Kemandirian, Entrepreneurship, Etika dan Strategi Bisnis; Teladan dari Rasulullah SAW
Teladan dan contoh terbaik bagi manusia adalah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau adalah teladan hidup yang menyemai banyak kebaikan dalam rangkaian keindahan hidup. Dari beliau juga bisa kita ambil teladan bagaimana merintis, mengelola dan mengembangkan bisnis secara lurus dan bersih. Beliau telah memancangkan tonggak teladan untuk meraih sukses menjadi entrepreneur secara benar. Keteladanan yang akan senantiasa layak diikuti setiap generasi dari semua generasi sekarang maupun yang akan datang.
Sayangnya seringkali kita kesulitan untuk mendapati informasi tentang karir bisnis Rasulullah sang teladan. Kalaupun kita mendapatinya seringkali terpotong-potong dalam berbagai kitab Shiroh. Terpadu dalam rangkaian sejarah yang kompleks. Untuk itu kita memerlukan bahan yang lebih ringakas untuk melihat tentag karir bisnisnya secara lebih jelas, seperti:
q Bagaimana Rasulullah merintis bisnisnya. Menyiapkan mentalitas dan karakter kepribadian yang kemudian mendukung kesuksesan bisnisnya.
q Bagaimana ketekunan, kejelian dan kesuksesan bisnis yang telah dijalankan oleh Rasulullah. Bagaimana kisah menariknya. Bagaimana strategi pemasaran dan customer service-nya. Bagaimana menghadapi kompetitor.
q Bagaimana pengalaman bisnis beliau. Sejauh mana relasi dan pengalaman beliau dalam menekuni bisnis ini sehingga sangat memahami permasalah bisnis. Yang kelak dikemudian hari ketika kenabian itu turun, pemahaman ini menjadi sangat komprehensif untuk memberikan panduan hadits yang digunakan sumber Fiqih Muammalat untuk memberikan framework ‘berbisnis secara syariah’.
q Apa kiat-kiat kesuksesannya. Dan bagaimana nasihat beliau untuk pebisnis modern agar sukses besar. Sukses bukan hanya didunia saja. Tetapi beruntung didunia dan diakhirat.
Merintis Bisnis
Mengkaji pribadi beliau, kita akan mendapatkan jiwa entrepreneurship beliau sudah dipupuk sejak dini. Allah mentarbiyah (mendidik) kekuatan pribadinya sejak kecil dengan hidup dalam kondisi yatim-piatu. Beliau memulai mengasah mentalitas wirusahanya dengan menjadi pengembala. Beliau menjadi pengembala untuk orang-orang Mekkah di masa kanak-kanaknya. Dengan menjadi pengembala beliau mendapatkan upah. Beliau mengembalakan biri-biri orang Quraisy ketika masih terlalu muda ini guna meringankan sedikit beban yang ditanggung oleh pamannya. Beliau ingin berpenghasilan dan bisa mandiri. Tidak hendak berpangku tangan hanya sekedar bermain saja.
Sebagai anak muda yang jujur dan punya harga diri, beliau sama sekali tidak suka berlama-lama menjadi tanggungan pamannya yang memiliki beban keluarga besar. Beliau kemudian dalam usia mudanya melanjutkan menjadi pebisnis dalam bidang perdagangan. Jiwa enterepreneurship-nya semakin kuat karena sejak usia 12 tahun telah mengikuti perjalanan bisnis pamannya yang meliputi; Syria, Jordan, dan Lebanon saat ini.
Muhammad melihat peluang bisnis sebagai sarana yang menarik untuk mandiri. Hal ini setidaknya cukup dipengaruhi oleh kondisi yang melingkupinya. Saat itu kondisi Mekkah yang paling berkembang adalah bisnis perdagangan. Tanahnya yang kering sangat sulit untuk bercocok tanam. Kejelian melihat peluang keuntungan terbesar pada sektor perdagangan kemudian membuatnya menekuni bisnis perdagangan ini. Selain itu latar belakang keluarganya adalah pebisnis yang sangat kuat dan sukses. Sebagaimana sejarah mencatat, empat orang putera Abdul Manaf (kakek-kakeknya) adalah pemegang izin kunjungan dan jaminan keamanan dari para penguasa dari negara-negara tetangga seperti Syiria, Irak, Yaman dan Ethopia. Mereka dapat membawa kafilah-kafilah bisnisnya ke berbagai negara tersebut secara aman dan lancar.
Selain itu, Muhammad dilahirkan pada masa kaum Quraisy mencapai kejayaan dalam perdagangan. Sejak kecil beliau juga dirawat kakeknya Abdul Muthalib yang juga pebisnis. Setelah kakeknya meninggal, Muhammad kemudian tinggal bersama pamannya Abu Thalib yang berprofesi dalam bisnis perdagangan pula.
Sebagai anak muda yang lembut hati, berazzam kuat dan memiliki harga diri yang tinggi, beliau sama sekali tidak suka berlama-lama menjadi tanggungan sang paman. Ketika menginjak semakin dewasa dan menyadari bahwa pamannya memiliki beban berat keluarga besar yang harus diberi nafkah, beliau mulai berdagang sendiri di Makkah. Profesi sebagai pebisnis ini dimulai dalam sekala yang kecil dan bersifat pribadi. Beliau membeli barang-barang dari satu pasar lalu menjualnya pada orang lain.
Muhammad adalah seorang pemuda miskin yang memulai bisnisnya dari tahap awal. Terkadang bekerja untuk mendapatkan upah dan terkadang sebagai agen untuk beberapa pebisnis kaya di kota Mekkah. Dalam mencari nafkah yang halal beliau bekerja keras, sungguh-sungguh dan cermat menggeluti profesi bisnis ini yang tentunya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga membangun reputasi dimata para pemodal, relasi dan pelanggan.
Beliau juga telah memasuki kerjasama bisnis bersama dengan beberapa orang. Sebagai pribadi yang dikenal jujur (shidiq) dan terpercaya (amin) oleh masyarakat, beliau memiliki kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya dengan menjalankan modal orang lain. Diantaranya menerima modal dari para janda dan anak yatim dengan sistem upah maupun bagi hasil.
Beliau juga pernah bermitra dengan Saib ibnu Ali yang pernah menyatakan dan mengakui bahwa Muhammad adalah mitranya dalam berdagang dan selalu lurus dalam perhitungan-perhitungannya. Salah satu dari mitra pemodal lainnya adalah Khadijah, salah seorang konglomerat kaya di masa itu.
Muhammad menjalankan kontrak syirkah (kerjasama) dengan sistem upah maupun bagi hasil (mudharabah) dengan Khadijah. Kadang-kadang dalam kontraknya Muhammad sebagai pengelola (mudharib) dan Khadijah sebagai sleeping partner(shahibul maal) dan sama-sama berbagi atas keuntungan maupun kerugian. Terkadang pula Muhammad menjadi pebisnis yang digaji/medapatkan upah untuk mengelola barang dagangan Khadijah. Diantaranya Khadijah pernah mempercayakan kepadanya modal untuk bertolak ke Syiria.
Dalam masa usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Muhammad karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain-pemain senior dalam perdagangan regional.
Ketekunan, Kejelian dan Kesuksesan
Muhammad kemudian banyak melakukan perjalanan-pejalanan bisnis dengan modal Khadijah ini. Beliaupun telah sering mengunjungi Bahrain dalam rangkaian lawatan bisnis. Beliau adalah seorang saudagar ulung. Beliau pernah mendapatkan imbalan seekor unta muda untuk setiap kali perjalanan ke kota-kota dagang di sekitar Yaman. Sebuah Hadits juga menjelasakan, diriwayatkan oleh adz-Dzahabi dari Nabi “saya telah melakukan dua kali perjalanan dagang untuk Khadijah dan mendapat upah dua ekor unta betina dewasa” (Jami’ ash-Shagir).
Ketekunan dan kesungguhan beliau dalam berbisnis juga sangat menonjol. Beliau pernah menunggu pembelinya, Abdullah bin Abdul Hamzah selama tiga hari. Abdullah bin Abdul Hamzah mengatakan: “Aku telah membeli sesuatu dari Nabi sebelum beliau menerima tugas kenabian, dan karena masih ada suatu urusan dengannya maka menjanjikan untuk mengantarkan padanya, tetapi aku lupa. Ketika teringat tiga hari kemudian, aku pun pergi ke tempat tersebut dan menemukan Nabi masih berada disana”. Nabi berkata, “Engkau telah membuatku resah, aku berada di sini selama tiga hari menunggumu” (HR. Abu Dawud). Sebuah kesabaran dan pengorbanan yang luar biasa untuk tidak membuat relasi atau pelanggan (customer) kecewa. Tidak pula lantas marah, kecuali hanya menyampaikan bahwa telah menunggu tiga hari.
Kecerdasan Bisnis beliau sangat teruji. Beliau pernah ketika menjual barang dagangan di pasar-pasar Busra meraih keuntungan dua kali lipat dibanding pebisnis-pebisnis yang lain. Ketika Khadijah mendapatinya dengan keuntungan yang sangat besar yang belum pernah diraih siapapun sebelumnya maka Khadijah memberikan keuntungan yang lebih besar daripada yang telah mereka berdua sepakati sebelumnya.
Kecerdikan dalam berbisnis dan penguasaannya tehadap pasar juga sangat luar biasa. Pada suatu waktu Muhammad diminta membawa dagangan milik Siti Khadijah. Muhammad dikenal sebagai orang yang jujur dalam segala hal, sehingga digelari Al-Amin (orang yang paling dapat dipercaya). Hal itu pun diterapkan dalam berbisnis. Para pebisnis Quraisy Mekkah tidak suka kepada Muhammad yang jujur dalam berdagang ini. Bagi mereka, dagang ya dagang, jujur ya jujur. Mereka berpandangan tidak bisa kedua hal itu dipadukan. Akhirnya mereka membuat rencana untuk membangkrutkan Muhammad. Ketika rombongan pedagang Mekkah itu membawa barang dagangan ke Syam (sekarang dikenal dengan nama Suriah), mereka sengaja menjatuhkan harga. Muhammad tidak mau melakukannya, karena yang dia bawa adalah dagangan milik Siti Khadijah, bukan miliknya sendiri. Beliau harus amanah.
Selain itu, beliau telah sangat memahami kondisi pasar saat itu bahwa jumlah permintaan (demand) jauh lebih tinggi dari jumlah penawaran (suplay). Beliau memahami seluruh barang pasti akan terjual karena permintaan lebih tinggi dari jumlah barang yang tersedia. Karena itu, bila barang dagangan para saudagar Quraisy itu habis, pasti konsumen akan tetap mencari barang tersebut. Benar saja, ketika dagangan yang harganya dibanting itu habis, maka masyarakat akhirnya membeli barang-barang kepada Muhammad dengan harga normal. Ketika rombongan pedagang itu pulang, Mekkah pun gempar. Semua pedagang rugi, kecuali Muhammad yang untung besar. Inilah contoh kejelian melihat, menganalisis, dan memahami pasar serta keberkahan dari sikap jujur dan amanah. Ini juga merupakan bukti kemampuan merespon strategi pesaing secara jernih.
Karier bisnis Muhammad semakin kuat dalam usia 25 tahun. Usia ini merupakan titik keemasan entrepreneurship Muhammad setelah mendapatkan back-up financial yang lebih mapan dari sang Istri Khadijah yang telah dinikahi. Tak heran dari kesuksesan bisnisnya kalau kemudian maskawin yang beliau serahkan ketika pernikahan juga sangat besar pada waktu itu. Maskawinnya adalah 20 ekor unta muda. Hal ini merupakan bukti keberhasilan beliau sebagai pebisnis. Sejarah juga telah mencatatkan bahwa beliaulah pribadi yang pernah ber-Qurban dalam jumlah yang sangat besar. Mengurbankan 100 Unta secara pribadi. Kalau kita hitung kasar saja, satu ekor untuk sekarang berkisar Rp 7-10 Juta. Berarti Qurban beliau senilai Rp 700 juta s/d 1 milyar-an. Jumlah yang sangat besar untuk Qurban dari seorang pribadi pada sepanjang sejarah peradaban.
Setelah menikah dengan Khadijah, beliau tetap melangsungkan bisnis perdagangan seperti biasa. Membawa dagangannya ke berbagai daerah di semenanjung Arabia dan negeri-negeri perbatasan Yaman, Bahrain, Irak dan Syiria. Namun sekarang ia bertindak sebagai manajer sekaligus mitra usaha istrinya.
Pengalaman Bisnis
Muhammad dengan ketekunan dan kesungguhanya kemungkinan besar telah mengunjungi pusat-pusat bisnis perdagangan yang terkenal di Arabia berulangkali. Beliau juga bertemu dengan konglomerat dari berbagai wilayah. Pusat-pusat bisnis perdagangan di Arabia yang terkenal diantaranya; Pertama, Fumatul Jandal: pusat bisni yang terkenal ini terletak di ujung utara Hijaz di dekat perbatasan Syiria waktu itu. Pekan bisnis diadakan setiap tahun pada awal bulan Rabi’ul Awwal di tempat ini. Saat seperti itu para pebisnis dari jauh dan dekat berdatangan ke tempat tersebut. Pasar ini berlangsung hingga akhir pekan.
Kedua, Mushaqqar: tempat pekan bisnis ini pada sebuah kota yang terkenal di Hijar (Bahrain) mulai awal Jumadil Awwal. Berlangsung sebulan penuh. Ketiga, Suhar: ini adalah sebuah kota di Oman. Pekan bisnis ini berlangsung selama lima hari pada bulan Rajab. Keempat, Dabba: ini adalah salah satu dari dua kota pelabuhan Oman. Para pebisnis dari daerah Sind, Hind (India), Cina dan banyak negara-negara timur lainnya datang ketempat ini untuk berbisnis.
Kelima, Shihr (Maharah): sebuah kota yang terletak disebelah pantai laut Arabia, antara Aden dan Oman. Kota ini terkenal dengan parfumnya yang dikenal dengan ‘Amber’. Pekan bisnis ini dilangsungkan sejak awal hingga pertengahan bulan Sya’ban. Keenam, Aden: pekan bisnis di Aden diadakan mulai tanggal satu hingga sepuluh Ramadhan. Banyak pebisnis dari timur dan selatan berdatangan untuk berbisnis. Ketujuh, San’a: ibukota Yaman. Pekan bisnis diadakan mulai tanggal sepuluh hingga akhir Ramadhan. Kedelapan, Rabiyah: nama sebuah kota di Hadramaut. Pasar bisnis ini diadakan mulai tanggal lima belas Dzulqa’dah dalam waktu satu bulan.
Kesembilan, Ukaz: nama sebuah tempat diujung Najd (dekat Thaif). Pasar bisnis ini bersamaan dengan pasar yang berada di Hadramaut. Pasar ini melebihi pasar-pasar lain dalam hal kemegahan fasilitas bisnis, omzet transaksi bisnisnya dan peserta bisnis dari berbagai wilayah. Pasar ini banyak dikunjungi pebisnis dari suku-suku Hawazin, Ghatafan, Aslam, Ahabish, Adl, ad-Dish, al-Haya, al-Mustaliq dan Quraisy.
Kesepuluh, Dul Majaz: terletak didekat Ukaz (antara Ukaz dan Makah), dan pasar bisnis diadakan pada tangal satu hingga tanggal tujuh bulan Dzul-Hijjah. Kesebelas, Mina: pasar bisnis berlangsung selama musim Haji (dekat Mekkah). Keduabelas, Nazat: terletak diwilayah Khaibar mulai tanggal sepuluh sampai akhir bulan Muharam. Ketigabelas, Hijr: adalah nama sebuah kota di Yamamah dimana pasar bisnis bersamaan dengan Nazat. Terakhir, pasar yang terletak diluar semenajung Arabia yang sering didatangi Muhammad adalah Busra (Syiria). Praktis beliau telah mengunjunggi daerah-daerah di Arabia Utara, Selatan, Timur dan Barat untuk berbisnis. Sebuah kerja keras yang luar biasa. Sehingga memiliki pengalaman berbisnis yang sangat banyak. Berinteraksi dan berkompetisi dengan pebisnis regional dan pebisnis dari negari-negari timur jauh serta dari wilayah-wilayah lainnya.
Beliau mulai mengurangi aktivitas bisnis ketika sudah berusia 37-an dan terutama sesudah datangnya Nubuwah (kenabian). Meski demikian naluri kebiasaan dan penghargaan terhadap bisnis masih tetap tinggi. Beliau tetap pernah beraktivitas bisnis. Anas meriwayatkan bahwa Nabi pernah menawarkan sebuah kain pelana dan bejana untuk minum seraya mengatakan, “Siapa yang ingin membeli kain pelana dan bejana air minum?” Seorang laki-laki menawarnya seharga satu dirham, dan Nabi menanyakan apakah ada orang yang akan membayar lebih mahal. Seorang laki-laki menawar padanya dengan harga dua dirham, dan beliapun menjual barang tersebut padanya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Nasihat dan Teladan untuk Pebisnis Modern
Bisnis dan perdagangan termasuk dalam kegiatan manusia yang terpenting. Bisnis dan perdagangan diperlukan karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup dengan sempurna, mampu menyediakan segala keperluan dan tuntutan hidupnya sendiri tanpa melibatkan orang lain. Oleh karena itu manusia saling memerlukan, bekerjasama dan saling tolong menolong.
Islam mendorong ummatnya berusaha mencari rezeki supaya kehidupan mereka menjadi baik dan menyenangkan. Allah SWT menjadikan langit, bumi, laut dan apa saja untuk kepentingan dan manfaat manusia. Manusia hendaklah mencari rezeki yang halal. Firman Allah dalam surah An-Naba (78): 10-11 :
“Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk penghidupan. Dalam ayat itu Allah mengajarkan keseimbangan antara mencari rezeki untuk kehidupan dan beristirahat (leisure). Malam hari untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga dan siang hari bekerja mencurahkan tenaga, berbisnis berdagang untuk mencari rezeki.”
Aisyah pernah meriwayatkan bahwa Rasululah bersabda, “Hal-hal yan paling menyenangkan yang engkau nikmati adalah yang datang dari hasil tanganmu sendiri, anak-anakmu berasal dari apa yang engkau hasilkan” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah). Nabi juga bersabda, “Berusaha mendapatkan nafkah yang halal adalah kewajiban disamping tugas-tugas lainnya yang telah diwajibkan” (HR. Baihaqi).
Beliaupun memberikan nasihat untuk kita yang bisa senantiasa menjadi motivasi dan perlu diamalkan. Rafi’ bin Judaij berkata bahwa “Rasulullah saw ketika ditanya, usaha apakah yang paling baik? Rasul menjawab: yaitu usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang baik” (HR. Hakim). Usaha dengan tangan sendiri bisa dalam bentuk aktivitas jasa, produksi, pertanian, perikanan maupun yang lain. Sedang jual beli adalah aktivitas bisnis peniagaan barang dan jasa.
Dalam beberapa hadist Rasulullah SAW memberikan dorongan kepada ummatnya untuk mencari rezeki dengan berusaha dan berdagang. Rasulullah sendiri adalah contoh seorang pedagang yang sukses. Ketika masih kecil beliau telah menemani pamannya Abu Thalib berdagang ke Syam. Detelah memasuki usia dewasa bahkan beliau sendiri menjalankan bisnis milik Siti Khadijah ke Syam dan kembali dengan keuntungan yang besar. Ini adalah bukti kemampuan, kepercayaan dan amanah beliau sebagai pedagang. Rasulullah SAW bersabda : “Pedagang yang amanah dan benar akan bersama dengan para syuhada di hari qiyamat nanti” (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Muhammad -yang menjadi pedagang sejak usia muda- mempunyai empat kiat sukses berbisnis. Yakni, sidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), fatonah (cerdas, cerdik, memahami manajemen dan strategi bisnis), dan tabligh (kemampuan komunikasi dan meyakinkan relasi atau pembeli). Bila keempat sifat atau kiat ini ada pada seorang pebisnis, insya Allah dia akan berhasil. Ini merupakan karakter bisnis yang Islami. Namun, bisa pula diterapkan oleh siapa pun, sebab ajaran Islam itu bersifat universal.
Muhammad telah melakukan transaksi-transaksi perdagangannya secara jujur, adil dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh atau kecewa. Ia selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangan dengan standar kualitas sesuai permintaan pelanggan. Reputasinya sebagai pedagang yang benar-benar jujur telah tertanam sejak muda. Ia selalu memperlihatkan rasa tangungjawabnya terhadap setiap transakasi yang dilakukan. Lebih dari itu, Muhammad juga meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan transaksi dagang secara adil (Afzalurrahman, 1996).
Nasihat-nasihat beliau bisa dijadikan sebagai moralitas baru yang akan membingkai aktivitas para pebisnis hari ini. Muhammad sangat sopan dan baik hati dalam melakuan transaksi binis perdagangan. Selain itu beliau juga menasehati para sahabatnya untuk bersikap yang sama kapan saja dan dengan siapa saja mereka melakukan transaksi. Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, “Rahmat Allah atas orang yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli, dan ketika ia membuat keputusan” (HR. Bukhori). Dalam kesempatan yang lain Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, “Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukan dalam golongan para Nabi, Shiddiqien dan Syuhada” (HR. Tirmidzi). Dan banyak lagi ajaran yang menjadi framework kita dalam berbisnis yang perlu dikaji lebih jauh.
Beliau telah menyampaikan risalah Islam yang lurus. Risalah yang mendukung pengumpulan kekayaan asal dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah. Sebaliknya Islam juga sangat mencela pengumpulan kekayaan secara berlebihan yang cenderung mengabaikan batas-batas dan tuntunan-tuntunan syariah itu sendiri. Agama Islam membolehkan bahkan menganjurkan setiap orang untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan dengan cara-cara yang halal dan menafkahkannya dengan penuh tanggungjawab dalam koridor pengaturan syariah dalam pengeluaran. Wallahu’alam bishawab.
Rabu, 19 September 2007
Belajar Pengentasan Kemiskinan dari Umar bin Abdul Aziz
Kemiskinan di negri ini semakin hari semakin memprihatinkan. Setelah lebih 60 tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Alih-alih tereduksi, kemiskinan terjadi dalam skala yang meluas, bahkan dengan kondisi yang lebih dalam. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, dikejutkan oleh wabah busung lapar, dikagetkan dengan banyaknya masyarakat yang harus makan nasi aking, dan melonjaknya jumlah kemiskinan. Padahal, program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, dengan dana penanggulangan kemiskinan yang terus meningkat.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi program Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia. MDGs merupakan agenda kampanye global memutus mata rantai sejarah kemiskinan (make poverty history). Dalam deklarasi tersebut, diharapkan seluruh negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.
Islam dan Kemiskinan
Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Sementara tahun 2004 angka penduduk miskin turun menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen. Namun angka ini sesungguhnya sangat konservatif. Dengan menggunakan standar Bank Dunia, dengan garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS sehari, maka angka kemiskinan bisa menjadi 53,4 persen atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini kurang lebih sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.
Isu kemiskinan dan pengangguran kembali mencuat dan mendapat perhatian banyak pihak usai pidato kontroversial Presiden pada Agustus 2006 di depan DPR yang menyatakan bahwa angka kemiskinan dan pengangguran menurun. Data BPS (2006) ternyata menunjukan kenyataan sebaliknya, per Maret 2006 angka kemiskinan melonjak menjadi 17,75 persen. Angka pengangguran juga memburuk dari 9,86 persen pada 2004 menjadi 10,4 persen pada 2006.
Dalam Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis, posisi Indonesia tahun ini tidak berubah, bahkan kian anjlok. Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian MDGs Asia Pacific oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan tersebut, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.
Ancaman kegagalan disebabkan kecilnya alokasi pembelanjaan PDB untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Ini membuat Indonesia gagal menyehatkan anak-anak balita. Jumlah anak balita dengan berat badan di bawah normal meningkat, Indonesia juga dinilai stagnan, cenderung gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan bersekolah pada kelas V.
Dengan melihat fakta kegagalan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan, kita perlu mencari cara pandang baru terhadap persoalan kemiskinan. Kita perlu mengkaji kembali satu realitas sejarah Islam yang pernah hadir untuk menjawab persoalan kemiskinan secara konkret. Umar bin Khattab r.a. yang menjadi khalifah pada periode tahun 12-22 Hijriyah pernah menjadikan Yaman sebagai satu provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Gubernur Yaman waktu itu, Mu’adz bin Jabal, mengirim ke Madinah (Ibu Kota) sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi itu, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil di tahun ketiga. Zakat dikirim ke Ibu Kota setelah tidak bisa dibagi lagi didalam provinsi. Bukti kedua pengentasan kemiskinan juga terjadi pada masa kepemimpinan dua tahun Umar bin Abdul Aziz (99-101H) (Monzer Kahf, 1999).
Sejarah keberhasilan dua pemimpin muslim tersebut dengan panduan konsep Islam dalam kebijakannya, sayangnya diabaikan dalam catatan sejarah ekonomi. Akibatnya konsep Islam dalam kebijakan publik, yang pernah sukses dipraktikan untuk memecahkan persoalan kemiskinan tidak pernah dilirik oleh para ekonom yang berada dilingkaran kekuasaan negeri ini (baik Pusat maupun Daerah).
Di negeri ini bahkan, Islam sering mendapat citra negatif dari kemiskinan. Bahkan sering dituding sebagai penyebab kemiskinan. Padahal Islam sebagai sebuah risalah paripurna dan ideologi hidup sangat memperhatikan masalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keimanan (QS 2: 268). Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan-Nya (QS 30:40; QS 11:6). Setiap makhluk memiliki rizki masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Di saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15) (Yusuf Wibisono, 2006).
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
Ditengah kegagalan sewindu pemerintahan pasca reformasi untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat yang dapat mengurangi jumlah kemiskinan, kita perlu belajar bagaimana Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekhalifahan beliau yang singkat (2 tahun 5 bulan) bisa menjalankan kerja besar meredusir kemiskinan bahkan mengentaskan kemiskinan.
Menurut Monzer Kahf (1999), setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan surplus zakat sebagai penanda terentaskannya kemiskinan dalam masyarakat muslim periode tersebut.
Pertama, terjadi penambahan kekayaan masyarakat dari redistribusi aset dan kemakmuran internal yang sebagian besar disebabkan oleh perbesaran pasar dan meningkatnya keamanan. Peningkatan kekayaan masyarakat miskin terutama dimulai dari kebijakan redistribusi aset yang dilakukan secara besar-besaran dari kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang diperoleh secara tidak sah. Kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang terindikasi diperoleh secara tidak sah terutama melalui korupsi dan kolusi segera diambil alih oleh pemerintah dan dikembalikan kepada masyarakat.
Redistribusi aset ini menyebabkan aset yang sebelumnya terakumulasi pada segelintir elit menjadi sumber modal yang menyebar. Sehingga mampu menggerakan roda ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Daya beli yang meningkat memicu pertumbuhan sisi permintaan (demand side) akan berbagai barang dan jasa. Hal ini kemudian memacu sektor produksi, konsumsi, distribusi, dan juga memperbesar pasar barang, jasa dan tenaga kerja. Roda perekonomian berputar cepat dan menggerakan seluruh potensi sumber daya secara optimal.
Adapun pelajaran bagi Indonesia, dalam pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini sangat ditabukan adanya konsep redistribusi aset. Bahkan aset pejabat yang jelas terlihat oleh publik dari hasil KKN tidak ada sedikitpun yang diambil negara. Yang dijalankan hanya menuntut bagaimana meningkatkan produktivitas masyarakat miskin daripada bagaimana memberi mereka akses pada aset-aset produksi yang akan memungkinkan mereka menaikan produktivitas.
Faktanya, negeri ini memiliki sumber modal yang cukup banyak dan sebagian rakyatnya tergolong kaya dengan aset mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Hal ini dibuktikan paling tidak oleh hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini (publikasi 2006). Kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu melaporkan, sekitar sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura (sebesar US$260 miliar) adalah milik warga negara Indonesia (WNI). Kekayaan 18.000 orang WNI yang berdomisili di Singapura mencapai US$87 miliar (sekitar Rp800 triliun). Bahkan, total kekayaan WNI jauh lebih besar dari Rp800 triliun bila ditambah dana yang diinvestasikan di sejumlah kegiatan bisnis di Singapura. Apalagi kalau ditambahkan lagi kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di sejumlah negara, seperti Australia, China, Hong Kong, Swiss, dan Caymand Island.
Bukan rahasia lagi, banyak konglomerat, 'pengusaha hitam', 'pejabat hitam', dan mantan 'pejabat hitam' asal Indonesia yang tinggal, menyimpan uang, dan menanamkan modal di Singapura. Hal ini sebagaimana diungkap Andy Xie, mantan Ekonom Kepala Morgan Stanley untuk Asia, yang menyatakan Singapura merupakan negara yang tergantung pada uang gelap dari Indonesia dan China. Keberhasilan ekonomi Singapura, menurutnya, terutama karena posisinya sebagai pusat pencucian uang bagi pebisnis dan pejabat Indonesia yang korup (Bisnis Indonesia,13/10/06).
Selama ini, pemerintah senatiasa tak berdaya menghadapi para penjahat yang telah mengeruk kekayaan bangsa tersebut. Karena aset masih terkonsentrasi pada koruptor lama, akhirnya kita tidak memiliki modal yang cukup untuk menggerakkan ekonomi. Kita kemudian mengemis investasi asing, yang juga tak kunjung datang. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan kemiskinan paling efektif seharusnya dimulai secara tegas dari penyitaan aset-aset pejabat dan kroni pejabat yang diperoleh secara tidak sah dan kemudian didisitribusikan kembali ke masyarakat.
Selain itu kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang menegakkan amanah dan pelayanan umat (khadimul umah) menyebabkan reduksi korupsi dalam birokrasi dan badan administrasi yang merupakan prestasi penting dalam masa dua tahun pemerintahan beliau. Hasilnya, kebanyakan dari dana publik dan dana zakat, dikumpulkan dan didistribusikan dengan jumlah yang optimal. Sangat sedikit dana yang dikorupsi ke saku pejabat. Dengan kata lain, peningkatan efisiensi manajemen pendapatan publik dan manajemen zakat serta pendapatan yang lain, juga telah menjadi faktor pendukung dalam memelihara porsi prioritas anggaran untuk memenuhi kebutuhan publik lebih besar, mencakup pemberantasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarkat. Yang juga penting, porsi anggaran untuk penyelenggara negara waktu itu juga disederhanakan.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi kita. Saat ini kita menyaksikan pejabat publik yang semakin kaya setelah menjabat. Seperti: banyak menteri yang kekayaannya terus bertambah; pejabat tinggi kepolisian yang baru menjabat 2 tahun hartanya sudah meningkat 150 persen; serta anggota-anggota legislatif yang menjadi orang kaya baru (OKB) dari sebelumnya hidup bersahaja. Yang terjadi, menjadi pejabat publik bukan untuk melayani masyarakat, tetapi sarana untuk meningkatkan status diri dan memupuk kesejahteraan pribadi. Hal ini dibuktikan oleh ‘korupsi legal’ APBN dan APBD dengan tingginya budget belanja untuk pengeluaran eksekutif dan legislatif dengan berbagai alasan diberbagai tingkatan. Dampaknya porsi anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial sangat minim.
Dengan kondisi demikian, jelas sangat sulit bagi kita untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan ekonomi paling efektif seharusnya juga dimulai dari birokrasi yang bersih dengan anggaran penyelenggara negara yang sederhana dan tersedianya dana untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial yang optimal.
Sebagai tambahan, masa itu voluntary sector Islami terutama praktek wakaf yang dimulai sejak masa Nabi SAW mengalami perluasan secara luar biasa. Sebelum Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekhalifahan, pengelolaan institusi wakaf banyak dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan keluarga khalifah dan pejabat, sehingga programnya tidak tajam dan tepat sasaran. Sepanjang pemerintahan beliau dilakukan reformasi besar-besaran atas lembaga ini, sehingga kebanyakan dari wakaf dapat terlembagakan secara mapan dan memberi efek keberhasilan dalam membantu kaum miskin dan fakir miskin. Karena tujuan utama pendapatan Wakaf difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz berhasil membangkitkan kembali kukuhnya perasaan qana'ah, menahan diri, dan semangat berkarya masyarakat disebabkan oleh kuatnya keyakinan dan iman kepada Allah SWT. Beliau memulai dari diri sendiri dengan sikap zuhud dan kerja keras beliau. Qana’ah dan menahan diri menjadi pondasi penting dalam masyarakat muslim waktu itu. Sebagian anggota masyarakat yang qana’ah dan mampu menahan diri, mereka menolak untuk mengambil zakat meski sesungguhnya mereka berhak. Prinsip qanaah dan kepuasan diri melahirkan ketergantungan pada sumber daya sendiri. Sebagai contoh sahabat Salman al-Farisi, beliau tinggal di Irak (Kufah atau Basrah) dan tidak dipertimbangkan dalam kategori miskin yang berhak atas zakat. Padahal sekali waktu beliau memberikan tamu hanya sekedar roti dan garam sebagai makanan. Ketika tamu berkeinginan untuk memperoleh thyme sebagai tambahan makanan yang sederhana ini, beliau pergi ke luar dan meminjam uang untuk membeli thyme dan menjadikan panci airnya sebagai jaminan. Roti, garam dan thyme saat itu merupakan bagian makanan yang biasa dikonsumsi orang yang sangat miskin. Karena sikap qana’ah, Salman tidak menjadikan dirinya miskin. Kondisi yang demikian juga masih eksis dalam sebagian masyarakat masa kepemimpinan Umar bin Abul Aziz.
Selain itu spirit Islam yang kembali dalam masyarakat pada masa kepemimpinan beliau, melahirkan ruh baru dan menciptakan energetism baru yang kemudian meningkatkan produktivitas. Ketika mereka telah disentuh oleh semangat Islam dan mendapati pemimpin yang menjadi qudwah yang adil dan zuhud, terjadi perubahan pada birokrat, petani, pengrajin dan pedagang didalam negeri menjadi lebih giat. Hal ini disebabkan juga karena mereka dibebaskan dari pajak-pajak yang tidak adil, yang sebelumnya dibebankan atas mereka untuk membiayai pemborosan para penguasa terdahulu.
Sehingga hasilnya, sebagai tambahan dari sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya, terjadi peningkatan kekayaan yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas sebagai hasil dari semangat dan spirit baru. Juga yang sangat penting dari pengurangan pajak dan penghalang administratif yang secara total dihapuskan. Hal-hal tersebut ternyata lebih banyak berpengaruh dalam mengentaskan kemiskinan dibanding dari redistribusi yang diperankan zakat. Sehingga dengan peningkatan produksi kemudian meningkatkan hasil zakat lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan distribusi untuk kaum mustahik.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia, sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya perlu ditumbuhkan kembali. Tentu ini membutuhkan figur, dan yang tepat adalah dimulai dari presiden, kepala daerah, pejabat negara, seluruh aparatur negara, dan juga tokoh-tokoh umat. Selain itu gerakan kultural untuk membangkitkan sikap ini perlu terus digalang. Yang juga penting diikuti dalam meneladani kebijakan Umar bin Abdul Aziz adalah perlu segera dilakukan pemangkasan ekonomi biaya tinggi, sehingga muncul insentif yang besar untuk berusaha dan berkarya.
Ketiga, faktor dasar yang mendukung pengentasan kemiskinan masa dua Umar adalah bahwa wilayah yang berhasil mengentaskan kemiskinan (masa Umar bin Khattab provinsi Yaman dan masa Umar bin Abdul Aziz terutama provinsi Mesir) tersebut adalah wilayah yang kaya dengan tanah yang subur dan tanaman panenan berlimpah-limpah.
Bagi Indonesia prasyarat ketiga ini jelas sangat tersedia. Dimana kita memiliki ketersediaan tanah yang sangat-sangat subur, iklim yang sangat kondusif, dan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Dapat disimpulkan dengan belajar dari Umar bin Abdul Aziz bahwa pengentasan kemiskinan tidak perlu membutuhkan waktu lama. Dan bagi Indonesia prasyarat dasarnya sudah memenuhi, tinggalah kesungguhan menjalankan kebijakan dan kemauan mengambil resiko. Dengan demikian kalau kemiskinan dan kelaparan begitu banyak dinegeri ini, maka bangsa ini sendiri yang membuat dirinya miskin. Terutama akibat pemimpinnya yang melakukan pemiskinan terhadap rakyat. Rakyat miskin karena kekayaanya untuk membiayai kemewahan pejabat. Rakyat miskin karena ‘bersedekah’ untuk para koruptor dan konglomerat jahat. Rakyat miskin karena haknya dicuri. Wallahu a'lam bi al-shawab.
Kemiskinan di negri ini semakin hari semakin memprihatinkan. Setelah lebih 60 tahun merdeka, kemiskinan tidak pernah berakhir. Alih-alih tereduksi, kemiskinan terjadi dalam skala yang meluas, bahkan dengan kondisi yang lebih dalam. Belum lama kita diguncang oleh wabah polio, dikejutkan oleh wabah busung lapar, dikagetkan dengan banyaknya masyarakat yang harus makan nasi aking, dan melonjaknya jumlah kemiskinan. Padahal, program pengentasan kemiskinan selalu tercantum dalam program pembangunan dari waktu ke waktu, dengan dana penanggulangan kemiskinan yang terus meningkat.
Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi program Millennium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia. MDGs merupakan agenda kampanye global memutus mata rantai sejarah kemiskinan (make poverty history). Dalam deklarasi tersebut, diharapkan seluruh negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan kekurangan pangan hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.
Islam dan Kemiskinan
Saat deklarasi MDGs diluncurkan, tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Sementara tahun 2004 angka penduduk miskin turun menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen. Namun angka ini sesungguhnya sangat konservatif. Dengan menggunakan standar Bank Dunia, dengan garis kemiskinan dinaikkan menjadi dua dolar AS sehari, maka angka kemiskinan bisa menjadi 53,4 persen atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini kurang lebih sama dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.
Isu kemiskinan dan pengangguran kembali mencuat dan mendapat perhatian banyak pihak usai pidato kontroversial Presiden pada Agustus 2006 di depan DPR yang menyatakan bahwa angka kemiskinan dan pengangguran menurun. Data BPS (2006) ternyata menunjukan kenyataan sebaliknya, per Maret 2006 angka kemiskinan melonjak menjadi 17,75 persen. Angka pengangguran juga memburuk dari 9,86 persen pada 2004 menjadi 10,4 persen pada 2006.
Dalam Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis, posisi Indonesia tahun ini tidak berubah, bahkan kian anjlok. Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian MDGs Asia Pacific oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan tersebut, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.
Ancaman kegagalan disebabkan kecilnya alokasi pembelanjaan PDB untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Ini membuat Indonesia gagal menyehatkan anak-anak balita. Jumlah anak balita dengan berat badan di bawah normal meningkat, Indonesia juga dinilai stagnan, cenderung gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan bersekolah pada kelas V.
Dengan melihat fakta kegagalan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan, kita perlu mencari cara pandang baru terhadap persoalan kemiskinan. Kita perlu mengkaji kembali satu realitas sejarah Islam yang pernah hadir untuk menjawab persoalan kemiskinan secara konkret. Umar bin Khattab r.a. yang menjadi khalifah pada periode tahun 12-22 Hijriyah pernah menjadikan Yaman sebagai satu provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Gubernur Yaman waktu itu, Mu’adz bin Jabal, mengirim ke Madinah (Ibu Kota) sepertiga dari total hasil zakat dari provinsi itu, separuh di tahun berikutnya, dan semua hasil di tahun ketiga. Zakat dikirim ke Ibu Kota setelah tidak bisa dibagi lagi didalam provinsi. Bukti kedua pengentasan kemiskinan juga terjadi pada masa kepemimpinan dua tahun Umar bin Abdul Aziz (99-101H) (Monzer Kahf, 1999).
Sejarah keberhasilan dua pemimpin muslim tersebut dengan panduan konsep Islam dalam kebijakannya, sayangnya diabaikan dalam catatan sejarah ekonomi. Akibatnya konsep Islam dalam kebijakan publik, yang pernah sukses dipraktikan untuk memecahkan persoalan kemiskinan tidak pernah dilirik oleh para ekonom yang berada dilingkaran kekuasaan negeri ini (baik Pusat maupun Daerah).
Di negeri ini bahkan, Islam sering mendapat citra negatif dari kemiskinan. Bahkan sering dituding sebagai penyebab kemiskinan. Padahal Islam sebagai sebuah risalah paripurna dan ideologi hidup sangat memperhatikan masalah kemiskinan. Bahkan kemiskinan dipandang sebagai salah satu ancaman terbesar bagi keimanan (QS 2: 268). Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan-Nya (QS 30:40; QS 11:6). Setiap makhluk memiliki rizki masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119). Di saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15) (Yusuf Wibisono, 2006).
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz
Ditengah kegagalan sewindu pemerintahan pasca reformasi untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat yang dapat mengurangi jumlah kemiskinan, kita perlu belajar bagaimana Umar bin Abdul Aziz dalam masa kekhalifahan beliau yang singkat (2 tahun 5 bulan) bisa menjalankan kerja besar meredusir kemiskinan bahkan mengentaskan kemiskinan.
Menurut Monzer Kahf (1999), setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan surplus zakat sebagai penanda terentaskannya kemiskinan dalam masyarakat muslim periode tersebut.
Pertama, terjadi penambahan kekayaan masyarakat dari redistribusi aset dan kemakmuran internal yang sebagian besar disebabkan oleh perbesaran pasar dan meningkatnya keamanan. Peningkatan kekayaan masyarakat miskin terutama dimulai dari kebijakan redistribusi aset yang dilakukan secara besar-besaran dari kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang diperoleh secara tidak sah. Kekayaan keluarga khalifah dan pejabat yang terindikasi diperoleh secara tidak sah terutama melalui korupsi dan kolusi segera diambil alih oleh pemerintah dan dikembalikan kepada masyarakat.
Redistribusi aset ini menyebabkan aset yang sebelumnya terakumulasi pada segelintir elit menjadi sumber modal yang menyebar. Sehingga mampu menggerakan roda ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Daya beli yang meningkat memicu pertumbuhan sisi permintaan (demand side) akan berbagai barang dan jasa. Hal ini kemudian memacu sektor produksi, konsumsi, distribusi, dan juga memperbesar pasar barang, jasa dan tenaga kerja. Roda perekonomian berputar cepat dan menggerakan seluruh potensi sumber daya secara optimal.
Adapun pelajaran bagi Indonesia, dalam pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini sangat ditabukan adanya konsep redistribusi aset. Bahkan aset pejabat yang jelas terlihat oleh publik dari hasil KKN tidak ada sedikitpun yang diambil negara. Yang dijalankan hanya menuntut bagaimana meningkatkan produktivitas masyarakat miskin daripada bagaimana memberi mereka akses pada aset-aset produksi yang akan memungkinkan mereka menaikan produktivitas.
Faktanya, negeri ini memiliki sumber modal yang cukup banyak dan sebagian rakyatnya tergolong kaya dengan aset mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Hal ini dibuktikan paling tidak oleh hasil survei Merrill Lynch dan Capgemini (publikasi 2006). Kedua perusahaan jasa keuangan internasional itu melaporkan, sekitar sepertiga dari total aset 55.000 orang terkaya di Singapura (sebesar US$260 miliar) adalah milik warga negara Indonesia (WNI). Kekayaan 18.000 orang WNI yang berdomisili di Singapura mencapai US$87 miliar (sekitar Rp800 triliun). Bahkan, total kekayaan WNI jauh lebih besar dari Rp800 triliun bila ditambah dana yang diinvestasikan di sejumlah kegiatan bisnis di Singapura. Apalagi kalau ditambahkan lagi kekayaan WNI yang disimpan dan diinvestasikan di sejumlah negara, seperti Australia, China, Hong Kong, Swiss, dan Caymand Island.
Bukan rahasia lagi, banyak konglomerat, 'pengusaha hitam', 'pejabat hitam', dan mantan 'pejabat hitam' asal Indonesia yang tinggal, menyimpan uang, dan menanamkan modal di Singapura. Hal ini sebagaimana diungkap Andy Xie, mantan Ekonom Kepala Morgan Stanley untuk Asia, yang menyatakan Singapura merupakan negara yang tergantung pada uang gelap dari Indonesia dan China. Keberhasilan ekonomi Singapura, menurutnya, terutama karena posisinya sebagai pusat pencucian uang bagi pebisnis dan pejabat Indonesia yang korup (Bisnis Indonesia,13/10/06).
Selama ini, pemerintah senatiasa tak berdaya menghadapi para penjahat yang telah mengeruk kekayaan bangsa tersebut. Karena aset masih terkonsentrasi pada koruptor lama, akhirnya kita tidak memiliki modal yang cukup untuk menggerakkan ekonomi. Kita kemudian mengemis investasi asing, yang juga tak kunjung datang. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan kemiskinan paling efektif seharusnya dimulai secara tegas dari penyitaan aset-aset pejabat dan kroni pejabat yang diperoleh secara tidak sah dan kemudian didisitribusikan kembali ke masyarakat.
Selain itu kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang menegakkan amanah dan pelayanan umat (khadimul umah) menyebabkan reduksi korupsi dalam birokrasi dan badan administrasi yang merupakan prestasi penting dalam masa dua tahun pemerintahan beliau. Hasilnya, kebanyakan dari dana publik dan dana zakat, dikumpulkan dan didistribusikan dengan jumlah yang optimal. Sangat sedikit dana yang dikorupsi ke saku pejabat. Dengan kata lain, peningkatan efisiensi manajemen pendapatan publik dan manajemen zakat serta pendapatan yang lain, juga telah menjadi faktor pendukung dalam memelihara porsi prioritas anggaran untuk memenuhi kebutuhan publik lebih besar, mencakup pemberantasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarkat. Yang juga penting, porsi anggaran untuk penyelenggara negara waktu itu juga disederhanakan.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi kita. Saat ini kita menyaksikan pejabat publik yang semakin kaya setelah menjabat. Seperti: banyak menteri yang kekayaannya terus bertambah; pejabat tinggi kepolisian yang baru menjabat 2 tahun hartanya sudah meningkat 150 persen; serta anggota-anggota legislatif yang menjadi orang kaya baru (OKB) dari sebelumnya hidup bersahaja. Yang terjadi, menjadi pejabat publik bukan untuk melayani masyarakat, tetapi sarana untuk meningkatkan status diri dan memupuk kesejahteraan pribadi. Hal ini dibuktikan oleh ‘korupsi legal’ APBN dan APBD dengan tingginya budget belanja untuk pengeluaran eksekutif dan legislatif dengan berbagai alasan diberbagai tingkatan. Dampaknya porsi anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial sangat minim.
Dengan kondisi demikian, jelas sangat sulit bagi kita untuk melakukan transformasi ekonomi secara cepat, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Belajar dari Umar bin Abdul Aziz, pengentasan ekonomi paling efektif seharusnya juga dimulai dari birokrasi yang bersih dengan anggaran penyelenggara negara yang sederhana dan tersedianya dana untuk pembangunan dan kesejahteraan sosial yang optimal.
Sebagai tambahan, masa itu voluntary sector Islami terutama praktek wakaf yang dimulai sejak masa Nabi SAW mengalami perluasan secara luar biasa. Sebelum Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekhalifahan, pengelolaan institusi wakaf banyak dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan keluarga khalifah dan pejabat, sehingga programnya tidak tajam dan tepat sasaran. Sepanjang pemerintahan beliau dilakukan reformasi besar-besaran atas lembaga ini, sehingga kebanyakan dari wakaf dapat terlembagakan secara mapan dan memberi efek keberhasilan dalam membantu kaum miskin dan fakir miskin. Karena tujuan utama pendapatan Wakaf difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kedua, Umar bin Abdul Aziz berhasil membangkitkan kembali kukuhnya perasaan qana'ah, menahan diri, dan semangat berkarya masyarakat disebabkan oleh kuatnya keyakinan dan iman kepada Allah SWT. Beliau memulai dari diri sendiri dengan sikap zuhud dan kerja keras beliau. Qana’ah dan menahan diri menjadi pondasi penting dalam masyarakat muslim waktu itu. Sebagian anggota masyarakat yang qana’ah dan mampu menahan diri, mereka menolak untuk mengambil zakat meski sesungguhnya mereka berhak. Prinsip qanaah dan kepuasan diri melahirkan ketergantungan pada sumber daya sendiri. Sebagai contoh sahabat Salman al-Farisi, beliau tinggal di Irak (Kufah atau Basrah) dan tidak dipertimbangkan dalam kategori miskin yang berhak atas zakat. Padahal sekali waktu beliau memberikan tamu hanya sekedar roti dan garam sebagai makanan. Ketika tamu berkeinginan untuk memperoleh thyme sebagai tambahan makanan yang sederhana ini, beliau pergi ke luar dan meminjam uang untuk membeli thyme dan menjadikan panci airnya sebagai jaminan. Roti, garam dan thyme saat itu merupakan bagian makanan yang biasa dikonsumsi orang yang sangat miskin. Karena sikap qana’ah, Salman tidak menjadikan dirinya miskin. Kondisi yang demikian juga masih eksis dalam sebagian masyarakat masa kepemimpinan Umar bin Abul Aziz.
Selain itu spirit Islam yang kembali dalam masyarakat pada masa kepemimpinan beliau, melahirkan ruh baru dan menciptakan energetism baru yang kemudian meningkatkan produktivitas. Ketika mereka telah disentuh oleh semangat Islam dan mendapati pemimpin yang menjadi qudwah yang adil dan zuhud, terjadi perubahan pada birokrat, petani, pengrajin dan pedagang didalam negeri menjadi lebih giat. Hal ini disebabkan juga karena mereka dibebaskan dari pajak-pajak yang tidak adil, yang sebelumnya dibebankan atas mereka untuk membiayai pemborosan para penguasa terdahulu.
Sehingga hasilnya, sebagai tambahan dari sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya, terjadi peningkatan kekayaan yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas sebagai hasil dari semangat dan spirit baru. Juga yang sangat penting dari pengurangan pajak dan penghalang administratif yang secara total dihapuskan. Hal-hal tersebut ternyata lebih banyak berpengaruh dalam mengentaskan kemiskinan dibanding dari redistribusi yang diperankan zakat. Sehingga dengan peningkatan produksi kemudian meningkatkan hasil zakat lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan distribusi untuk kaum mustahik.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan di Indonesia, sikap qana’ah, menahan diri dan semangat berkarya perlu ditumbuhkan kembali. Tentu ini membutuhkan figur, dan yang tepat adalah dimulai dari presiden, kepala daerah, pejabat negara, seluruh aparatur negara, dan juga tokoh-tokoh umat. Selain itu gerakan kultural untuk membangkitkan sikap ini perlu terus digalang. Yang juga penting diikuti dalam meneladani kebijakan Umar bin Abdul Aziz adalah perlu segera dilakukan pemangkasan ekonomi biaya tinggi, sehingga muncul insentif yang besar untuk berusaha dan berkarya.
Ketiga, faktor dasar yang mendukung pengentasan kemiskinan masa dua Umar adalah bahwa wilayah yang berhasil mengentaskan kemiskinan (masa Umar bin Khattab provinsi Yaman dan masa Umar bin Abdul Aziz terutama provinsi Mesir) tersebut adalah wilayah yang kaya dengan tanah yang subur dan tanaman panenan berlimpah-limpah.
Bagi Indonesia prasyarat ketiga ini jelas sangat tersedia. Dimana kita memiliki ketersediaan tanah yang sangat-sangat subur, iklim yang sangat kondusif, dan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Dapat disimpulkan dengan belajar dari Umar bin Abdul Aziz bahwa pengentasan kemiskinan tidak perlu membutuhkan waktu lama. Dan bagi Indonesia prasyarat dasarnya sudah memenuhi, tinggalah kesungguhan menjalankan kebijakan dan kemauan mengambil resiko. Dengan demikian kalau kemiskinan dan kelaparan begitu banyak dinegeri ini, maka bangsa ini sendiri yang membuat dirinya miskin. Terutama akibat pemimpinnya yang melakukan pemiskinan terhadap rakyat. Rakyat miskin karena kekayaanya untuk membiayai kemewahan pejabat. Rakyat miskin karena ‘bersedekah’ untuk para koruptor dan konglomerat jahat. Rakyat miskin karena haknya dicuri. Wallahu a'lam bi al-shawab.
Langganan:
Postingan (Atom)