Kita hidup dalam “budaya kesuksesan” dan keinginan sukses menjadi milik semua orang. Orang banyak menjadikan sukses sebagai tujuan hidupnya dan kerap kali diasumsikan sebagai sarana menuju kebahagiaan. Pada hal tidak selalu kesuksesan itu berbuah kebahagiaan. Albert Schweitzer mengemukakan “sukses bukanlah kunci menuju kebahagiaan, kebahagiaanlah kunci menuju kesuksesan”.
Kata sukses berasal dari bahas latin “succedere” yang berarti “terus baik”. Makna ini menyiratkan bahwa kesuksesan adalah sebuah perjalanan (proses) dan bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan yang tidak nyaman, penuh cobaan, onak dan duri, dihantui kegagalan dan diperlukan kearifan, nilai dan integritas diri yang tinggi.
Selama ini dipahami bahwa untuk mencapai kesuksesan di era perubahan yang semakin cepat, kompleks dan semraut menuntut orang menjadi serba cepat pula dan pahlawan kita saat ini orang-orang yang membuat segala sesuatu berlangsung lebih cepat pula. Dalam masyarakat yang serba instant ini, kita melaju ke depan untuk mendapatkan kesuksesan dengan berlari kencang dan meninggalkan sesuatu yang berharga, bermakna dan meninggalkan kebenaran sejati dibelakang kita.
Kehidupan ini semakin sibuk dan kesibukan itu menjadi jalan hidup dan menjadi alasan sebagian orang untuk meninggalkan kewajibannya. Kalau kita pikir apa yang menyibukkan kita ?, pernahkah kita mengaudit kesibukan kita yang selama ini?. Kesibukan bukanlah kesuksesan sejati karena sukses bukanlah soal sekedar melakukan sesuatu, sukses adalah persoalan melakukan apa yang bermakna dan bernilai bagi kita dan orang lain.
Survei menunjukan bahwa orang yang terlalu sibuk atau memperpanjang jam kerjanya menjadi halangan terbesar bagi pertumbuhan spiritualnya. Survey lain juga memperlihatkan bahwa 68 % berdampak buruk terhadap produktivitas kerjanya, 71 % berdampak buruk bagi kesehatannya, 79 % berdampak buruk bagi pasangan atau teman dekatnya, dan 86 % berdampak buruk bagi anak-anaknya. Hal ini ditemukan juga pada dokter, 60 % dokter bekerja lebih keras tapi semakin tidak menikmatinya dan 87 % dokter mengatakan semangat kerjanya berkurang secara signifikan (Robert Holden dalam bukunya success Intelligence).
Dari persentase di atas muncul pertanyaan ”mengapa kesuksesan yang telah dicapai tidak memberi makna dalam kehidupan ini?”.
Para pakar telah berupaya memahami faktor kesuksesan ini, diantaranya melihat kesuksesan dari faktor kecerdasan manusia. Apa yang menjadi keyakinan Binet yang menyatakan kesuksesan dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual telah terbantahkan. Menurut Daniel Goleman memberikan penjelasan bahwa kesuksesan 80 % dipengaruhi oleh kecerdasan emosional yang melingkupi pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk meotivasi diri sendiri. Zohar dan Marshall melengkapi pendapat Goleman dengan mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual (spiritual intelengency) yang meyakini pentingnya nilai, visi dan makna menjadi preditor kesuksesan.
Arthur F. Carmazzi menegaskan kecerdasan identitas merupakan hasil perpaduan antara memupuk kesadaran yang lebih besar tentang cara atau alasan bereaksi terhadap lingkungan dan kesadaran tentang siapa diri kita sesungguhnya menjadi variabel utama yang mempengaruhi kesuksesan. Paul G. Stoltz mengatakan pembeda utama orang sukses dan orang gagal adalah kecedasannya menghadapi kesulitan. Robert Holden meyakini bahwa kesuksesannya hanya dapat diwujudkan dari kemampuan seseorang mengaktualisasikan potensi dirinya.
Bobbi de Porter dalam bukunya ”Quantum Succes” mengemukakan ”jati diri atau menjadi diri sendiri adalah faktor tunggal yang sangat vital bagi kesuksesan yang tanpanya semua usaha terbaik tidak dapat diwujudkan”. Dan masih banyak faktor kecerdasan lainya diantaranya kecerdasan hubungan (relationship intelegency), kecerdasan kreatif (creative intelenlency), kecerdasan disiplin diri (self diciplin intellengency) dll.
Memperhatikan faktor kecerdasan di atas dalam perspektif kecerdasan manusia dapat disimpulkan bahwa terjadi pergeseran paradigma manusia dari luar ke dalam. Artinya kesuksesan selalu dimulai dengan kesedaran dan rasa hormat pada diri sendiri. Menyadari potensi diri dan menggunakannya dengan cara cerdas merupakan tujuan dan penyelamat kita, itulah makna kesuksesan dan kebahagiaan karena di dalam diri kita sendirilah terdapat kemenangan dan kekalahan tersebut.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Alfred Tennyson yang menyatakan bahwa ”Bukan dalam riuh rendah jalanan yang ramai, dan bukan pula dalam teriak dan sorak-sorai orang banyak, tetapi dalam diri kita sendirilah kemenangan dan kekalahan itu”. Sydney J. Harris juga mengemukakan bahwa sukses itu tidak selalu naik, karena ganjaran tertinggi dari pekerjaanmu bukanlah apa yang kau dapatkan karenanya, melainkan menjadi apa kau dengannya. Sembilan puluh persen kesengsaraan dunia berasal dari orang-orang yang tidak mengenal diri mereka sendiri, kemampuan, kelemahan, moril dan bahkan kebajikan dari mereka sesungguhnya. Kebanyakan dari kita menjalani hampir seluruh hidup kita sebagai orang yang sama sekali asing terhadap dirinya sendiri (Robert Holden, 2007).
Marcus Buckigham menyimpulkan risetnya, ”Kebanyakan dari kita hanya punya sedikit kepekaan terhadap bakat dan kekuatan kita, apalagi kemampuan membangun hidup kita disekelilingnya. Dengan bimbingan para guru, orang tua dan manager, kita malah menjadi ahli dalam kelemahan kita dan menghabiskan hidup kita dengan upaya memperbaiki kekurangan-kekurangan ini, sementara kekuatan kita terlantar dan terabaikan”(Peter F. Ducker dalam bukunya ”The New Realities”).
Albert Einstein juga menyatakan bahwa ”Zaman kita ditandai oleh semakin lengkap/canggihnya sarana kehidupan dan semakin kaburnya tujuan hidup”.
Diambil dari tulisan DR. Aswandi (Dalam bukunya Belajar Menjadi Manusia).