Selasa, 26 Mei 2009

Memilih Perbankan, Lembaga Keuangan, & Ekonomi Syariah, Memilih Jalan Harmoni

*****
Di penghujung tahun 2008 kita menjadi saksi sebuah peristiwa besar yaitu hancurnya perekonomian dan keuangan negara yang selama ini dikenal sebagai super power yaitu Amerika Serikat. Hal ini tampak jelas dengan ambruknya lembaga kuangan raksasa dunia dan perusahaan-perusahaan besar lainnya yang menimbulkan gelombang PHK besar-besaran.
Melihat fakta yang terjadi saat ini, banyak yang mengatakan bahwa krisis finansial Amerika Serikat saat ini, lebih parah daripada krisis yang terjadi di Asia sepuluh tahun lalu. Bahkan hampir seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa krisis ekonomi kali ini merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930.
Joseph Stiglitz pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi mengatakan bahwa kucuran dana sebesar 700 milyar dollar serta rencana nasionalisasi sejumlah bank dan institusi finansial Amerika merupakan tanda-tanda kematian sistem kapitalisme. Ia juga mengatakan bahwa negara-negara yang selama ini meniru kapitalisme gaya Amerika bersiap-siaplah untuk menghadapi kehancuran ekonomi serupa.
Badai finansial Amerika Serikat ditandai oleh krisis di tubuh perusahaan investasi keuangan Amerika Serikat, Lehman brothers. Perusahaan ini akhirnya harus ditutup karena mengalami kerugian hingga 613 milyar USD. Itu adalah nilai kerugian terbesar dalam sejarah, bahkan mengalahkan skandal Enron, dengan kerugian 81 milyar USD, maupun Worldcom, dengan kerugian 216 milyar USD. Setelah runtuhnya Lehman Brothers maka krisis finansial pun melanda seluruh dunia.

Jika diusut penyebab krisis ini sesungguhnya berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi dan profit semata. Sistem ini sangat mengagungkan gaya hidup meterialisme sehingga mengakibatkan pelanggaran nilai-nilai moralitas. Salah satu contohnya adalah mekanisme pemberian bonus atau insentif yang tidak bertanggung jawab. Para bankir berlomba-lomba mengucurkan kredit perumahan pada masyarakat Amerika yang sesungguhnya tidak layak mendapat pinjaman untuk memperoleh insentif yang besar dengan mengabaikan keselamatan perusahaan. Richard Fluid, seorang bankir menerima insentif hingga jutaan USD karena berhasil mengucurkan kredit perumahan. Inilah yang dinamakan sub prime mortgage, yang mengakibatkan kerugian total akibat mencapai USD 7.7 trilyun.

Kenyataan ini menyadarkan bahwa materialisme yang merupakan anak dari sistem kapitalisme telah menggusur nilai-nilai moralitas seperti tanggung jawab, jujur, adil dari kehidupan masyarakat.

Kapitalisme telah gagal sebagai sistem ekonomi yang dianut Amerika Serikat dan hampir di seluruh dunia. Keruntuhan sistem kapitalis sesungguhnya sudah banyak diprediksi para ekonom. Bahkan pencetus teori Relativitas, Einstein, 60 tahun yang lalu sudah mengkritik kapitalisme, “Menurut pendapatku, ekonomi kapitalis sekarang ini adalah sumber dari segala kejahatan. Akibatnya, modal swasta menguasai, sampai-sampai tidak dapat dibendung oleh masyarakat yang mengaku demokratis sekali pun. Lebih-lebih lagi, kaum kapitalis secara pasti mengendalikan secara langsung atau tidak langsung, sumber-sumber informasi (media dan institusi pendidikan).”
Dalam sejarah tercatat upaya-upaya untuk memagari kaptalisme agar tidak melanggar nilai-nilai moralitas diantaranya good corporate governance (GCG). GCG digagas pertama kali oleh Arthur Anderson yang mendorong perusahaan agar terbuka, jujur, bertanggung jawab, transparan, dan konsisten dalam menjalan peraturan perundang-undangan. Perumusan GCG dilatarbelakangi oleh pengalaman Amerika Serikat yang melakukan restrukturisasi pengelolaan perusahaan akibat market crash pada tahun 1929.
Prinsip GCG pun menyebar luas ke berbagai negara di dunia hingga ke Indonesia. Namun, skandal korporasi seperti Enron, Tyco, dan Worldcom yang mengguncang Wall Street meruntuhkan GCG. Malapetaka ini sangat merugikan investor yang menanamkan dananya di bursa saham. GCG yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan dengan berlandaskan peraturan perundang dan nilai-nilai etika, terbukti tidak efektif. Bahkan Arthur Anderson yang menggagas GCG pun hancur karena karena mereka melanggar apa yang telah mereka rumuskan sendiri.
GCG kemudian dianggap tidak cukup kuat untuk memagari kapitalisme dari tindak pelanggaran moral. Karena itu pada tahun 2002 dibuat aturan yang sangat ketat untuk memastikan etika kejujuran, keadilan, tanggung jawab berjalan dengan baik, yaitu Sarbanes-Oxley. Kehadiran system ini dipicu skandal-skandal perusahaan besar yang menyebabkan kerugian bagi investor bilyunan dolar. Runtuhnya harga saham perusahaan-perusahaan mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap pasar saham nasional. Akta ini diberi nama berdasarkan dua sponsornya, Senator Paul Sarbanes (D-MD) and Representatif Michael G. Oxley (R-OH). Melalui Sarbanes Oxley, diharapkan kerugian akibat penipuan dan fraud akan bisa dicegah.
Sub prime mortgage yang mengakibatkan krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat di akhir 2008 ini menjadi bukti bahwa Sarbane Oxley pun tidak mampu mengantisipasi tindak penipuan dan kecurangan (fraud) tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pagar-pagar kejujuran, keadilan, tanggung jawab ternyata tidak bisa dilandaskan pada kapitalisme. Baik GCG maupun Sarbane Oxley tidak cukup efektif membentengi sistem kapitalisme yang cenderung pada pemusatan kekayaan untuk sekelompok orang tertentu. Dunia pun kembali dilanda kebingungan mencari sistem yang bisa memastikan berjalannya nilai-nilai etika dalam dunia korporasi.
Adanya krisis ekonomi merupakan saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali sistem ekonomi yang berbasis kapitalisme. Salah satu corak yang paling menonjol dari kapitalisme adalah jauh dari nilai keadilan. Tragedi dunia saat ini yang sangat memprihatinkan adalah adanya kesenjangan kemiskinan yang sangat ekstrim dan terjadinya berbagai bentuk ketidakadilan sosial ekonomi.
Karena itu kini telah makin disadari perlunya adanya sistem ekonomi “baru” yang berorientasi pada pemerataan kesejahteraan. Suatu keadaan yang tidak mungkin dicapai dengan sistem kapitalisme.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada sebuah fondasi yang dilupakan yang dapat memastikan kejujuran, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dapat diimplementasikan di dunia korporasi. Fondasi tersebut adalah aspek spiritualitas yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai mulia yang akan menciptakan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, pemerasan, dan kezaliman, baik dalam skala individu maupun negara.
Perumusan konsep ekonomi baru untuk mengganti kapitalisme sudah banyak digagas. Menarik untuk dikaji bahwa sebagian besar paradigma baru yang ditawarkan para ekonom Barat sesungguhnya sejalan dengan konsep ekonomi Islam berbasis spiritualitas yang disebut dengan ekonomi syariah.
Krisis ekonomi global saat ini adalah momentum perubahan. Dunia yang berbasis kapitalis telah menghasilkan nilai-nilai materialistis hanya mengakibatkan kehancuran dunia. Saatnya dunia segera berubah pada basis Ketuhanan. Kesadaran spiritualitas akan melahirkan motivasi yang tinggi untuk memajukan kesejahteraan tetap mengedepankan nilai-nilai moralitas.
Hal ini yang terus kami lakukan dengan ESQ LC sejak tahun 2001 melalui penyebaran buku dan training ESQ yang memberikan penyadaran bahwa kehidupan sesungguhnya tak bisa lepas dari aspek spiritualitas. Tujuan kehidupan tertinggi adalah mengabdi pada Sang Pencipta sehingga segala aspek kehidupan dilakukan dengan spirit dan nilai yang sudah ditetapkanNya. Dengan krisis yang sedang dihadapi, kita disadarkan bahwa segala bentuk penentangan pada nilai-nilai spiritualitas akan mendatangkan tragedi dahsyat sebagaimana krisis ekonomi saat ini. Oleh karena itu kini saatnya sistim ekonomi syariah mendapat dukungan dari berbagai fihak karena sistem yang berlandaskan spirit ketuhanan ini menjalankan fungsi rahmatan lil alamin, yaitu menebar manfaat bagi semesta alam.

(Diambil dari makalah Ary Ginanjar Agustian pada Seminar Ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh KADIN)

My Album

AYAT-AYAT CINTA