Selasa, 18 Desember 2007

SERAHKAN SEMUA KEPADA ALLAH

Cahaya yang tersimpan di dalam hati, datang dari cahaya yang langsung dari khazanah-khazanah kegaiban. Cahaya yang memancar dari panca inderamu berasal dari ciptaan Allah. Dan cahaya yang memancar dari hatimu berasal dari sifat-sifat Allah." (Ibnu Atha'illah)

Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Seorang hamba yang yakin akan pertolongan Allah, maka dengan sangat meyakinkan Allah pasti akan menolongnya. Seorang hamba yang yakin doanya akan dikabulkan, maka Allah akan mengabulkan doa-doa tersebut lebih dari yang kita minta.

Dari sini kita layak merenung, mengapa kita banyak kecewa dan tidak puas dalam hidup? Boleh jadi kita lebih yakin akan kemampuan diri serta pertolongan makhluk, daripada pertolongan Allah. Sungguh manusia itu sangat lemah. Ia sama sekali tidak kuasa mengatur dirinya sendiri, tidak tahu apa akan terjadi esok, serta berjuta kelemahan lainnya. Sungguh naif jika kita terlalu mengandalkan diri yang serba terbatas dengan melupakan Allah Yang Maha Segala-galanya. Maka, keyakinan yang bulat kepada-Nya menjadi jaminan kebahagiaan hidup kita.

CERITA LUCU

Ada seorang pelajar yang sedang menunggu bus sambil merokok ditegur oleh seorang polisi.

Polisi: “Kenapa kamu merokok?”

Pelajar: “Saya suka, Pak.”

Polisi : “Dari mana uang kamu untuk membeli rokok?”

Pelajar: “Dari uang jajan Saya.”

Polisi : “Sehari kamu habis berapa? Dan harganya berapa?”

Pelajar: “Paling satu bungkus dan harganya sekitar Rp 8.000,- Pak.”

Polisi : “Kenapa uang Rp 8.000,- kamu bakar setiap hari? Coba kamu kumpulkan uang itu selama setahun, mungkin kamu bisa membeli sepeda motor, tidak perlu menunggu bus yang berdesakan seperti saat ini.”

Pelajar: “Sekarang saya boleh tanya sama bapak?”

Polisi : “Tentu.”

Pelajar: “Apakah bapak merokok?”

Polisi : “Tentu tidak.”

Pelajar: “Kok Saya tidak melihat motor Bapak?”

Polisi: !@3$%^&*?!

Jumat, 07 Desember 2007

AKU BERMIMPI JADI KORUPTOR

DALAM mimpiku sebagai koruptor, aku mantan pejabat sangat tinggi. Dengan beberapa rekan, aku mengambil alih manajemen sebuah bank modal ventura milik pemerintah yang sudah bangkrut. Namanya Bank Banana karena dalam mimpi itu aku hidup di banana republic. Semua pejabat yang berwenang sangat menyeganiku. Apa saja yang kukehendaki dituruti.
AKU mengambil alih manajemen dengan hak pilih membeli sampai 80 persen. Artinya, aku boleh membeli dengan harga nominal kapan saja, tetapi juga boleh tidak membelinya. Maksudnya supaya bisa main gila, mengambil risiko besar. Kalau bank itu hancur, tidak kubeli dan bangkainya tetap milik pemerintah. Sebaliknya, kalau karena risiko yang besar itu Bank Banana akan memperoleh laba besar, aku beli dengan harga nominal. Hebat kan? Bukankah ini dagang biasa?
Dengan nama besarku dan rekan-rekan yang semuanya sangat beken, Bank Banana utang dari seluruh dunia ratusan juta dollar. Uangnya kupinjamkan kepada konco-koncoku sendiri, bahkan kepada perusahaan yang seluruhnya kumiliki. Semua itu menjadi kredit macet. Kepada pemberi utang seluruh dunia kuumumkan bahwa kalau mereka mau menyelesaikan tagihan dalam seminggu, kubayar 10 persen saja. Kalau tidak, kukemplang sama sekali.
Para pemberi utang dari mancanegara itu memang sudah muak terhadap banana republic-ku. Maka, dengan semangat menghina, mereka sepakat. Nah, kepada semua yang utang kepada Bank Banana, kuanjurkan mendekati mereka dan menawar surat piutangnya kepada Bank Banana dengan 15 persen. Tentu mereka mau, daripada jauh-jauh ke Jakarta hanya memperoleh 10 persen. Dibelilah surat tagihan semua pemberi utang kepada Bank Banana dengan harga 15 persen saja.
Namun, surat utang tetap surat utang. Ketika konco-konco dan perusahaanku menagih kepada Bank Banana, sebagai pemimpin bank aku menerimanya sesuai dengan yang tercantum dalam surat utang: 100 persen. Jadi aku ngemplang 90 persen dari utang Bank Banana yang kukelola. Hasil kemplangannya kuberikan secara cuma-cuma kepada konco-konco dan kepadaku sendiri. Dari konco-konco itu tentu aku menerima imbalan yang sangat besar.
Dalam mimpiku sebagai koruptor, yang paling enak dan spektakuler adalah ketika pemerintah menderegulasi dunia perbankan pada Oktober 1988 secara edan-edanan. Setiap orang yang mampu menyetor modal Rp 10 miliar diberi izin mendirikan bank. Ketika itu aku sudah sangat kaya. Uang Rp 10 miliar tidak ada artinya. Maka, kudirikan bank. Yang kukerahkan bukan modal minimal sebesar Rp 10 miliar saja, tetapi lebih besar. Mengapa? Aku harus membangun gedung bank yang semegah mungkin.
Lantas aku harus berpropaganda bahwa bankku sangat bonafide. Lihat gedung yang lokasinya begitu mahal. Gedung itu sendiri mewah. Semua pegawainya berpakaian mahal. Aku perlakukan bank seperti perusahaan dagang kelontong.
Bankir yang beneran tidak mengerti cara-cara promosi barang kelontong. Mereka bingung ketika bankku memberi banyak hadiah dan berani bikin bunga deposito yang sangat tinggi. Tentu bank rugi. Namun, maksudku memang tidak mencari untung dari selisih kurs jual beli valuta asing.
STRATEGIKU memperoleh uang sebanyak-banyaknya dari yang disimpan di bankku. Uang ini terus kupakai seenak gue. Uang yang terkumpul fantastis besarnya. Uang ini kupakai untuk memberikan kredit kepada PT yang 100 persen milikku. PT ini memakai uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank milikku untuk mendirikan pabrik-pabrik.
Setiap kali mendirikan pabrik, harganya kunaikkan cukup banyak. Selisihnya kutransfer ke luar negeri dalam bentuk tunai. Jadi, aku punya pabrik sekaligus simpanan uang tunai dalam jumlah besar di luar negeri.
Memang ada ketentuan dalam undang-undang perbankan yang mengatakan bahwa pemilik bank dan related parties dilarang meminjam uang dari banknya sendiri melampaui 10 persen dari modal disetor. Pelanggaran dipidana. Selain membayar denda juga dipenjarakan. Bank Indonesia mengetahui bahwa aku melanggar ketentuan ini selama bertahun- tahun sampai ribuan persen.
Namun, pejabat BI yang membidangi pengawasan perbankan aku suap. Aku memiliki ratusan perusahaan. Jelas bahwa kreditnya macet semua karena perusahaan-perusahaanku tidak memiliki modal berupa saham. Mana mungkin membayar bunga dan pokoknya tepat waktu? Tetapi tidak mengapa karena bank yang memberi kredit milikku sendiri.
Sayang, bankku lalu kalah kliring. Pejabat BI kusogok. Bukan hanya tidak dihukum, bankku bahkan diberi fasilitas yang dinamakan fasilitas diskonto supaya bisa ikut kliring terus. Kalah kliring lagi untuk kedua kalinya. Kusogok lagi dan bankku diberi fasilitas diskonto lagi yang namanya fasilitas diskonto kedua. Semuanya ini akhirnya memang diaudit oleh BPK dan dituangkan dalam laporan kepada DPR. Istilah yang dipakai oleh BPK adalah Fasdis I dan Fasdis II.
Ketika 16 bank dilikuidasi, semua orang yang menyimpan uangnya di bank2 yang tidak ditutup rame-rame mengambil uangnya untuk dipindahkan ke bank yang aman. Terjadilah serbuan besar-besaran. Pemerintah panik. Untuk menghentikan serbuan itu, BI mengucurkan dana berapa saja.
Bahkan bankku kena serbu bukan hal yang menyedihkan. Aku melihat kesempatan jadi lebih kaya. Seluruh deposito pihak ketiga di bankku berjumlah Rp 1 triliun. Aku telepon BI bahwa aku terkena serbu Rp 1,5 triliun.
Pejabat BI mengatakan, dia segera dapat melihat di komputer bahwa seluruh depositoku hanya Rp 1 triliun. Bagaimana bisa diserbu sampai Rp 1,5 triliun?
Lantas kukatakan kepadanya bahwa nanti kelebihannya kita bagi. Dia mau. Setelah menerima Rp 1,5 triliun, aku mendapat uang tunai sebesar Rp 400 miliar. Yang Rp 100 miliar untuk para pejabat BI seperti yang kujanjikan.
AKU tahu bahwa cepat atau lambat akan ketahuan. Maka segera saja data kurusak. Semua komputer kurusak sehingga tidak ada data sama sekali. Seluruh kelihaianku dan kawan-ka****u inilah yang mengakibatkan 90 persen dari BLBI sebesar Rp 144 triliun itu, menurut audit BPK, tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Buatku itu tidak penting. Yang penting bankku yang sudah jadi bangkai kuserahkan kepada pemerintah. Pemerintah membenahinya dengan uang rakyat pembayar pajak. Aku malahan untung besar karena menggelembungkan dropping uang yang dibutuhkan untuk menghentikan serbuan, mengantongi hasil penggelembungan ini dalam bentuk tunai.
Pejabat BI baru sangat lambat mengetahui ada satu kopi yang diberikan kepada BI. Maka, dengan dokumen-dokumen itu, semua manipulasi dapat direkonstruksi. Kamar yang menyimpan dokumen-dokumen itu dibakar. Sebenarnya atas saranku juga.
Karena uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank milikku kugerogoti sendiri, akhirnya rusaklah. Kecukupan modalnya minus besar. Pemerintah terpaksa mengamankannya supaya tidak ditutup. Kalau bank itu ditutup, pemerintah harus mengeluarkan banyak uang yang tidak ia miliki: untuk membayar pesangon dan mengembalikan uang milik masyarakat. Namun, kalau tidak ditutup, bukunya rusak berat dan juga merugi. Jadi harus disuntik.
Menyuntik dengan uang tunai tidak bisa karena pemerintah tidak punya. Maka, disuntiklah dengan surat utang yang terkenal dengan nama Obligasi Rekap yang jumlahnya puluhan triliun rupiah hanya untuk bankku. Pemerintah tidak terima. Bankku disita.
Aku sih senang-senang saja karena aku terbebas dari hujatan para pemilik uang yang memercayakan uangnya kepada bankku. Namun, aku tentu pura-pura sedih, memprotes, dan sebagainya. Akhirnya disepakati bahwa aku membayar dengan milik seadanya, dan kepadaku diberikan pernyataan pelunasan dan pembebasan yang terkenal dengan istilah release and discharge (R&D).
Gila, utang seratus dibayar dengan perusahaan yang nilainya hanya 15, dan kepadaku diberikan R&D. Tindakan kriminalku melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dibebaskan. Aneh, pelanggaran pidana bisa ditiadakan oleh perjanjian perdata, dan yang diminta dariku hanyalah iktikad baik. Ini sih gampang. Aku mengerutkan dahi sambil pura2 hampir menangis dan menyerahkan semua perusahaan yang memang sudah kugerogoti terlebih dahulu.
Alasannya pun kuberikan: aku utang dollar, terjadi krisis, nilai rupiah anjlok. Mana mungkin aku dapat membayar utang? Yang aneh lagi, para pejabat tinggi menyuarakannya lebih nyaring daripada aku bahwa kerugian itu bukan salahku. Itu kerugian krisis. Hi-hi-hi, aku tertawa geli karena kenyataannya aku gerogoti bertahun-tahun.
Di neraca bank memang tercantum utang dalam dollar yang sangat besar jumlahnya. Namun, itu tidak perlu aku bayar karena uang simpanan dollarku di luar negeri diblok oleh bank asing besar, dan atas dasar jaminan tunai itu, bankku diutangi dalam bentuk dollar.
Maksudku supaya menciptakan biaya bunga kredit dalam dollar dan karena itu dapat dikurangkan dari laba kena pajak sehingga kewajiban pembayaran pajakku berkurang banyak. Utang pura-pura ini menciptakan "kerugian krisis" yang dibayar oleh pemerintah. Bayangkan, betapa bertubi-tubinya keuntunganku.
Ketika IMF memaksa Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan uang ketat luar biasa dengan memberikan bunga deposito sebesar 50 persen hingga 60 persen sampai hampir satu tahun, uang yang kugelapkan di luar negeri kumasukkan ke Indonesia untuk menikmati bunga itu. Biasanya hasil yang tinggi berisiko tinggi. Namun, kali ini tidak sebab semua uang yang disimpan di bank, keutuhannya dijamin oleh pemerintah, apa pun yang terjadi dengan bank itu. Inilah yang dinamakan blanket guarantee.
Para teknokrat itu tak semua teh botol (tehnokrat bodoh dan tolol). Kalau mereka mulai meraba-raba kecurangan, langsung saja kusogok. Bereslah semuanya.
Utangku yang sampai puluhan triliun rupiah kepada bankku sendiri yang disita oleh pemerintah kubayar dengan perusahaan-perusahaanku yang sudah tidak ada nilainya. Selama mengelola perusahaan- perusahaan yang didanai sepenuhnya oleh bank milikku sendiri itu, aku menggerogotinya dalam bentuk tunai yang kutransfer ke luar negeri. Karena itu, nilai sebenarnya jauh lebih kecil dari nilai buku.
PEMERINTAH memang paham. Maka, hal itu disyaratkan harus dinilai kembali oleh akuntan asing yang bonafide. Akuntan asing itu bisa kusuap. Lihat saja apa yang terjadi di Amerika Serikat. Perusahaan akuntan publik terbesar, Arthur Andersen, sampai bubar karena skandal. Apalagi kelakuan mereka di Indonesia. Memang nilainya merosot sehingga menjadi lebih kecil dari yang kusajikan sebelumnya. Namun, jumlah perusahaanku begitu banyak.
Kalau mula-mula aku ingin menipu membayar seluruh utang dengan 30 perusahaan, akhirnya pemerintah sepakat aku membayar dengan 50 perusahaan yang, setelah dinilai oleh akuntan asing yang mereka tunjuk, pas untuk membayar seluruh utangku.
Aku dinyatakan kooperatif. Ditandatanganilah persetujuan MSAA antara pemerintah denganku. Di sana dinyatakan bahwa aku telah membayar lunas dan untuk pelanggaranku terhadap BMPK yang sifatnya pidana, diberikan pernyataan pelunasan dan pembebasan.
Eh, saya diminta mengelola semua perusahaanku yang sudah menjadi milik pemerintah sebagai pembayaran utangku. Aku bahkan diberi imbalan untuk itu. Tidak ada yang mengendalikan. Maka, penguasaanku atas semua perusahaan tidak berubah sehingga aku bebas berpat-gulipat mengeluarkan uang tunai dari perusahaanku.
Untuk itu aku memperoleh imbalan lagi! Dalam pengelolaanku itulah nilainya merosot tajam. Satu per satu dijual dan ternyata hasil keseluruhan hanya 20 persen dari utangku. Yang hebat, para teknokrat pejabat itu yang berteriak bahwa aku tidak bersalah. Kerugian ini sangat wajar karena force majeure, saya terkena krisis, kata mereka. Biayanya harus ditanggung oleh APBN yang diambilkan dari rakyat pembayar pajak.
Bayangkan, betapa banyaknya uang tunai yang aku peroleh. Sebagian kecil aku pakai untuk membeli kembali perusahaan-perusahaanku yang dilelang oleh BPPN, tetapi dengan harga antara 15 persen dan 20 persen saja dari nilai bukunya.
Alangkah nikmatnya. Tentu semua harus dengan uang pelicin. Mimpiku masih panjang. Namun, panjang kolom di surat kabar ini tidak mengizinkan. Nanti aku sambung lagi.

Diambil dari tulisan Kwik Kian Gie

My Album

AYAT-AYAT CINTA