomi. Kita kemudian mengemis investasi asing, yang juga tak kunjung datang. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan kemiskinan paling efektif seharusnya dimulai secara tegas dari penyitaan aset-aset pejabat dan kroni pejabat yang diperoleh secara tidak sah dan kemudian didisitribusikan kembali ke masyarakat.

Selain itu kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang menegakkan amanah dan pelayanan umat (khadimul umah) menyebabkan reduksi korupsi dalam birokrasi dan badan administrasi yang merupakan prestasi penting dalam masa dua tahun pemerintahan beliau. Hasilnya, kebanyakan dari dana publik dan dana zakat, dikumpulkan dan didistribusikan dengan jumlah yang optimal. Sangat sedikit dana yang dikorupsi ke saku pejabat. Dengan kata lain, peningkatan efisiensi manajemen pendapatan publik dan manajemen zakat serta pendapatan yang lain, juga telah menjadi faktor pendukung dalam memelihara porsi prioritas anggaran untuk memenuhi kebutuhan publik lebih besar, mencakup pemberantasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarkat. Yang juga penting, porsi anggaran untuk penyelenggara negara waktu itu juga disederhanakan.

Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi kita. Saat ini kita menyaksikan pejabat publik yang semakin kaya setelah menjabat. Seperti: banyak menteri yang kekayaannya terus bertambah; pejabat tinggi kepolisian yang baru menjabat 2 tahun hartanya sudah meningkat 150 persen; serta anggota-anggota legislatif yang menjadi orang kaya baru (OKB) dari sebelumnya hidup bersahaja. Yang terjadi, menjadi pejabat publik bukan untuk melayani masyarakat, tetapi sarana untuk meningkatkan status diri dan memupuk kesejahteraan pribadi. Hal ini dibuktikan oleh ‘korupsi legal’ APBN dan APBD dengan tingginya budget belanja untuk pengeluaran eksekutif dan legislatif dengan berbagai alasan diberbagai tingkatan. Dampaknya porsi anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial sangat minim.

Dengan kondisi demikian, jelas sangat sulit bagi kita untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan ekonomi paling efektif seharusnya juga dimulai dari birokrasi yang bersih dengan anggaran penyelenggara negara yang sederhana dan tersedianya dana untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial yang optimal.

Sebagai tambahan, masa itu voluntary sector Islami terutama praktek wakaf yang dimulai sejak masa Nabi SAW mengalami perluasan secara luar biasa. Sebelum Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekhalifahan, pengelolaan institusi wakaf banyak dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan keluarga khalifah dan pejabat, sehingga programnya tidak tajam dan tepat sasaran. Sepanjang pemerintahan beliau dilakukan reformasi besar-besaran atas lembaga ini, sehingga kebanyakan dari wakaf dapat terlembagakan secara mapan dan memberi efek keberhasilan dalam membantu kaum miskin dan fakir miskin. Karena tujuan utama pendapatan Wakaf difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kedua, Umar bin Abdul Aziz berhasil membangkitkan kembali kukuhnya perasaan qana'ah, menahan diri, dan semangat berkarya masyarakat disebabkan oleh kuatnya keyakinan dan iman kepada Allah SWT. Beliau memulai dari diri sendiri dengan sikap zuhud dan kerja keras beliau. Qana’ah dan menahan diri menjadi pondasi penting dalam masyarakat muslim waktu itu. Sebagian anggota masyarakat yang qana’ah dan mampu menahan diri, mereka menolak untuk mengambil zakat meski sesungguhnya mereka berhak. Prinsip qanaah dan kepuasan diri melahirkan ketergantungan pada sumber daya sendiri. Sebagai contoh sahabat Salman al-Farisi, beliau tinggal di Irak (Kufah atau Basrah) dan tidak dipertimbangkan dalam kategori miskin yang berhak atas zakat. Padahal sekali waktu beliau memberikan tamu hanya sekedar roti dan garam sebagai makanan. Ketika tamu berkeinginan untuk memperoleh thyme sebagai tambahan makanan yang sederhana ini, beliau pergi ke luar dan meminjam uang untuk membeli thyme dan menjadikan panci airnya sebagai jaminan. Roti, garam dan thyme saat itu merupakan bagian makanan yang biasa dikonsumsi orang yang sangat miskin. Karena sikap qana’ah, Salman tidak menjadikan dirinya miskin. Kondisi yang demikian juga masih eksis dalam sebagian masyarakat masa kepemimpinan Umar bin Abul Aziz.

Selain itu spirit Islam yang kembali dalam masyarakat pada masa kepemimpinan beliau, melahirkan ruh baru dan menciptakan energetism baru yang kemudian meningkatkan produktivitas. Ketika mereka telah disentuh oleh semangat Islam dan mendapati pemimpin yang menjadi qudwah yang adil dan zuhud, terjadi perubahan pada birokrat, petani, pengrajin dan pedagang didalam negeri menjadi lebih giat. Hal ini disebabkan juga karena mereka dibebaskan dari pajak-pajak yang tidak adil, yang sebelumnya dibebankan atas mereka untuk membiayai pemborosan para penguasa terdahulu.

Sehingga hasilnya, sebagai tambahan dari sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya, terjadi peningkatan kekayaan yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas sebagai hasil dari semangat dan spirit baru. Juga yang sangat penting dari pengurangan pajak dan penghalang administratif yang secara total dihapuskan. Hal-hal tersebut ternyata lebih banyak berpengaruh dalam mengentaskan kemiskinan dibanding dari redistribusi yang diperankan zakat. Sehingga dengan peningkatan produksi kemudian meningkatkan hasil zakat lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan distribusi untuk kaum mustahik.

Dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia, sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya perlu ditumbuhkan kembali. Tentu ini membutuhkan figur, dan yang tepat adalah dimulai dari presiden, kepala daerah, pejabat negara, seluruh aparatur negara, dan juga tokoh-tokoh umat. Selain itu gerakan kultural untuk membangkitkan sikap ini perlu terus digalang. Yang juga penting diikuti dalam meneladani kebijakan Umar bin Abdul Aziz adalah perlu segera dilakukan pemangkasan ekonomi biaya tinggi, sehingga muncul insentif yang besar untuk berusaha dan berkarya.

Ketiga, faktor dasar yang mendukung pengentasan kemiskinan masa dua Umar adalah bahwa wilayah yang berhasil mengentaskan kemiskinan (masa Umar bin Khattab provinsi Yaman dan masa Umar bin Abdul Aziz terutama provinsi Mesir) tersebut adalah wilayah yang kaya dengan tanah yang subur dan tanaman panenan berlimpah-limpah.

Bagi Indonesia prasyarat ketiga ini jelas sangat tersedia. Dimana kita memiliki ketersediaan tanah yang sangat-sangat subur, iklim yang sangat kondusif, dan kekayaan alam yang berlimpah ruah.

Dapat disimpulkan dengan belajar dari Umar bin Abdul Aziz bahwa pengentasan kemiskinan tidak perlu membutuhkan waktu lama. Dan bagi Indonesia prasyarat dasarnya sudah memenuhi, tinggalah kesungguhan menjalankan kebijakan dan kemauan mengambil resiko. Dengan demikian kalau kemiskinan dan kelaparan begitu banyak dinegeri ini, maka bangsa ini sendiri yang membuat dirinya miskin. Terutama akibat pemimpinnya yang melakukan pemiskinan terhadap rakyat. Rakyat miskin karena kekayaanya untuk membiayai kemewahan pejabat. Rakyat miskin karena ‘bersedekah’ untuk para koruptor dan konglomerat jahat. Rakyat miskin karena haknya dicuri. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

My Album

AYAT-AYAT CINTA