Senin, 29 Oktober 2007

Sekuler-Liberal

Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal ?
Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Barat – yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia -- dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami oleh salah satu peradaban besar di dunia ini. Setidaknya, ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang, mengapa Barat memilih jalan hidup sekular dan liberal dan kemudian mengglobalkan pandangan hidup dan nilai-nilainya ke seluruh dunia, termasuk di dunia Islam. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Dan ketiga, problema teologis Kristen.
Pertama, problem trauma sejarah. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages), atau zaman pertengahan, the medieval ages. Zaman itu ditandai dengan dominasi yang sangat kuat dari Gereja, yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi. Ketika Gereja berkuasa itulah, mereka mendominasi dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Salah satu catatan hitam dalam sejarah zaman ini adalah pembentukan sebuah institusi Gereja yang disebut dengan INQUISISI. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut:
Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century. Its methods were also used by Protestants to persecute and control the Catholics in their countries. 1
Ada sebagian tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic). Tentang upaya apologetik dalam soal Inquisisi itu, Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu hanya menambah kemunafikan menjadi kejahatan. (it merely added hypocricy to wickedness). Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah wakil Kristus (Vicar of Christ). Peter de Rosa mencatat: “How ever, the Inquisition was not only evil compared with the twentieth century, it was evil compared with the tenth and elevent when torture was outlawed and men and women were guaranteed a fair trial. It was evil compared with the age of Diocletian, for no one was then tortured and killed in the name of Jesus crucified.” (Betapa pun, inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-20, tetapi ini juga jahat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat dimana penyiksaan tidak disahkan dan laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair. Ini juga jahat dibandingkan dengan zaman Diocletian, dimana tidak seorang pun disiksa dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib). 2
Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Perancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut. 3
Henry Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inquisisi, sebagaimana misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan: “The inquisition is an institution for which the Church has no responsibility.” (Inquisisi adalah satu institusi dimana Gereja tidak memiliki tanggung jawab untuk itu). Ini adalah salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen. Lea menunjuk bukti sebagai contoh bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban inquisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah bertentangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia. Karen Armstrong juga menyatakan, bahwa persekusi kaum heretics, Muslim, Yahudi, dan lain-lain, jelas-jelas berlandaskan agama. “This new persecution was no longer, strictly speaking, based on religion.” 4
Ketika melakukan berbagai bentuk kekejaman itu, Gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan. Karena itu, kesalahan yang dilakukan Gereja adalah kesalahan pada agama itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam, yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (Theokrasi), sebagaimana yang terjadi pada sejarah Kristen. Para pemimpin Gereja diakui haknya untuk mengampuni dosa manusia.
Karena itu, tidaklah tepat jika konsep politik dalam Islam, yang diterapkan selama ratusan tahun, yakni konsep khilafah, disebut dengan istilah dalam tradisi Kristen, yaitu “theokrasi”. Abul A’la Maududi malah menyebut Theokrasi sebagai pemerintahan setan. Padahal, ketika memegang hegemoni kekuasaan yang begitu besar, justru ketika itulah, terjadi berbagai penyalahgunaan kekuasaan, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan dari dalam tubuh Gereja sendiri. Mereka menyebutnya dengan istilah “reformasi”.
Salah satu yang mendorong Martin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus adalah praktik jual beli surat pengampunan dosa. Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan geraja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. 5
Bahkan, kata Luther, kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki secara bersamaan. Kekuatan jahat dalam kehidupan haruslah memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki…Bangsa Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk … The Turk are the people of the Wrath of God). 6
Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua bagian besar, Katolik dan Protestan. Beratus-ratus tahun kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Kisah perebutan tahta di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana Raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terdahulu, Catharine of Aragon. Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris menggantikan Queen Mary yang Katolik.
Di Perancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan – terutama Calvinists -- di Paris, oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk. 7
Perancis juga dikenal dengan Revolusi-nya (1789) yang dahsyat yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”. Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis. 8
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inkuisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu: “Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind.” 9
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan. Bukti-bukti penyimpangan kekuasaan politik oleh para penguasa agama di Eropa dengan mudah ditemukan. Pada tahap selanjutnya, mereka terus mencari dalil-dalil dan alasan teologis untuk memperkuat argumentasi sekularisasi, khususnya ditemukan pada ayat-ayat tertentu pada Bible. Ini adalah trauma Barat pada sejarah keagamaan mereka, yang sangat berbeda dengan pengalaman sejarah Islam, atau peradaban lainnya. Menghadapi serangan yang sangat kuat tersebut pihak Kristen akhirnya menyerah dan menerima proses sekularisasi sebagai bagian dari kenyataan. Bahkan, banyak yang berargumen bahwa sekularisasi adalah bagian dari ajaran Kristen itu sendiri. 10
Kedua, problema teks Bible. Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara al-Quran dengan Bible, sebab teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.” 11
Hebrew Bible (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih merupakan misteri. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. 12
Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Satu bukunya berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “A Textual Commentaary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya.
Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa asal The New Testament. Melalui bukunya ini, Metzger menunjukkan, rumitnya problema kanonifikasi Teks Bible dalam bahasa Greek. Banyaknya ragam teks dan manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bible untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. 13
Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”: “Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin.” 14
Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Greek. Teks in digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. 15 Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). 16
Jadi, menurut Prof. Metzger, adalah mungkin menghadirkan edisi lain dari The New Testatement. Jelas, fakta semacam itu tidak terpikir kaum Muslimin, hingga kini. Apalagi kaum Muslim juga tidak mengalami problema bahasa al-Quran. Mereka masih membaca al-Quran dalam bahasa Arab dan beribadah dalam bahasa Arab, sesuatu yang tidak dapat dinikmati oleh kaum Kristiani pada umumnya. Bagaimana pun telitinya, satu terjemahan pasti tidak akan mampu mengekspresikan bahasa asalnya dengan tepat. Apalagi, jika terjemahan itu sudah dilakukan ke berbagai bahasa. Ambillah satu contoh ayat dalam Bible. Misal, Kitab 1 Raja-raja 11:1 dalam sejumlah versi Bible ditulis sebagai berikut: Versi Lembaga Alkitab Indonesia (2000) ditulis: “Ada pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het.” Dalam The Living Bible ditulis: “King Salomon married any other girls besides the Egyptian princess. Many of them came from nations where idols were worshipped – Moab, Ammon, Edom, Sidon and from the Hittites.” Sedangkan Bible King James Version menulis: But King Solomon loved many strange women, together with the daughter of Paharaoh, women of Moabites, Ammonites, Edomites, Zidonians, and Hittites.” Ada pun The Bible Revised Standard Version menulis: “Now King Solomon loved many foreign women; the daughter of Pharaoh, and Moabites, Ammonite, E’domite, Sido’niah, and Hittite women.” Ada pun dalam edisi Latin ‘Vulgate’, ditulis: “rex autem Salomon amavit mulieres alienigenas multas filiam quoque Pharaonis et Moabitidas et Ammanitidas Idumeas et Sidonias et Chettheas.”
Perhatikan, bagaimana sejumlah versi Bible menggunakan kata “mencintai” (loved/amavit), sedangkan The Living Bible menggunakan kata “married”. Faktanya, Salomon memang mengawini wanita-wanita asing itu. Kejahatan Salomon versi Bible digambarkan dalam Kitab 1 Raja-Raja 11:1-9, digambarkan perilaku Salomo yang tidak patut dilakukan oleh seorang nabi utusan Allah – dalam konsepsi Islam. Bagian dalam Bible ini diberi judul “Salomo Jatuh ke dalam penyembahan berhala”.
“(1) Ada pun Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing. Disamping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon, dan Het. (2) Padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah berfirman kepada orang Israel: “Janganlah kamu bergaul dengan mereka dan mereka pun janganlah bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka. Hati Salomo telah terpaut kepada mereka dengan cinta. (3) Ia mempunyai tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik; istri-istrinya itu menarik hatinya dari pada Tuhan. (4) Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. (5) Demikianlah, Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon, (6) dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan, seperti Daud, ayahnya. (7) Pada waktu itu Salomo mendirikan bukit pengorbanan bagi Kamos, dewa kejijikan sembahan orang Moab, di gunung di sebelah Timur Yerusalem dan bagi Molokh, dewa kejijikan sembahan bani Amon. (8) Demikian juga dilakukannya bagi semua istrinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka. (9) Sebab itu Tuhan menunjukkan murkanya kepada Salomo, sebab hatinya telah menyimpang dari pada Tuhan, Allah Israel, yang telah dua kali menampakkan diri kepadanya.”
Fakta semacam ini tentu tidak mudah dipahami, sebab dalam konsepsi Bible, penyembah berhala harus dijatuhi hukuman mati. Dalam Alkitab terbitan LAI, Kitab Ulangan 17:2-7 diletakkan di bawah judul “Hukuman Mati untuk penyembah Berhala”:
(2) Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, (3) dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari, atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; (4) dan apabila hal itu diberitahukan atas terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan diantara orang Israel, (5) maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu keluar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kau lempari dengan batu sampai mati. (6) Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati. (7) Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.”
Ketiga, Problema Teologis Kristen.
Di zaman pertengahan, semua rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation). Marvin Perry mencatat sikap para ilmuwan dan pemikir abad pertengahan: abad pertengahan:
“They did not reject Christian beliefs that were beyond the grasp of human reason and therefore could not be deduced by rational argument. Instead, they held thst such truths rested entirely on revelation and were to be accepted on faith. To medieval thinkers, reason did not have an independent existence but ultimately had to acknowledge a supra-rational, superhuman standard of truth. They wanted rational thought to be directed by Christian ends and guided by scriptural and ecclesiastical authority.” 17
Problema yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri. Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengatahuan. Problema teks Bible telah disinggung pada bagian sebelumnya. Problema kontradiksi antara Bible dengan sains, dapat dilihat dalam kasus Galileo Galilei dan beberapa ilmuwan lainnya.
Hingga di abad pertengahan, para tokoh Kristen – termasuk para reformis seperti Luther, Calvin, dan Zwingli – masih mempertahankan metode interpretasi literal. Model interpretasi semacam itu sejak berabad-abad telah menimbulkan benturan dengan model interpretasi alegoris. Kasus menarik antara model literal dan alegoris terjadi dalam soal penafsiran terhadap teori kosmologi. R. Hoykaas dalam bukunya, G.J. Rheticus Treatise on Holy Scripture and the Motion of The Earth, menjelaskan, bahwa bagi kelompok literal Kristen, penganut metode literalisme, ayat-ayat Bible tentang alam semesta haruslah diartikan secara literal, dan lebih dari itu, dasar-dasar kosmologi harus diambil dari Bible. Sebagai implikasinya, misalnya, ketika ada konsep “waters above the expanse” (air adalah di atas tanah atau udara), yang bertentangan dengan prinsip dasar Aristotelian -- bahwa alam telah menempatkan air di bawah udara, api, dan benda-benda langit – maka teks Bible harus dimenangkan atas konsep filsafat “kafir” Aristotle. Tokoh-tokoh gereja Syria yang ingin agar kosmologi bebas dari pengaruh paganisme, menempatkan konsep kosmologi Bible berhadapan dengan konsep kosmologi Yunani. Abad ke-6 M, penulis Kosmas Indikopleustes menyusun konsep ekstrim bahwa bumi itu datar, sebab Bible (New King James Version) menyatakan: “That it might be take hold of the ends of the earth, and the wicked be shaken out of it.” (Job, 38:13). Juga, “After these things I saw four angels standing at the four corner of the earth, that the wind should not blow on the earth, on the sea, or on any tree.” (Revelation, 7:1). Dalam versi LAI, ayat Ayub 38:3 diterjemahkan: “untuk memegang ujung-ujung bumi, sehingga orang-orang fasik dikebaskan daripadanya.” Sedangkan ayat Wahyu-wahyu 7:1 diterjemahkan: “Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru bumi dan mereka menahan keeempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon.”
Berdasarkan metode tafsir literalisme, maka fakta sains, bahwa bumi bulat, harus dikalahkan oleh teks Bible. Jadi, menurut mereka, bumi memang segi empat, memiliki tepi, sehingga “orang jahat” bisa dibuang dari bumi. 18
Sejarah Kristen menunjukkan, otoritas Gereja pernah menghukum ilmuwan seperti Galileo Galilei (1564-1642), karena mengekspose teori “heliocentric”, bahwa matahari adalah pusat tata surya. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan Gereja – yang mempunyai doktrin infallibility (tidak pernah salah) karena merupakan wakil Kristus di muka bumi. Sampai abad ke-17, Gereja masih tetap berusaha mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi Gereja, dianggap sebagai “heresy” (kafir) dan dihadapkan ke Mahkamah Inquisisi. Kasus yang terkenal terjadi pada Galileo Galilei. Pada 19 Januari 1616, Galileo membuat dua statemen: (1) matahari adalah pusat galaksi dan (2) bumi bukanlah pusat tata surya.
Pada 24 Februari 1616, sekelompok pakar teologi yang dibentuk oleh Tahta Suci Vatikan (Holy Office) menyatakan, bahwa teori Galileo itu bertentangan dengan Bible. Maka, Paus Paul V, meminta Cardinal Bellarmine untuk memperingatkan Galileo. Tetapi, pada 1632, Galileo kembali mengajarkan teorinya itu. Maka, pada 16 Juni 1633, Galileo diinterogasi karena dipandang melakukan kesalahan dalam Teologi, dengan menyebarkan teori “heliocentric”. Ia diundang ke Roma dan dipaksa oleh Mahkamah Inquisisi untuk mencabut teorinya dan mengikuti doktrin Gereja bahwa bumi adalah pusat tata surya. Di depan Inquisitor, Galileo akhirnya ‘bertobat; dan berjanji tidak akan menyebarkan lagi teori heliosentrisnya itu. Di depan Mahkamah Gereja itu, Galileo menyatakan akan menghapus semua opini yang salah, bahwa matahari adalah pusat dari jagad raya dan tidak bergerak, dan bahwa bumi bukanlah pusat jagad raya dan bergerak. Ia berjanji tidak akan mempertahankan atau mengajarkan doktrin yang salah tersebut, dalam bentuk apa pun, secara verbal atau melalui tulisan. 19
Sebelumnya, Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang Astronom dan ahli matematika sudah mengemukakan teori heliocentric itu. Sadar bahwa teorinya akan menimbulkan kontroversi, Copernicus menolak untuk mempublikasikan teorinya. Tapi, atas desakan teman-temannya, pada tahun 1543 ia menerbitkan bukunya yang berjudul On the Revolutions of the Heavenly Spheres. Teori Copernicus menakutkan penguasa Gereja, karena dianggap bertentangan dengan Bible. Sebagai contoh, disebutkan dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat 1: “Yea, The world is established, it shall never be moved.” Tahun 1616, Gereja menempatkan buku On The Revolution dan buku-buku lain yang menjelaskan tentang perputaran bumi, ke dalam daftar buku-buku yang terlarang. 20
Jika para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya, tentu muncul benturan pemikiran. Padahal, konsepsi teologis Kristen – terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus -- telah menjadi ajang perdebatan ramai di kalangan Kristen. Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak diantaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya, adalah satu kelompok yang bernama Cathary yang hidup di Selatan Perancis. Kelompok Cathary adalah penganut Catharism, satu kelompok heresy radikal di Zaman Pertengahan. Cathary percaya bahwa karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin menjelma dalam tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran Cathary, Jesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk memperhambakan manusia, tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan “sihirnya” dengan mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan dengan persuasif, Paus Innocent III menyeukan kepada raja-raja untuk memusnahkan mereka dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai. 21
Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun di masa Jesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 dalam Konsili Nicea. Adalah Kaisar Konstantine yang memelopori Konsili tersebut. Ia memelopori Konsili Nicea, 325 M, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy. Kepercayaan yang berbeda dengan yang resmi dipandang sebagai heresy. Dalam Konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Jesus diputuskan melalui voting. Buku The Messianic Legacy, yang mengkritik doktrin-doktrin Kristen, mencatat, bahwa Kristen memang berhutang pada Constantine, tetapi tidak dapat dikatakan Constantine adalah seorang Kristen atau meng-Kristenkan Romawi. Cerita tentang ‘konversi’ Constantine diperdebatkan. Ia tetaplah penganut paganisme. Tuhannya adalah Sol Invictus, dewa matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi agama resmi Romawi ketika itu. Buku ini menyebut pengaruh paganisme Constantine terhadap Kristen. Tahun 321 M, keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai hari istirahat. Padahal, sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu. Sampai abad ke-4, hari kelahiran Jesus diperingati pada 6 Januari. Tapi, pada tradisi persembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember. 22
The Interpreter’s Dictionary of the Bible menjelaskan, bahwa istilah ‘trinitas’ (Latin: trinitas, Inggris: trinity) merujuk pada pengertian: “the coexistence of Father, Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead”. Istilah ini bukan merupakan istilah Biblical. Tapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru. Dalam Matius 3:17 disebutkan: "Maka suatu suara dari langit mengatakan, "Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya Aku berkenan." Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah Anak Allah." Konsep Trinitas memang tidak mungkin dipahami dengan akal. Tokoh pemikir Kisten abad ke-13, Thomas Aquinas mengungkapkan dengan kata-kata: “Responsio. dicendum quod deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari” (That God is three and one is only known by belief, and it is in no way possible for this to be demonstratively proven by reason). 23
Dalam konsep teologis Kristen yang dirumuskan pada Konsisi Nicea, juga ditentang ajaran sesat (bidaah) yang muncul pada awal abad IV yang dibawa oleh Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Ia mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Allah sejati. Ia menyangkal keilahian Yesus. Dalam Konsili itulah dirumuskan Syahadat Katolik, yang juga dikenal sebagai Syahadat dari Kaesarea. Berikut sebagian bunyi syahadat Katolik tersebut: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ 24
Tentang konsep ketuhanan Jesus, buku The Messianic Legacy mencatat: “At Nicea Jesus’s divinity, and the precise nature of his divinity, were established by means of a vote. It is fair to state that Christianity as We know It today derives ultimately not from Jesus’s time, but from the Council of Nicea.” 25
Hingga kini, perdebatan seputar konsep teologi yang berpangkal pada konsep “ketuhanan” Jesus masih terus berlangusng hebat. Maraknya kontroversi terhadap film Mel Gibson berjudul "The Passion of the Christ" pada awal 2004 menunjukkan, bagaimana konsep seputar masalah teologi Kristen in masih menjadi kontroversi hebat. Dalam teologi Kristen, peristiwa “penyaliban” (crucifixion) menjadi faktor mendasar, namun perdebatan seputar “siapa yang membunuh Jesus” masih berlangsung hebat. Film Gibson mendasarkan pada teks Bible, Yahudi-lah yang harus bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Jesus. Vatikan sendiri membela film Gibson dan menyatakan, film itu sudah sesuai dengan Perjanjian Baru. "The Passion" mengisahkan sebagian kehidupan Yesus. Tetapi film itu dinilai menggambarkan bangsa Yahudi bertanggung jawab besar terhadap kematian Yesus. Paus menyatakan film itu sebagai “It is at It was”, karena ceritanya memang banyak merujuk pada The New Testament. Namun, News Week edisi 16 Februari 2004 menulis, bahwa justru Bible itu sendiri yang boleh jadi merupakan sumber cerita yang problematis. (But the Bible can be a problematic source). Jika Paus menyatakan film itu sesuai dengan apa adanya, sebagaimana paparan dalam Bible, justru dalam film itu ditemukan berbagai penyimpangan dari cerita versi Bible.
Dalam Perjanjian Baru, memang dikatakan bahwa Yahudi bertanggung jawab terhadap pembunuhan Jesus. “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma, 11:28). Di antara New Testament, Matius dan Yohanes dikenal paling ‘hostile’ terhadap Judaisme. Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung jawab terhadap penyaliban Jesus. “Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami.” (Matius, 27:25). Yahudi juga diidentikkan dengan kekuatan jahat. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44). Sikap-sikap anti-Yahudi yang dikembangkan tokoh-tokoh Gereja kemudian, adalah variasi atau perluasan dari tuduhan-tuduhan yang tercantum dalam Injil.
Namun, kontroversi seputar penyaliban Jesus itu memang terus berlangsung. John Dominic Crossan, professor dalam Biblical Studies di DePaul University Chicago, menulis sebuah buku berjudul Who Killed Jesus? yang isinya membuktikan bahwa pemahaman tradisional terhadap terbunuhnya Jesus, yang digambarkan sebagai perbuatan kaum Yahudi, sebagaimana dipaparkan dalam Perjanjian Baru, bukan hanya salah, tetapi juga berbahaya. Ia juga mempertanyakan berbagai persoalan teologis yang mendasar, seperti “benarkah Jesus mati untuk menebus dosa-dosa manusia?” juga “apakah keimanan kita sia-sia jika tidak ada kebangkitan tubuh Jesus?”
“Penyaliban” dan “Kebangkitan” adalah doktrin pokok dalam teologi Kristen. Namun, justru di sinilah terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. John Dominic Crossan, menulis, bahwa cerita tentang kubur Jesus yang kosong adalah “satu cerita tentang Kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri”. (Empty tomb stories and physical appearance stories are perfectly valid parables expressing that faith, akin in their own way to the Good Samaritan story. They are, for me, parables of resurrection not the resurrection itself). Cerita tentang Jesus, seperti tertera dalam Bible, menurut Crossan, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Jesus. Itulah yang dibuktikan oleh Crossan melalui bukunya tersebut. 26
Perdebatan seputar Jesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Jesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). 27
Kontroversi dalam soal teologi semacam itu tidak dijumpai dalam Islam. Konsepsi tentang Tauhid sudah sangat jelas. Begitu juga tentang kenabian Muhammad saw. Sejak awal mula kelahirannya, konsep teologi Islam sudah jelas, lugas, dan mudah dipahami. Bahkan, sejak awal, al-Quran telah menunjukkan berbagai kekeliruan konsepsi teologis kaum Kristen tersebut.
Pengalaman Barat terhadap Kristen selama beratus tahun telah membentuk sikap mereka terhadap Kristen. Mereka kemudian menempatkan Kristen sebagai agama personal dan membatasi wilayah kekuasaan mereka. Tak hanya itu, mereka juga melakukan proses liberalisasi dan dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Dalam bidang sosial-politik mereka lahirkan konsep sekularisme yang menemukan aplikasi penting pasca Revolusi Perancis, 1789. Dalam bidang Teologi, mereka mengembangkan konsep Teologi Inklusif dan Pluralis yang menolak klaim Kristen sebagai satu-satunya agama yang benar (extra ecclesiam nulla salus). Dalam bidang organisasi keagamaan, mereka menghantam konsep ‘formal religion’ dan mengembangkan konsep agama sebagai aktivitas. Dalam bidang kajian Kitab Suci, mereka mengembangkan ‘hermeneutika’ yang mendekonstruksi konsep Bible sebagai ‘The Words of God’ dan mengembangkan metode historical criticism terhadap Bible.
Melalui dominasi dan hegemoninya, Barat telah berhasil mengglobalkan konsep-konsep keilmuan dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang Islamic Studies. Proses liberalisasi dan sekularisasi di berbagai bidang yang terjadi di dunia Islam tidak lain adalah bagian dari globalisasi yang berangkat dari pengalaman dan realitas Barat dengan berbagai unsur yang membentuknya, seperti tradisi Jedeo-Christian, tradisi Yunani, dan unsur-unsur suku-suku bangsa Eropa. Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis hingga kini, Islam memiliki banyak perbedaan fundamental dengan peradaban Barat, sehingga akan selalu terjadi konfrontasi pada level pemikiran. Dalam ungkapan Prof. Naquib al-Attas:
“The confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to its very way of life; a challenge not only to Western Christianity, but also to Aristotelianism and the epistemological and philosophical principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key elements in dimensions of the Western worldview.” 28
Tentu, tidak dinafikan, ada sejumlah persamaan antara Islam dengan Barat. Banyak pula hal-hal positif yang perlu diambil oleh kaum Muslim dari Barat, juga dari peradaban-peradaban lainnya. Tapi, semua itu perlu dikaji secara seksama dan mendalam, sehingga tidak menimbulkan sikap latah dan gegabah, menolak atau menjiplak Barat dengan membabi buta. Untuk memperjelas masalah besar ini, bisa disimak beberapa tulisan: (1) Hermeneutika dan Problema Teks Bible (Majalah ISLAMIA edisi perdana, 2004), (2) Makalah berjudul “Mendiskusikan Kembali Makna Islam” yang disampaikan dalam diskusi di Universitas Muhammadiyah Surakarta 1 Maret 2004, (3) Studi Komparatif Konsep al-Quran Nasr Hamid Abu Zaid dan Mu’tazilah (Majalah ISLAMIA edisi kedua, 2004). Juga buku: Islam Liberal (Adian Husaini -- Gema Insani Press), Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (Adnin Armas -- Gema Insani Press), Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Adian Husaini -- Gema Insani Press), Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam (Hamid Fahmy Zarkasyi, Adnin Armas, Adian Husaini -- Khairul Bayan). Wallahu a’lam.

1 Lihat, Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991), hal. 456. Perlu dicatat, bahwa kekejaman Inquisisi dilakukan oleh Gereja, yang memegang otoritas atau wakil Tuhan. Kondisi in sangat berbeda dengan Islam yang tidak mengenal institusi kekuasaan agama (rahbaniyyah). Paus adalah Wakil Kristus (Vicar of Christ) yang diklaim mempunyai sifat infallible (tidak dapat salah). Dan ketika Paus melegalisasikan berbagai kekejaman dan penindasan, maka hal itu dilakukan sebagai wakil Tuhan. Inilah yang tidak terjadi pada tradisi Islam. Jika ada penguasa Islam yang melakukan kesalahan atau kezaliman, maka itu dilakukannya sebagai individu dan tidak atas legalitas keagamaan, meskipun ia mungkin menggunakan alasan keagamaan tertentu. Misal, ada sejumlah laporan yang menyebutkan adanya penguasa Muslim yang memaksa orang-orang Yahudi masuk Islam. Tindakan seperti ini, jika benar, jelas tidak dapat dibenarkan menurut ajaran Islam. Karen Armstrong mengakui, bahwa tidak ada tradisi persekusi dalam sejarah Islam. “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire,” tulis Armstrong. (Karen Armstrong, Holy War … hal. 44).
2 Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 246-247.
3 Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, hal. 239. Robert Held, dalam bukunya, “Inquisition”, memuat foto-foto dan lukisan-lukisan yang sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat siksaan yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.
4 Henry Charles Lea, A History of the Inquisition of Spain, Vol. 1, hal. 35, Vol. 3, hal.183-185; Karen Armstrong, Holy War…, hal. 460).
5 Lihat, Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont: Wasworth, 2000), hal. 314-315.
6 Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993), hal. 73-75.
7 Philip J. Adler, World Civilization, hal. 322.
8 Marvin Perry, Western Civilization, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997), hal.312.
9 Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975), hal. 107-108.
10 Harian The Jakarta Post, edisi 26 Januari 2004, memuat profil Partai Damai Sejahtera (PDS), satu-satunya partai Kristen di Indonesia yang lolos seleksi sebagai kontestan Pemilu 2004. Beberapa program partai ini diantaranya adalah: kebebasan beragama dan proteksi terhadap kebebasan tersebut (Freedom of religion and protection for that freedom) dan menjamin pemisahan antara negara dengan agama (to ensure separation of state and religion). PDS adalah partai misionaris yang dipimpin seorang pendeta bernama Ruyandi Hutasoit. Program sekularisasi pihak Kristen ini sebenarnya bertentangan dengan hasil pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, yang menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar dari Geraja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Geraja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional. (Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50.
11 Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford:Oneworld Publications, 1997), hal. 53.
12 Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), hal. 15-17.
13 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (Stutgard: United Bible Societies, 1975), hal. xiii-xxi. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972), hal. 40.
14 Bruce M. Metzger, The Early Versions of the New Testaments, (Oxford: Clarendon Press, 1977), hal. 362-365.
15 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, hal. xxii-xxiv.
16 Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance, (Oxford:Clarendon Press, 1987), hal. 273.
17 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 185-186.
18 Lihat, R. Hoykaas, G.J. Rheticus Treatise on Holy Scripture and the Motion of The Earth, (North Hollad Publishing Company, 1984)
19 Lihat, Robert Lomas, The Invisible College, (London: Headline Book Publishing, 2002, hal. 18-20, Juga, Father William G. Most, Catholic Apologetics Today, (Rockford: Tan Books and Publisher Inc., 1986), hal. 168-169. Buku karya Father William tersebut memang memberikan apologi terhadap kasus Galileo ini.
20 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 279. Nasib buruk menimpa Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Copernicus. Ia dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup oleh Mahkamah Inquisisi.
21 Marvin Perry, Western Civilization, hal. 175; The Encyclopedia Britannica, hal. 361.
22 Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, (New York: Dell Publishing, 1986), hal. 36-42.
23 Douglas C. Hall, The Trinity, (Leiden: EJ Brill, 1992), hal. 67-68.
24 The Interpreter’s Dictionary of the Bible, (Nashville: Abingdon Press, 1989; Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 9-10.
25 The Messianic Legacy, hal. 40.
26 Lihat, John Dominic Crossan, Who Killed Jesus (New York: HarperCollins Publishers, 1995), hal. 216-217.
27 Lihat, Howard Clark Kee, Jesus in History, (New York: Harcourt, Brace&World Inc, 1970), hal. 29.
28 Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC,1993), hal. 105.



Diambil dari tulisan Adian Husaini, MA (Dosen Pascasarjana UI)

Selasa, 16 Oktober 2007

Sejarah Pelajar Islam Indonesia (PII) Sumatera Barat (Tulisan 2)

GERAKAN PELAJAR ISLAM INDONESIA SUMATERA BARAT DI BAWAH BELENGGU ASAS TUNGGAL

A. Asas Tunggal Dalam Pandangan Pelajar Islam Indonesia Sumatera Barat
Ciri pokok pemerintahan orde baru adalah pengembangan politik Pancasila dan perencanaan perubahan masyarakat secara bertahap yang tertuang dalam konsepsi pembangunan nasional. Ciri ini dilihat dari penempatan faktor stabilitas nasional, stabilitas politik; penyederhanaan partai, tanggung jawab dan disiplin nasional, serta keamanan nasional sebagai faktor terpenting dan esensial bagi pembangunan nasional yang disusun, dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan ideologi Pancasila.[1] Sebagai pelaksanaan konsep dasar tersebut disusunlah kebijakan politik yang secara umum meliputi berbagai aspek kehidupan, soisal, politik dan budaya.
Tujuan kebijakan itu adalah dicapainya suatu tata kehidupan politik, pengorganisasian kekuatan sosial politik, cara berfikir dan mental politik yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan.[2] Dan dari tujuan ini diharapkan seluruh rakyat dapat berpartisifasi dalam program pembangunan.
Usaha untuk mencapai dan melaksanakan konsep dasar pembanguan masyarakat pada umumnya dilakukan dengan menghilangkan perbedaan ideologis dari berbagai kelompok masyarakat dan mengarahkan tindakan politik rakyat kepada prinsip loyalitas seluruh kekuatan politik pada ideologi Pancasila.[3]
Dalam penerapannya, ideologi Pancasila dijadikan sebagai ideologi tunggal. Hal itu dilakukan dengan menetapkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum (TAP MPRS 1966), pemasyarakatannya diterapkan melalui Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasil (P4) yang dikukuhkan dengan TAP MPR No. 2/1978. usaha pemerintah kemudian didukukung oleh MPR melalui hasil Sidang Umumnya tahun 1983 dengan mengeluarkan TAP MPR No. 2/1983 tentang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh kekuatan sosial politik.[4]
Lahirnya ketetapan MPR ini bagi organisasi sosial politik jelas memiliki dampak terhadap pergerakan mereka. Disamping itu juga memperkecil ruang gerak timbulnya ideologi politik yang dapat menumbuhkan faham fanatisme dan primordialisme. Kebijakan ini dipandang perlu oleh Golkar yang menguasai separoh lebih anggota DPR/MPR, karena mengingat Golkar sendiri tidak memiliki faktor primordialisme yang sama bobotnya dengan agama guna mempertautkannya dengan massa sebagai alat penginkat solidaritas dan pengintegrasian massa.
Golkar menyadari bahwa jika agama (Islam) dibiarkan dengan leluasa menjadi simbol organisasi sosial politik akan menjadi pronata yang mampu menggabungkan segenap potensi yang ada. Apalagi jika mengingat filsafat politik Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarian. Ummat Islam akan berupaya mengaktualisasikan nilai-nilai egalitarian itu dalam kehidupan bernagsa dan bernegara. Semangat ini tentu saja bertentangan dengan monopolitisasi yang hendak dilancarkan Golkar.[5]
Sementara itu pemerintah terus bersikap refresif untuk menggolkan proses pelembagaan asas tunggal. Diskusi dan perdebatan di sekitar penentuan sikap terhadap asas tunggal menjadi basa-basi belaka, sedangkan keputusan terakhir tetap mengikuti apa yang telah digariskan dalam skenario sebelumnya. Pemerintah “dengan kekuatan yang dimilikinya, tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakan kehendaknya, inilah yang terjadi dalam pelembagaan asa tunggal”.[6]
Setelah mendapatkan legitimasi terhadap usaha yang direncanakan, pemerintah kemudian mencoba menyusun format undang-undang yang mengatur secara terperinci dalam pelasanaannya. Usaha itu dituangkan dengan mengajukan Rencana Undang-Undang Keorganisasian (RUUK) yang satu paket dengan undang-undang tentang partai politik, referendum, kedudukan DPR/MPR dan Pemilu.
Sejak RUUK ditawarkan berbagai tanggapan dan reaksi bermunculan dari organisasi kemasyarakatan. Bagi PII pada setiap eselon mulai dari struktur bawah sampai atas, RUUK ini menjadi topik isyu yang sangat hangat dibicarakan. Pembicaraan ini makin terarah ketika PB PII mengirimkan bundelan RUUK ke masing-masing PW PII, PW PII mengkopinya untuk PD PII dan PD PIImeneruskan ke PK PII.mengiringi kopian tersebut, PB PII juga mengirimkan surat instruksi bernomor: PB/Inst/Sek/001/1904-1984 yang berisi tentang tetap berpegang kepada prinsip bahwa PII hanya menerima Al Islam sebagai satu-satunya asas hudup dan kehidupan, senantiasa melakukan konsolidasi ke dalam secara terus menerus, tidak terpengaruh dan tidak turut serta baik secara langsung maupun tidak langsung kepada berbagai statmen politik/pernyataan kerbulatan tekat atau sejenisnya terutama yang berkaitan dengan asas tunggal dan UUK serta senantiasa berpegang teguh pada aturan-aturan organisasi (AD/ART, TAP MUKNAS, Khittah Perjuangan) serta keputusan-keputusan lainnya.[7]
Di Sumatera Barat pembicaraan RUUK ini dilakukan secara intens dan berkelanjutan. Periode PW PII Sumatera Barat 1982-1984, 1984-1986 dan 1986-1989 waktunya banyak dicurahkan untuk membahas hal ini. Pembicaraannya dilakukan dalam bentuk diskusi-diskusi kecil antar personil pengurus, diskusi yang melibatkan Keluarga Besar (KB) dan simpatisan PII, diskusi antar PD dan PW, seminar-seminar yang melibat pelajar-pelajar, mendatangkan PB PII dan tidak terkecuali dalam pentrainningan-pentrainningan PII (menjadi bahasan khusus).[8]
Seiring dengan pembicaraan ini, pada tanggal 17 Juni 1985 RUUK disyahkan menjadi UU No. 8/1985. Konsekwensi dari penetatapan itu adalah semua organisasi kemasyarakatan harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut sampai batas waktu tanggal 17 Juni 1987.[9] Keputusan batas akhir diberikan kepada seluruh organisasi kemasyarakatan untuk menyesuaikan secara internal organisasinya tentang penerimaan asas tunggal.
Keputusan menerima atau menolak menyesuaikan dengan UUK didasarkan dari rumusan, usulan dan kemufakatan dari tingkat bawah sampai atas. PW PII Sumatera Barat sebelum memutuskannya terlibat pembicaraan yang cukup alot. Pada dasarnya di tingkat PW setelah menimbang untung ruginya menerima atau menolak, memutuskan untuk menyesuaikan dengan UUK tersebut. Penerimaan ini didasarkan dengan melihat keberadaan PII yang dinilai tidak pada kondisi yang mengembirakan dan masih lemah dalam institusi keorganisasian. Jika PII menolak untuk menyesuaikan akan dikhawatirkan PII sebagai wahana yang potensial dalam pembinaan pelajar dan generasi muda hilang dari peredaran. Alasan ini juga diperkuat dengan landasan sejarah Nabi Muhammad SAW ketika menyetujui perjanjian Aqobah dengan kaum Quraisy. Perjanjian itu dinilai para sahabat sangat merugikan ummat Islam, tapi Nabi Muhammad malah menyepakatinya, Beliau mundur selangkah untuk maju seribu langkah. Hasil pelaksanaan perjanjian itu, Nabi dan ummat Islam dapat dengan aman menjalankan agama dan bisa beraktifitas tanpa ada gangguan dari orang-orang kafir Quraisy. Dengan melihat kejadian ini, maka tidaklah salah kiranya PII menyesuaikan diri dengan UUK yang disusun pemerintah meskipun undang-undang itu banyak bertentangan dengan Khittah Perjuangan PII.Tapi melaui penerimaannya diharapkan PII bisa terus beraktifitas secar formal dan legal dalam mewujudkan misi dan eksistensi PII.[10]
Sementara itu dalam lingkungan PD PII, penilaiannya beragam ada yang menerima dan ada pula yang menolaknya. PD PII yang menerima hanya PD PII Padang, sedangkan PD PII yang lainnya menolak untuk menyesuaikan. Alasan PD PII Padang menerima juga didasarkan pada kekhawatiran mereka terhadap nasip PII setelah berada dalam golongan organisasi yang terlarang. Sedangkan PD PII Kabupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh, PD PII Kabupaten Agam/Kodya Bukittinggi dan PD PII Kodya Padang Panjang menolak dengan keras adalah dengan alasan pada penilaian bahwa Pancasila memiliki berbagai kelemahan-kelemahan dan tidak mungkin dijadikan sebagai sumber nilai aktifitasnya, dan bagi mereka Islam sudah cukup sebagai sumber nilai setiap gerakan PII.[11]
Untuk menengahi perbedaan pandangan tersebut, maka PW PII Sumatera Barat berupaya untuk mencarikan solusi salah satunya dengan mengundang PB PII untuk memberikan penjelasan sebenarnya tentang UUK itu. PB PII yang dihadiri oleh Ketua Umumnya Mutammimul Ula menyampaikan dalam pertemuan yang melibatkan PD PII dan PW PII Sumatera Barat ini yang intinya mendukung penolakan yang dilakukan PD PII. Penyampaian pendapat PB PII mendatangkan perdebatan yang sengit dari PW dan PD PII Padang, sehingga akhirnya Mutammimul Ula mengemukakan “tiada alasan apapun bagi PII untuk menerima menyesuaikan diri dengan asas tunggal”.[12]
Usaha selanjudnya yang dilakukan oleh PW PII Sumatera Barat adalah dengan mengadakan Rapat Pimpinan Wilayah (Rapimwil) yang merupakan rapat pimpinan-pimpinan pengurus PII yang dihadiri oleh PK PII, PD PII dan PW PII se provinsi Sumatera Barat pada tahun 1986. Rapimwil ini diadakan untuk memutuskan bagaimana PII Sumatera Barat dalam memandang UUK dan hasilnya akan diutarakan dalam penyampaian pandangan umum PII Sumatera Barat ketika Muktamar Nasional PII ke-XVII yang akan diadakan di Jakarta pada bulan September 1986.
Sementara itu dari segi pandangan Keluarga Besar (KB) PII yang merupakan alumni PII menilai kasus ini dengan beragam pula, ada yang menerima dan ada pula yang menolaknya. Alasan masing-masing mereka hampir-hampir sama dengan alasan dari PD dan PW yang menolak dan menerima tersebut. Tapi secara kelembagaan KB PII menyerahkan sepenuhnya kepada kader-kader PII yang masih aktif duduk dikepengurusan untuk memutuskannya sendiri berdasarkan pada aspirasi yang berkembang ditengah-tengah kader-kader PII.
Dalam Rapimwil PII Sumatera Barat ini terjadi perdebatan yang cukup keras antara kubu yang menerima dengan kubu yang menolak. Masing-masing mereka bersikukuh dengan argumennya masing-masing, sehingga persidangan berlangsung saling hantam meja dan saling melempar kursi ketengah-tengah ruangan persidangan. Tapi situasi ini dapat diredakan oleh pimpinan sidang, sehingga tidak sampai dibubarkannya acara Rapimwil tersebut. Seterusnya pimpinan sidang menginstruksikan kepada peserta sidang agar membicarakannya lagi pada tingkat yang lebih kecil dengan pedekatan yang lebih persuasif. Akhirnya dengan melalui perbicaraan yang memakan waktu lama, kubu yang menolak dapat dilunakan dan seterusnya sidang memutuskan menerima untuk menyesuaikan diri dengan UUK.[13]
Hasil sidang Rapimwil kemudian di bawa ke arena Muktamar Nasional[14] PII ke-XVII di Jakarta yang berlangsung pada bulan September 1986. Muktamar dihadiri oleh hampir semua PW PII yang ada di tanah air (25 PW PII). Tidak jauh berbeda dengan Rapimwil PII Sumatera Barat, dalam pembahasan kebijakan PII tentang asas tunggal terdapat perbedaan pendapat diantara masing-masing wilayah. PII Sumatera Barat sebagai delegasi yang menerima untuk menyesuaikan diri dengan UUK didukung oleh wilayah lain diantaranya: PII Aceh, PII Yogyakarta, PII Jawa Tengah dan PII Jambi. Penerimaaan yang dilakukan oleh 5 wilayah ini didasari oleh kekhawatiran terhadap nasip PII sebagai lembaga pembinaan pelajar dan generasi muda akan menjadi organisasi yang terlarang dan tidak lagi bisa berkegiatan secara formal dan legal. Kondisi ini tentu akan merugikan PII yang telah lama berkiprah dalam mempertahankan dan membangun negara ini.[15]
Sedangkan wilayah yang lainnya menyatakan menolak untuk menyesuaikan diri dengan UUK. Penolakan mere dilatar belakangi oleh:
1. Alasan ideologis
Dalam UU No. 8/1985 pasal 2 ayat 1 berbunyi “Organisasi kemasyarakatan berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Disini Pancasila diletakan pada posisi yang strategis, menjadi sumber dari segala sumber aktifitas organisasi, yang kemudian sering dilemparkan dalam bentuk statmen-statmen oleh pemerintah. Pada hal disisi lain pemerintah menegaskan pula bahwa Pancasila tidakakan diagamakan dan agama tidak akan di Pancasilakan. Pancasila bukan agama dan tidak mungkin menggantikan agama. Tapi ironisnya tidak boleh mencantumkan asas lain kecuali Pancasila. Disamping itu dilihat dari pengertian kalimat “satu-satunya asas” jelas bahwa tidak boleh menarok asas lain disamping Pancasila walaupun asas agama. Ini berarti suatu kesamaran yang susah di baca kemana arahnya.[16]
Sementara itu kedudukan Pancasila yang dijadikan sebagai dasar juga tidak luput dari persoalan-peersolan, ini dapat dilihat dari:
a. Aspek Historis
Lahirnya Pancasila merupakan intisari pidato Bung Karno yang disampaikan dalam sidang BPUPKI ke-9 tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 sebagai jawaban pertanyaan DR Radjiman (Ketua BPUPKI) tentang apa dasar negara yang akan dibentuk. Uraian pidato itu bersifat kompromis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antar yang menghendaki dasr negaraIslam dengan merekayang menghendaki negara sekuler (bebas dari corak agama).
Dari proses sejarah akhirnya, Pancasila lahir secara utuh pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian terkenal dengan Piagam Jakarta. Pancasila yang lahir tanggal tersebut memuat sila pertamanya dengan rumusan “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluknya”. Tapi rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 dirobah dengan meninggalkan tujuh buah kata dibelakang “Ketuhanan” berdasarkan usulan M. Hatta dengan menjadi “Ketuahan Yang Maha Esa” setelah melalui kesepakatan dalam sidang PPKI. Dari fakta yang terungkap diatas, tampak jelas bahwa Pancasila adalah rumusan filsafat yang menyangkut diantara dua pendapat yang saling bertentangan antara pandangan nasionalis sekuler dengan nesionalis Islam.
Dengan ditetapkanya Pancasila sebagai dasar negara, Bung Karno ternyata sama sekali tidak pernah bermaksud dengan Pancasila berarti paham-paham yang ada di dalam masyarakat akan dihapus. Bung Karno menyatakan dalam ceramahnya yang berjudul “Anjuran kepada segenap bangsa Indonesia” di depan pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Merdeka pada tanggal 17 Juli 1954…”Jangan berkata bahwa Pancasila diakui oleh suatu partai, jangan ada suatu partai berkata Pancasila adalah asasku. PNI tetaplah pada asas Marhaenismenya, dan PNI boleh berkata justru karena PNI berasas Marhaenisme. Oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, tapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila.
b. Aspek politik
→ Pancasila (rumusan terakhir yakni yang diberlakukan lagi oleh Dekrit 5 Juli 1959):
☺ Adalah dasar dan filsafat negara Republik Indonesia
☺ Adalah konsensus nasional yang harus dihormati sebagai landasan bersama untuk bernegara yang mengikat segenap alirandan golongan bangsa dan negara Republik Indonesia yang ditegakkan bersama dengan saling menghormati identitas masing-masing.
→ Pancasila adalah satu filsafat negara RI dan sama sekali bukanlah agama dan janganlah sesekali dianggap seperti agama (baik dalam arti luas maupun dalam arti khas).
→ Ummat Islam tidak dapat (karena memang tidak diperkenankan agama):
☺ Memandang Pancasila lebih atau diatas proporsi yang seharusnya, seperti menganggab Pancasila sakral, keramat, abadi, sumber dari segala sumber, mutlak, dengan perkataan lain menganggab Pancasila sebagai agama; apalagi menganggab Pancasila lebih dari pada agama.
☺ Mengganti agama mereka (Al Islam) dengan agama lain atau aliran kepercayaan ataupun ideologi serta filasafat apa dan manapun termasuk Pancasila.[17]
Melihat penilaian diatas, tidaklah pas kiranya Pancasila diletakkan pada posisi yang tertinggi. Bagi PII Islam sudah cukup menjadi landasan yang tertinggi dan tidak ada lagi yang tinggi dari pada itu. Cara pandang PII terhadap Islam sebagai dasar pergerakan dan perjuangan sangat mempengaruhi setiap kebijakan yang akan diambil oleh PII. Cara pandang terhadap Islam bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Islam sebagai rahmatullil’alamin
Dalam hal ini, Islam merupakan solusi setiap permasalahan yang timbul di tengah kemelut peradapan modern. Islam membawa keselamatan dan kebahagiaan bagi segenap umat manusia. Islam bukan hanya untuk satu golongan tertentu saja, tetapi untuk semua makhluk Allah. Adanya Islam bagi setiap organisasi bukanlah penyebab terjadinya perpecahan dan fanatisme sekretarian seperti yang dilangsir oleh pemerintah.
b. Islam merupakan pedoman hidup yang lengkap dan universal
PII berpandangan Islam merupakan satu-satunya sumber nilai dalam setiap pergerakan, perjuangan, pemikiran dan kehidupan. Dengan keyakinan akan totalitas ajaran Islam, sungguh tidak tepat mencari bentuk lain selain Islam sebagai dasar/asas gerakan organisasi. Dasar gerakan organisasi haruslah suatu hal yang sudah pasti kebenarannya, kebenaran itu hanya dari Allah (QS. Al Baqoroh:208 dan Al-Maidah: 3).
c. Islam harus diperjuangkan sebagai tugas kekhalifahan
Tugas kekhalifahan manusia di muka bumi adalah membawa misi memperjuangkan Islam sebagai sumber nilai dalam setiap gerakan kehidupan manusia. Sungguh amat naif jika manusia memperjuangkan nilai-nilai selain dari Islam sebagai nilai-nilai dasar hidupnya.
d. Islam memberi peluang berijtihad bagi manusia
Islam tidak mengatur secara terperinci perihal kehidupan dunia. Untuk itu Islam membuka peluang bagi manusia untuk berijtihaduntuk kebaikan hidupnya. Islam sangat menghargai hasil ijtihad manusia. Namun ijtihad manusia tidak boleh keluar dari tatanan nilai yang ada dalam Islam. Dengan dibukanya pintu ijtihad berarti memungkinkan timbulnya pandangan yang berbeda (Khilafiayah).
Islam sangat menghargai perbedaan dalam kehidupan manusia. Maka dalam hal ini sangatlah tidak relefan dengan semangat Islam, jika pemerintah meaksakan penyeragaman ideologi setiap ormas yang ada.[18]
2. Alasan komitmen perjuangan
Sesuai dengan namanya, “Pelajar Islam Indonesia” terdapat tiga kata kunci yang menjiwai semangat dan tanggung jawab gerakan,yakni pelajar, Islam dan Indonesia. Ketiga kata ini merupakan “Tri Komitmen PII” dalam setiap gerakannya. Masing-masing menempati posisi, pelajar sebagai sasaran dakwah, Islam sebagai sumber nilai dan Indonesia sebagai wilayah dakwah.
Posisi pelajar yang strategis menjadi perhatian yang sangat serius bagi PII. Bentuk dan masa depan bangsa ditentukan oleh nilai-nilai apa yang tertanam pada pelajar hari ini. Komitmen PII terhadap pelajar jelas lebih menekankan pada penanaman nilai-nilai Islam, sehingga pada kehidupan yang akan dilaluinya, pelajar telah memiliki arah.
Dalam hal ini PII menjadikan pelajar itu sebagai lahan garap atau sasaran dakwahnya sebagai perwujudan dari komitmen PII terhadap pelajar. Atas dasar pandangan ini PII bangkit sebagai kelompok yang sadar dan ingin berpartisipasi membangun umat, khususnya pelajar dari kesalahan bersikap, berpikir dan dalam setiap amalnya.
Komitmen kepada Islam didorong oleh kesadaran sejarah yang menempatkan Islam sebagai agama dan kaum muslimin sebagai umat (komunitas) yang pernah dicabik-cabik oleh kaum penjajah untuk kepentingan politiknya.[19] Dalam rentang waktu yang cukup panjang kaum penjajah berhasil memisahkan umat dari agamanya, ibarat memisahkan ruh dari jasadnya. Fenomena seperti ini dialami hampir seluruh belahan dunia Islam.
Islam dengan totalitas ajarannya yang telah dipenggal sedemikian rupa menjadi serpihan-serpihan yang kemudian dipahami sebagai sesuatu yang parsial. Aqidah dan ukhuwah Islamiah yang merupakan kekuatan perekat umat Islam telah dimanipulasi dalam ramuan semangat sektarianistik. Beberapa ratus tahun Islam telah kehilangan dinamika dan rasionalitas ajarannya, dan kaum muslimin telah kehilangan ghirah perjuangannya.
Bangkitnya Pan- Islamisme di akhir abat XIX,[20] telah menyadarkan kaum muslimin terhadap agamanya dan kehidupan sosialnya, yaitu suatu kesadaran untuk meyakini Islam sebagai satu-satunya Ad-dien (pandangan hidup) yang diredhai Allah, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara utuh dan menyeluruh (kaffah).
PII bangkit di tengah arus kesadaran baru Pan-Islamisme. Kebangkitannya dipenuhi keyakinan dan kesadaran menetapkan Islam sebagai asas pergerakannya. Ini berarti menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi, semangat dan missi perjuangannya. Komitmen PII kepada Indonesia bukanlah komitmen kepada sistem nilai atau falsafah ideologinya.
Komitmen PII kepada Indonesia, justru karena didorong oleh komitmen kepada Islam. Yakni suatu kesadaran untuk mendakwahkan Islam kepada manusia, khususnya di Indonesia sebagai tempat berpijak.[21] Dalam hal ini komitmen PII kepada Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai wilyah dakwah dan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim sebagai sasaran dakwah.
Dari komitmen perjuangan PII di atas dapat penulis simpulkan bahwa penolakan PII terhadap pancasila sebagai asas organisasi karena PII tidak dapat menjadikan pancasila sebagai sumber inspirasi, motivasi, nilai pergerakan dan perjuangan serta missi organisasi. PII sebagai organisasi pengkaderan juga tidak dapat menjadikan pancasila sebagai dasar nilai pengkaderannya.
Dalam pandangan PII, asas merupakan dasar serta sumber nilai dalam setiap aktifitas gerakan PII. Komitmen dan idealisme kader dibentuk berdasarkan nilai-nilai tersebut (Islam), tidak dengan nilai pancasila. PII memandang pancasila sebagai instrumen pemerintah atau negara dalam merekat bangsa yang pluralisme (majemuk).[22]
Pandangan PII ini didukung oleh beberapa kenyataan sejarah yang tidak dapat dinafikan oleh PII bahwa komitmen perjuangan merupakan hal yang sangat berarti dalam menentukan gerak langkah menatap masa depan PII dan bangsanya.
a. Latar belakang sejarah
Sepanjang sejarahnya PII selalu tampil mengkritisi bahkan menentang setiap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan semangat demokrasi dan kemanusiaan. Dan sebaliknya PII sangat mendukung dan melibatkan diri dalam setiap kegiatan dan kebijakan pemerintah yang memperjuangkan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.
PII ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan tatkala nilai-nilai kemerdekaan dan kemanusia bangsa Indonesia tidak dihargaai oleh Belanda (1947-1949). Tidak sedikit kader PII berguguran tatkala penumpasan pengkhianatan PKI di Madiun (1948), PII menolak dengan tegas kebijakan politik presiden Soekarno tentang “NASAKOM”.[23]
Dengan gagah berani dan penuh semangat jihad PII menggalang kekuatan pelajar dalam penumpasan PKI 1965. PII menolak kehadiran dan tidak ikut bergabung dengan KNPI sebagai induk organisasi kepemudaan karena dinilai sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan sebuah usaha depolitisasi pemerintah terhadap organisasi kepemudaan.
Tahun 1972-1974, PII tampil sebagai salah satu kekuatan moral organisasi Islam yang banyak mengoreksi RUU perkawinan yang kontroversial. Masih banyak kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang tidak luput dari kritikan bahkan penolakan PII.
Berdasarkan beberapa fakta sejarah di atas dapat dipahami bahwa sejarah yang telah digoreskan PII sejak berdirinya tahun 1947 turut memberikan andil dan pemahaman bagi kader PII dalam menentukan sikap terhadap pemberlakuaan Asas Tunggal. Perlawanan terhadap tirani dan perjuangan mempertahankan idealisme sekalipun berakibat “pahit”, menjadi ciri khas kader dan organisasi PII. Telah banyak perjuangan dan pengorbanan yang dilalui, penolakan terhadap Asas Tunggal merupakan puncak dari perlawanan PII terhadap tirani.
b. Latar belakang politik
Untuk menjaga kestabilan perjalanan pemerintah, penguasa Orde Baru melakukan sentralisasi kekuasaan dan penyeragaman dalam berbagai bidang. Ruang untuk terjadinya perbedaan semakin diperkecil dan stabilitas dibangun melalui kekuatan meliter. Dengan itu terciptalah sebuah kekuasaan yang otoriter. Dibentuknya KNPI, diharuskannya fusi partai menjadi tiga partai dan lain-lain merupakan sebuah usaha depolitisasi terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat demi memperkuat posisi pemerintahan. Banyak organisasi yang gamang dan bahkan tidak sanggup menghadapi realita ini dan akhirnya mengorbankan idealisme mereka dan untuk selanjutnya sangat akomudatif dengan pemerintah.[24]
Sebagai organisasi pergerakan, PII memandang usaha pemerintah tersebut di atas merupakan pengingkaran dan bahkan pengkhianatan pemeritah terhadap nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Ini merupakan suatu pembodohan terhadap rakyat demi memperkuat posisi kekuasaan. PII memandang, ini adalah sebuah tindakan kezaliman yang mesti ditentang.
Asas Tunggal secara politis merupakan pengkebirian terhadap organisasi-organisasi selain pemerintah, karena ini merupakan sebuah usaha untuk melemahkan posisi rakyat demi tegaknya sebuah rezimentalisme.
Dari beberapa hal di atas terlihat pemberlakuaan Asas Tunggal sangat bertentangan dengan semangat perjuangan dan idealisme yang dibangun oleh PII. Semangat ini mengalir dalam diri kader PII. Semangat mempertahankan kebenaran sekalipun akan berakibat pahit. Dengan penolakan ini pemerintah mengeluarkan surat edaran No 120 tahun 1987 yang menyatakan bahwa Organisasi Pelajar Islam Indonesia tidak diakui keberadaannya dan segala bentuk kegiatan yang mengatasnamakan PII dilarang.[25]
Keputusan untuk mentukan sikap PII antara menerima atau menolak dengan argumentasinya masing-masing terus berjalan dengan alot, dan kalau tetap dipertahankan tidak akan berada apada titik temu karena kedua alasan sama-sama kuat. Kemudian dilakukanlah pengambilan keputusan melalui voting (dengan suara terbanyak). Akhirnya kubu menolak mendapatkan suara mayoritas dan kemudian diputuskanlah dalam Muktamar itu bahwa PII tetap mempertahankan Islam sebagai satu-satunya asas organisasi PII.[26] Keputusan ini selanjudnya diterima oleh golongan yang menerima dengan dada lapang serta dengan satu itikad baik tunduk pada keputusan bersama.[27]
Keputusan Muktamar ini dikristalisasikan pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada bulan Juni 1987 menjelang diberlakukannya UUK tersebut. Dalam Rapimnas itu dihasilkanlah suatu kebulatan tekad dari segenap anggota dan pimpinan PII setanah air “Untuk tetap Istiqomah atas dasar Islam, tidak bisa menyesuaikan diri dengan UU No.8/1985 dan tidak akan membubarkan diri”.[28] Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “Deklarasi Cisarua” (Cisarua nama tempat di sekitar Bogor Jawa Barat, tempat dikomandangkannya kebulatan tekad). Deklarasi ini memuat alasan-alasan penolakan di atas menjadi latar belakang pengambilan keputusan secara nasional.[29]
Ketika seluruh warga PII di persada negeri ini sedang membahas menentukan sikap yang paling tepat terhadap asas tungal, PII disentakkan dengan berita penyampaian kebulatan tekad 6 PD PII di Aceh. PD PII itu diantaranya: PD PII Aceh Utara, PD PII Aceh Tengah, PD PII Aceh Besar, PD PII Banda Aceh, PD PII Pidi dan PD PII Sabang. Mereka menyatakan menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Kebulatan tekad ini didampaikan dihadapan Mentri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Abdul Ghafur, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Ketua KNPI Puasat Abdullah Puteh.[30]
Menghadapi sikap PD PII yang menerima tersebut, PW PII Aceh membekukan PD PII yang menyatakan kebulatan tekad itu dan seluruh aktifitas dan inventaris organisasi telah diambil alih oleh PW PII, termasuk stempel PD PII. Sementara terhadap kader yang ikut menyatakan kebulatan tekad di pecat dari keanggotaan PII.[31]
Hampir sama dengan PII Aceh, PW PII Jambi dibekukan PB PII karena menerima asas tunggal dan melakukan registrasi ke Kantor Soial Politik (Kasospol) Provinsi Jambi. Semua aset organisasi diambil alih oleh PB PII dan kemudian memecat orang-orang yang terlibat penyesuaian tersebut.[32]

B. Status Dan Posisi Pelajar Islam Indonesia Sumatera Barat Pasca UU No.8/1985
Dalam UU No. 8/1985 BAB II pasal 2 ayat 1 disebutkan “Organisasi kemasyarakatan bersasakan Pancasila sebagai satu-satunya asas”, ayat 2 “Asas yang dimaksud dalam ayat 1 adalah asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.[33] Dalam hal ini sangat jelas ditekankan bahwa organisasi kemasyarakatan mesti berasaskan Pancasiladan menutup kemungkinan bagi ormas berasaskan yang lain.
Selanjudnya dalam pasal 4 BAB II dijelaskan “Organisasi kemsyarakatan wajib mencantumkan asas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan tujuan sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 3 dalam pasal anggaran dasarnya”.[34] Jadi asas Pancasila harus dicantumkan oleh setiap ormas dalam anggran dasarnya.
Setiap organisasi yang tidak mengindahkan undang-undang diatas, maka pemerintah mempunyai hak untuk membubarkannya. Ini didasarkan pada pasal 15 BAB VII yang berbunyi “Pemerintah dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketetntuan pasal 2, 3, 4, 7 dan atau pasal 18”. Sedangkan tata cara pembubarannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.[35]
Setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut, seluruh ormas diberi kesempatan utnuk menyesuaikan diri dengan undang-undang itu dalam jangka waktu 2 tahun tertanggal sejak disyahkan. Sesuai dengan pasal 18 BAB VIII yang berbunyi “Dengan diberlakukannya Undang-undang ini, organisasi kemasyarakatan yang sudah diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini yang harus disesuaikan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah tanggal mulai berlakunya undang-undang ini”.[36]
Dari ketetapan undang-undang ini, jelas ormas tidak memiliki pilihan lain kecuali mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasinya kalau tidak mau dibubarkan oleh pemerintah. PII yang sudah menghasilkan kebulatan tekad melalui Mukatamar dan dipertegas dengan Rapimnasnya yang menyatakan tidak bersedia menyesuaikan diri dengan UU No. 8/1985. Dan sampai batas waktu yang telah ditentukan pemerintah yaitu tanggal 17 Juni 1987, PII belum mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri. Maka tertanggal 10 Desember 1987 melalui Mentri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, pemerintah mengeluarkan SK No. 120 tahun 1987 yang mengatakan “PII tidak diakui keberadaannya marena tidak memenuhi undang-undang dan semua kegiatan yang engatasnamakan Pelajar Islam Indonesia (PII) dilarang”.[37]
Seruat keputusan tersebut sampai hari ini tidak pernah diterima PII secara kelembagaan, tapi secara derule PII tetap ditiadakan, walaupun secara defacto masih efektif. Hal ini mengakibatkan PII secara nasional turut bergeser, terutama perubahan dari organisasi formal ke organisasi informal, dari organisasi massa menjadi organisasi kader. Berbagai pergeseran memberikan inflikasi yang positif dan negatif bagi perjuangan PII di masa-masa berikutnya.[38]
Dengan tidak diterimannya surat Mendagri oleh PII, PB PII yang dipimpin oleh Chalidin Yacob mentangi Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Departemen Dalam Negeri dengan maksud menanyakan keberadaan PII. Menurut Moch Barir, “PII sudah tidak ada lagi. Kalau kalian mau silahkan membuat organiasi baru dengan nam bukan PII dan harus memenuhi undang-undang yang ada”. Artinya harus mencantumkan asas tunggal Pancasila.[39]
Sehari kemudian Mendagri dengan surat No. 220 dan 221 menyerukan kepada semua Gubernur, Walikota dan Bupati yang isinya permintaan agar para pejabat daerah mengamankan SK Mendagri No. 120 dan 121, dan mengadakan penertipan terhadap PII dengan cara melarang melakukan kegiatan apapun, menanggalkan papan nama, atau melarang pemasangan papan nama dan melarang penggunaan atribut organisasi yang bersangkutan.[40]
Meski sudah dinyatakan buabar, PII ternyata masih ada. PII wilayah Aceh misalnya, pada tanggal 20-14 Januari 1988 mengadakan acara Basic Trainning dengan jumlah peserta 150 orang. “Kami disini biasa-biasa saja”, kata Hasanuddin Ketua Umum PW PII Aceh.[41]
Sementara itu di Sumatera Barat, kader-kader PII tetap komit dengan kesepakatan bersama pada Muktamar Nasional dan Rapimnas dengan tetap mempertahankan Islam sebagai sayu-satunya asas. PW PII tidak melakukan tregistrasi ke Kantor Soial Politik (Kasospol) provinsi Sumatera Barat. Begitu juga dengan PD PII-PD PII yang ada, tidak melakukan pendaftaran ke Kasospol setempat sebagaimana yang diingini undang-undang.
Dengan tidak dilakukannya registrasi ormas tersebut, PII Sumatera Barat berada pada status sebagai organisasi informal dan legal. Dengan status ini tentu saja tidak bisa lagi membuat PII bergerak secara terbuka. Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas dan berkomunikasi dengan ormas lain menjadi terbatas. Sejak dibubarkan PII Sumatera Barat pada bulan-bulan awal mengalami kefakuman karena belum memiliki format dan pola gerakan yang jelas.[42] Disamping itu mereka juga dihimbau oleh PB PII melalui surat No. PB/Sek/117/1407-1987 untuk dapat mengurangi atau bahkan kalau perlu menghindari acara-acara yang demonstratif.[43]

C. Pola Gerakan Pelajar Islam Indonesia Sumatera Barat Semasa Bawah Tanah
Sikap keras yang ditunjukan oleh PII dengan tidak menerima kebijakan pemerintah terhadap pemberlakuan asas tunggal, mendatangkan rekasi dari beberapa tokoh Islam, diantaranya: Alm. Pak Natsir yang turut mendesak PB PII supaya menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang yang ada. Pek Natsir cemas jika PII tetap pada sikap kerasnya, “Organisasi itu akan hilang dari peredaran dan ketika PII hilang yang rugi bukan hanya PII melainkan bangsa ini secara keseluruhan yang kehilangan salah satu potensi efektifnya dalam pembinaan generasi muada”.[44] Sementara itu Endang Syaifuddin ‘Ansyari (PW PII pertama Jawa Barat) menilai bubarnya PII dianggab tragis, ”mereka tidak bersedia menerima asas tunggal Pancasila karena pemimpinnya polos, lugu dan sederhana. Mereka menyandarkan diri pada pendapat bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila”. Sedangkan M. Husni Thamrin (Ketua Umum PB PII periode 1966-1967) berpendapat “Bila dibiarkan PII dengan sikap kerasnya, dikhawatirkan anak-anak muda itu nanti akan terjebak pada golongan apatisme yang fatalistis. Sebab bagai manapun tempat berlatih itu harus ada, Pramuka dan OSIS tidak cukup menampung aspirasi para pelajar”.[45]
Dari pihak Keluarga Besar (KB) PII sebagai alumni PII, masih ada yang belum memahami sikap yang diambil PII yang mengakibatkan renggangnya hubungan. Namun pada umumnya para KB yang kurang sependapat, mulai memahami dan tetap mendukung segala aktifitas, hanya saja tidak melibatkan secar langsung.[46]
Beberapa pandangan diatas benar terbukti, keberingsutan kegiatan PII secara nasional apalagi yang sifatnya daerah telah membawa pengaruh yang cukup tajam. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukanlah berbagai usaha dengan diadakannya acara-acara yang bersifat nasional dalam mencari jalan dan metode apa yang mampu menjawab kekhawatiran tokoh Islam tersebut. Diadakannya Rapimnas I dan II di Jawa Barat adalah bentuk upaya mengantisifasi kondisi-kondisi yang terjadi.
PII sumatera Barat selalu berperan aktif dalam penyelesaian-penyelesaian itu dengan memberikan sumbangan pemikiran. Rekomendasi yang disampaikan ke PB PII untuk menyelesaikan dengan pemerintah yang hal ini Mentri Dalam Negeri. Namun akibat keberagaman dari PB dan PW yang ketika itu didominasi oleh Jawa, sehingga rekomendasi tersebut belum dapat diwujudkan. Rekomendasi yang dimaksud adalah berbentuk wadah baru sebagai kamuflase dari wadah yang ada atau berbentuk yayasan yang bersifat nasional.[47]
Sambil menunggu pembahasan lebih lanjud usulan PII Sumatera Barat di tingkat nasional itu, PII Sumatera Barat dalam lingkungan wilayah menginformasikan kepada PD PII yang ada untuk membentuk nama-nama kamuflase dalam mengadakan aktifitas. Nama-nama kamuflase ini dibuat dengan memperhatikan penjelasan atas PP No. 18 tahun 1986, pada pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Perhimpunan yang bersifat kekerabatan yang mempunyai kegiatan, tujuan dan bersifat sementara, serta keanggotaannya yang longgar misalnya arisan tidak termasuk pengertian organisasi kemasyarakatan”.[48]
Mengacu pada PP ini, maka disusunlah pola gerakan yang sebenarnya telah dibahas dalam Rapimnas di Cisarua. Pola gerakan pertama yang akan dilakukan adalah membentuk wadah-wadah yang kiranya sejenis dan semaksud dengan pengertian penjelasan PP tersebut. Adapun bentuk-bentuknya antara lain:
1. Majlis-Majlis Ta’lim
2. Club-club
3. Arisan
4. Forum-forum
5. Remaja-remaja Masjid.[49]
Badan-badan di atas melakukan paket program:
a. Mengefektifkan trainning-trainning konvensional yang ada
b. Mengefektifkan Studi Islam Awal Mula (SIAM), Bimbningan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK), Latihan Kader Tunas (LKT) dan lain-lain.
c. Mengefektifkan ta’lim-ta’lim atan tarbiyah-tarbiyah
d. Mengadakan trainning-trainning alternatif
e. Mengefektifkan gerakan dakwah fardiyah.[50]
Untuk menjalankan program-program ini, maka dilakukanlah pemobilisasian nama-nama PII dengan nama-nama kamuflase, diantaranya:
1. PD PII Kabupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh dirobah dengan nama Ramaja Islam Badan Kerja Sama Masjid dan Mubalig (RIS BKSM). Nama ini kemudian dirobah dengan Forum Komunikasi Remaja Masjid (FKRM).
2. PD PII Kabupaten Agam/Kodya Bukittinggi diganti dengan nama Kelompok Studi Islam (KSI).
3. PD PII Kodya Padang Panjang ditukar dengan namanya dengan Kelompok Belajar Estafet (KBE).
4. PD PII Kodya Padang diganti dengan nama Lembaga Pendidikan Dan Pelatihan Assalam (LP 2 ASSALAM).[51]
Sebelum diadakan penggantian nama-nama tersebut, kondisi PII di masing-masing daerah mengalami kefakuman karena masih mencari format dan bentuk pergerakan. Disamping itu mereka juga ketakutan berkegiatan dengan memakai nama PII. Ketakutan mereka didasari kalau-kalau aparat keamana membubarkan acara yang mereka adakan dan menangkapai mereka. Tapi setelah menyepakati bentuk dan pola gerakan yang akan dilakukan khususnya dalam suasana informal, kader-kader PII di daerah kembali melakukan kegiatan-kegiatan.
Pada tahap awal kegiatan-kegiatan yang diadakan dengan nama-nama kamuflase berjalan dengan mulus tanpa ada gangguan dari aparat kemanan. Meskipun demikian mereka tetap siap siaga dengan segala kemungkinan yang bakalan terjadi. Mereka mengefektifkan kembali peran Brigade PII yang memiliki kemampuan inteligen dan penguasaan lapangan untuk bertugas mengamankan oganisasi.[52] Brigade PII memegang peranan penting dalam menjaga keberlangsungan acara dan mereka bertanggung jawab penuh terhadap keamanan organisasi.
Meskipun selalu waspada dan berkedok nama-nama kamuflase, akkhirnya kgiatan yang mereka lakukan tercium juga oleh aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan, seperti yang terjadi di hampir semua PD PII. Di PD PII Kabupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh kegiatan yang dilakukan atas nama FKRM setelah tercium oleh aparat, selalu mendapatkan pengawasan. Kemudian untuk selanjudnya sering acara-acara yang diadakan atas nama FKRM dipersulit izin pelaksanaannya. Dengan kondisi seperti ini mereka tetap nekat mengangkatkan acara-acara, walaupun tidak mendapatkan izin dari aparat keamanan.[53]
Hal serupa juga terjadi pada PD PII Kodya Padang Panjang. Dengan memakai kofer KBE, mereka senantiasa dipantau oleh aparat keamanan karena wujud aslinya sudah mulai ketahuan. Ini disebabkan oleh segala bentuk geraknya yang agak spesifik dari organisasi-organisasi lainnya. Sikap ini makin jelas ketika mereka dituduh terlibat langsung dalam politik praktis sebagai kaki tanggannya PPP dalam mencari masssanya. Kondisi ini menbuat KBE tidak diperbolehkan beraktifitas, jika tidak bekerja sama dengan Departemen Agama setempat.[54]
Begitu juga yang terjadi di PD PII Kabupaten Agam /Kodya Bukittinggi dan PD PII Kodya Padang, mereka selalu mendapatkan pemantauan dari aparat keamanan. Meskipun terus dimatai-matai, PII Sumatera Barat tidak lantas mati dari berkegiatan, mereka terus dengan gencar mengangkatkan berbagai acara, mulai dari pengadaan training, kursus-kursus seperti kursus bahasa Arab, bahasa Inggris, latihan anak sholeh untuk anak SD, wirid-wirit ramaja, tafsir Al qur’an ta’lim-ta’lim/tarbiyah-tarbiyah, pertandingan oleh raga, lomba kesenian dan banyak yang lainnya.[55] Artinya mereka tidak pernah sepi dari kegitan-kegiatan.
Peserta yang mengikuti acara-acara diatas terbilang cukup ramai, rata-rata dalam sekali training diikuti oleh 200-400 peserta bahan ada yang melebihinya. Mereka yang mengikutinya barasal dari sekolah-sekolah umum dan agama, yang rata-rata mereka merupakan orang-orang pilihan di sekolahnya. Mereka di sekolah aktif dipengurusan OSIS dan mendapatkan rengking dikelasnya. Ketika mereka telah selesai mengikuti acara PII, rata-rata mereka memiliki perbedaan diantara teman-temannya yang tidak ikut dalam bersikap dan berfikir. Sementara keikutsertaan mereka dalam acara ada yang sudah mengenal PII sebelumnya karena diperkenalkan oleh teman-temanya yang telah ikut, tapi kebanyakan mereka belum mengenal bahwa yang mengadakan acara itu adalah PII. Mereka baru tahu bahwa yang mengadakan acara adalah PII ketika telah diberikan materi background PII.
Mereka tidak mundur dari keikutsertaannya dalam acara tersebut ketika telah diketahui yang mengadakan acara adalah organisasi PII yang berstatus sebagai organisasi terlarang. Sikap mereka yang terus mengikutinya dikarenakan oleh suasan yang telah diformat sedemikian rupa oleh instruktur PII. Dan setelah mereka selesai mengikuti acara, mereka tidak merasa menyesal bahkan ada diantara mereka yang malah merasa senang telah bisa mengikuti acara PII.[56]
Sedangkan sumber dana dari pelaksanaan acara di cari oleh panitia secar otodidak. Mereka meminta sumbangan ke pemerintah daerah kalau acara mendapatkan izin, jika tidak mereka kemudian meminta sumbangan ke Keluarga-keluarga Besar (KB) PII, meminta sumbangan ke sipatisan PII, memungut sumbangan ke mesjid-mesjid dan tidak jarang mereka berjalan ke toko-toko di pasar-pasar dan rumah-rumah warga yang ada di sekitar acara. Namun jika dana yang dipungut tidak memenuhi pembiayaan acara sampai ahkir, maka para panitia dan kader-kader lainnya menanggulanginya secara bersama-sama dengan cara beriyur.[57]
Sementara itu tanggapan dari masyarakat terhadap acara yang diadakan, pada umumnya mendukung pelaksanaannya. Ini dinilai dari begitu antusiasnya merea pada acara. Warga mau membantu dalam segi moril dan materil terhadap kelangsungan acara. Suasana ini terjadi di seluruh temapat pelaksanaan kegiatan seperti yang terjadi pada acara Basic Trainning yang diadakan di Padang Japang Guguk Kabupaten Limapuluhkota, masyarakat disana begitu mendukung sekali acara yang diadakan, ketika panitia meminta sumbangan ke rumah-rumah warga, mereka dengan spontan memberi sumbangan ala kadarnya berupa beras, kelapa dan sayur sayuran dan ada juga yang sampai-sampai diantara warga tersebut yang mengantarkannya sendiri bahan-bahan makanan bagi peserta. Dan begitu pula di tempat-tempat pelasanaan acara lainnya.[58]
Dari sekian banyak dukungan yang diberikan, tentu ada pula sebagian orang yang bersifat apatis dan sinis terhadap PII. Seperti yang terjadi di SMP Negeri 1 Payakumbuh, dimana pimpinannay melarang para siswanya mengikuti acara yang diadakan PII dan dihadapan para siswa juga dikatakan hal-hal yang dapat merugikan eksistensi PII.[59] Menyikapi pandangan sinis ini, PII lebih banyak diam dan hanya membuktikan saja melalui kader-kader yang dihasilkan, apakah benar terjadi kegalauan mereka terhadap organisasi PII.
Acara-acara yang dilakukan PII Sumatera Barat di atas selalu berada dalam pengawasan aparat keamanan. Supaya acara yang diadakan tidak ketahuan kedoknya, sering sekali mereka bermain kucing-kucingan dengan aparat seperti yang terjadi ketika acara Konferensi Wilayah (Konwil) PII sumatera Barat ke-XII di Padang Panjang. Ketika acara Konwil sedang berkacamuk sampai mengahantam meja dan saling melempar kursi ke tengah-tengah persidangan, secara tiba-tiba datang Departemen agama Padang Panjang ke lokasi acara, tapi karena Brigade PII selalu siap siaga. Ketika melihat ada mobil plat merah yang datang, salah seorang anggota Brigade langsung memberi tahu pimpinan persidangan bahwa ada aparat keamanan yang datang. Setelah mendapat berita pimpinan sidang memberi tahu anggota rapat dan sidang kemudian disulap seperti acara-acara ceramah dan Syaiful Amin disuruh memberikan materi di depan persidangan. Dalam suasana berbentuk ceramah itulah Depag tersebut di ajak memasuki ruangan acara dan kemudian di suruh pula memberikan ceramah. Melihat bentuk acara yang dilakukan, dalam ceramahnya Depag mendukung pelaksanaan acara dan mengajak untuk terus melakukan acara yang sama. Setelah Depag pergi acara persidangan kembali dilanjudkan.[60]
Strategi lain yang digunakan adalah dengan menggunakan kata-kata sandi yang hanya difahami oleh kader-kader PII saja. Kata sandi biasanya dipakai antara eselon pengurus yang berada di bawah atau atas dari struktur yang ada. Contohnya ketika PD PII atau PK PII meminta bantuan tenaga instruktur ke PW PII atau PD PII dalam mengelola satu kegiatan training, maka biasanya mereka akan meminta tolong dengan bahasa “Tolong pengiriman tenaga guru untuk membina TPA atau didikan Shubuh”. Dengan kalimat seperti ini, PW PII atau PD PII telah paham bahwa akan ada acara training yang akan diadakan dan mereka memohon untuk menurunkan tenaga instruktur dan dengan sendirinya mereka akan datang kelokasi acara.[61]
Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengganti nama-nama trainning pengkaderan PII, misalnya acara Lidearship Basic Trainning (LBT) diganti dengan Latihan Kepemimpinan Ramaja Islam atau Latihan Kepemimpinan Dan Cendikiawan Muslim (LKCM), Lidearship Mental Trainning (LMT) dirobah dengan Latihan Kepemimpinan Tingkat Lanjud dan begitu pula dengan pengkaderan-pengkaderan PII lainnya.[62]
Meskipun telah berbagai upaya dilakukan PII Sumatera Barat agar tidak ketahuan oleh aparat keamanan, namun ada juga yang beberapa acara yang diketahui. Acara-acara yang ketahuan itu ada yang langsung dibubarkan dan ada yang hanya dimintai keterangan saja. Acara yang dibubarkan, pernah terjadi pada acara Latihan Kepemimpinan Remaja Islam di Bukittinggi. Acara ini dibubarkan setelah ketangkap basah menggunakan atribut dan menyanyikan lagu-lagu PII.[63] Pembubaran acara Latihan Dasar Kepemimpinan juga terjadi di Padang Panjang, karena lokasi acara yang kebetulan berdekatan dengan markas polisi.[64] Di Padang kegiatan PII berjalan sangat hati-hati karena begitu ketatnya pengawasan yang dilakukan aparat terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan secara umum dan kegiatan-kegiatan organisasi terlarang secara khususnya. Meski sudah hati-hati, ada juga yang diketahui tapi tidak sampai dibubarkan karena ada pertolongan dari Keluarga Besar (KB) PII. Sehingga setiap acara yang diketahui hanya dimantai keterangan saja supaya tidak mengkaji soal-soal politik.[65]
Kejadian berbeda terdapat di Payakumbuh, acara yang diketahui oleh aparat keamanan tidak ada yang sampai dihentikan kelanjutannya gara-gara dibubarkan oleh aparat. Acara yang kalau dibubarkan tidak dihentikan pelaksanaannya, tapi panitia mencari alternatif tempat lain yang lebih aman untuk terus melanjudkan acara, salah satunya memindahkan acara tersebut kerumah-rumah KB PII yang memungkinkan. Disamping itu ada juga acara yang ketahuan, tapi tidak sampai dibubarkan karena mereka meminta bantuan kepada KB PII untuk memberikan penjelasan kepada aparat tentang acara yang sedang berlangsung. Seperti yang terjadi waktu pengangkatan acar Trainning Terpadu se-zone Sumatera di Masjid Gadang Balai Nan Dua Koto Nan Empat Payakumbuh, acara ini diketahui aparat dan berniat akan membubarkannya. Tapi karena ada bantuan dari KB PII, acar tersebut tidak jadi dibubarkan dan tetap jalan sampai akhir.[66] Kondisi yang sama juga terjadi ketika mengangkatkan acara Perkampungan Kerja Pelajar (PKP) di Desa Simpang Sugiran Guguk Kabupaten Limapuluhkota tahun 1992. acara yang diikuti oleh kader-kader PII se- Sumatera Barat ini dilaporkan oleh salah seorang pemuka masyarakat Polsek Guguk dan berita ini sampai pula ke Kasospol dengan tuduhan melakukan kegiatan-kegiatan politik. Kemudian Polsek memanggil ketua panitia acara yang waktu itu di pegang oleh Erianto dan menanyakan perihal kebenaran laporan yang didapatkannya. Sementara panggilan ke Kasospol dihadiri oleh Kabid Ekstern PD PII yang waktu itu di pegang oleh Akmal Thulas, Sospol menanyakan tentang acara yang diadakan. Setelah memberikan keterangan kepada kedua lembaga tersebut, tapi meraka tidak merasa puas mendengar keterangan yang diberikan, maka selanjudnya mereka meninjau kelokasi acara.
Setelah melakukan peninjauan, mereka tidak menemukan tanda-tanda acara yang berkenaan dengan poltik, tapi hanya kegiatan-kegiatan yang berbau agama saja, seperti melakukan pembinaan terhadap TPA, melatih didikan Shubuh, melatih Qasidah Rabbana, latihan silat, memberikan ceramah-ceramah di setiap masjid di lokasi itu, bergotong royong bersama warga dan lain-lainnya. Melihat acara-acara ini akhirnya Polsek dan sospol tidak jadi membubarkan acara, malah turut mendukung pelaksanaannya.[67]
Dalam segi Pengurus Komisariat (PK) PII, masing-masing PD PII memiliki 4-10 PK PII. Di PD PII Kab. Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh mempunyai 8 PK PII, PD PII Kab. Agam/Kodya Bukittinggi memiliki 4 PK PII dan PD PII Kodya Padang dengan 3 PK PII. PK-PK PII yang ada ini kebanyakan terdapat di remaja-remaja masjid dan sebagian kedilnya di sekolah-sekolah. Di sekolah-sekolah kegiatan mereka hanya terpusat pada pengadaan diskusi-diskusi kelompok secara rutin pada jam-jam istirahat dan sepulang sekolah. Sesekali juga mengadakan trainning-trainning dengan disekolahnya atas nama OSIS. Acara yang diadakan itu ada juga yang ketahuan oleh pihak sekolah, tapi karena ada KB PII disekolah itu yang berpengaruh, acara tersebut terus dilanjudkan.[68]
Di PW PII Sumatera Barat, biarpun berada dalan pantauan aparat keamanan, mereka masih tetap berupaya membuka PD PII di daerah-daerah Kabupaten dan Kota lainnya. Namun upaya mereka mengalami banyak kesulitan, sehingga tidak berapa daerah yang mampu di bentuk PD PII. Daerah yang bisa dibentuk PD PII hanya PD PII Kabupaten Pesisir Selatan yang berpusat di Tapan dengan nama samaran Bina Ibadah Remaja Desa (BIRSA) dan Pengurus Daerah Perguruan Tinggi ( PD PT) PII yang terdapat di perguruan-perguruan tinggi yang anggotanya hanya mahasiswa saja. Adapun PD PT PII yang terbentuk hanya terdapat di dua perguruan tinggi yaitu PD PT PII IAIN Imam Bonjol dan PD PT PII IKIP Padang (sekarang UNP). PD PT PII ini memakai nama kamuflase Kelompok-Kelompok Diskusi Mahasiswa.[69]
Tidak dapat dipungkiri, meskipun PII Smatera Barat masih tetap eksis melakukan kegiatan, namun berada pada situasi informal berdampak juga terhadap eksistensi PII baik secara kelembagaan maupun program organisasi. Dampak itu dapat di lihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek struktural keorganisasian
Secara kelembagaan pasca penolakan terhadap asas tunggal membuat PD PII di Padang Panjang yang sebelum asas tunggal terdapat dua PD PII (PD PII Kodya Padang Panjang dan PD PII Istimewa Diniyah Putri) berkurang menjadi satu PD PII yaitu PD PII Kodya Padang Panjang. PD PII Istimewa Diniyah Putri mengalami kefakuman karena berada pada satu institusi sekolah. Pihak pengelola sekolah merasa ketakutan kalau-kalau di sekolah itu ketahuan ada cabang PII, maka dengan berbagai pertimbangan PD PII Istimewa Diniyah Putri dinyatakan ditiadakan disekolah tersebut.[70]
Dampak penolakan asas tunggal juga terjadi pada PK-PK PII, mereka yang berada di sekolah-sekolah tidak dibenarkan lagi berada di sekolah tersebut dan kalau masih ada tidak jarang anggotanya ditakut-takuti oleh pihak sekolah dengan ancaman dikeluarkan dari sekolah. Kondisi ini membuat terjadinya perubahan kedudukan PK-PK PII dari sekolah ke remaja-remaja Masjid.
2. Aspek program/usaha organisasi
Seiring dengan dilarangnya setiap kegiatan yang mengatas namakan PII, maka terjadi penurunan intensitas pelaksanaan program organisasi. Pelaksanaan suatu kegiatan dilakukan sangat hati-hati karena besar sekali kemungkinan dilakukannya penggerebekan oleh aparat kemananan. Untuk menggantisifasinya PII mulai membentuk wadah-wadah baru sebagai alternatif kegiatan. Kegiatan yang dilakukan tidak atas nama PII, namun menggunakan nama-nama lain. Pelaksanaan program dengan wadah ini tidak seefktif ketika masih memakai nama PII, karena makin sedikitnya publikasi dari kegiatan; maka nyaris PII tidak dikenal pelajar dan masyarakat secara umumnya.
3. Aspek keanggotaan
Secara nasional pasca penolakan asa tunggal terjadi penurunan yang drastis terhadap jumlah anggota PII. Sebelumnya anggota PII menurut Chalidin Yacob lebih dari 4 juta orang, maka setelah penolakan jumlah itu tidak lebih dari 100 ribu orang saja pada tahun 1995.[71] Penurunan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti seperti: adanya anggota yang tidak mau aktif, sedikitnya pelajar yang ikut pengkaderan PII karena tidak terpublikasi secara luas. Sementara kondisi ini tidak begitu kentara di Sumatera Barat, peserta yang ikut trainning terus ramai (berlangsung sampai tahun 1996), namun jika dibandingkan dengan sebelumnya, jumlah ini mengalami penurunan. Meski peserta yang ikut tetap banyak, tapi permasalahan yang dihadapi adalah tidak seberapanya diantara meraka yang aktif setelah mengikuti pengkaderan. Ini disebabkan oleh kondisi dari masing-masing peserta yang banyak sibuk dengan urusan masing-masingnya, takut dengan aturan sekolah dan ada juga yang dilarang oleh keluarga.
4. Aspek hubungan kemasyarakatan
Setelah keluarnya keputusan pemerintah yang membekukan organisasi PII, secara umum terbentuk opini di tengah masyarakat bahwa PII merupakan organisasi terlarang. Dengan ini PII secara formal mengalami kebuntuan komunikasi dengan masyarakat, hanya sebahagian masyarakat yang tetap mendukung kegiatan-kegitan PII itupun mereka yang pernah bersentuhan dengan PII atau mereka yang awam tentang hal tersebut.
D. Pelajar Islam Indonesia Menuju Keformalan
Melihat pada dampak yang terus menerus terhadap eksistensi PII pasca penolakan asa tunggal diatas, muncul kekhawatiran kembali di tengah-tengah kader-kader PII tak terkecuali dilingkungan pengurus sendiri baik ditingkat PK, PD, PW sampai PB PII. Mereka kembali membicarakan kedudukan PII apakah akan tetap bersikukuh dengan keputusan awal dikelurkannya asas tunggal atau malah mengalami perubahan fikiran dengan mau menyesuaikan diri dengan undang-undang tersebut.
Dilingkungan PD PII se Sumatera Barat pada umumnya masih tetap mempertahankan sikap kerasnya yaitu menolak asas tunggal dan tidak akan pernah menyesuaikan diri dengan UUK. Sebaliknya dilingkungan PW PII Sumatera Barat ada semacam indikasiakan menyesuaikan diri dengan undang-undang tersebut. Ini terbukti ketika PW PII Sumatera Barat menyetujui keputusan Rapimnas II yang diadakan di Cibubur Jakarta pada tanggal 18 September 1994 dengan menyepakati keputusan strategi kelembagaan yang dikenal dengan “Strategi Kulit Bawang”.[72]
Strategi kulit bawang ini di Sumatera Barat mendapatkan kritikan yang sangat keras dari kader-kadernya. Mereka berpandangan bahwa strategi kulit bawang, berdasarkan namanya tegambar bahwa PII seakan-akan tidak memiliki apa-apa kerena bawang kalau dikupas tidak akan ditemukan apapun sebab setiap yang dikupas hanya kulit saja, dari aspek lainnya kalau tetap dilakukan pendaftaran dengan anggaran dasar palsu berarti sama saja PII menerima asas tunggal.[73]
Kritikan-kritikan sampai pada upaya membentuk PW PII tandingan yang diprakarsai oleh Zulfaindra sebagi ketua dan Surisno Hs sebagai sekretaris. Upaya membentuk PW PII tandingan ini mendapatkan dukungan dari PD-PD PII, sehingga lgerakan yang dilakukan menjadi kuat. Kritikan yang semakin tajam tersebut membuat PW PII terjepit dan langkahnya untuk menerapkan strategi itu mengalami kegagalan atau tidak terlaksana.[74]
Semntara itu ketegangan antar PW PII yang syah dengan PW PII tandingan dapat diredakan, setelah PW PII yang syah yang dimotori oleh Akmal Thulas sebagai Ketua Umum melunak dan tidak akan menerapkan strategi kulit bawang ini di Sumatera Barat. Setelah mendengar tanggapan PW yang syah ini, kemudian PW PII tandingan meleburkan diri dengan PW yang syah. Dan akhirnya pembicaraan mengenai menerima atau menolak asas tunggal tidak begitu dibicarakan lagi sampai memanasnya situasi politik Indonesia.
Memanasnya situasi politik Indonesia secra terbuka dimulai ketika diadakannya pemilu tahun 1997. pada pemilu itu mahasiswa dan aktifis pro demokrasi menginnginkan pelaksanaan pemilu dilakukan dengan demokratis tanpa ada interfensi dari pemerintah. Keinginan ini direalisasikan dengan membentuk satu badan independen yang mengawasi pelaksanaan pemilu, badan ini kemudian dikenal dengan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Pembentukan KIPP dimotori oleh aktifis pro demokrasi dan para cendikiawan.
Setelah pemilu dilakukan, gerakan pro demokrasi masih banyak menemukan praktek-praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Pemerintah masih menunjukan tajinya dalam pemilu dengan cara meninterfensi pelaksanaan pemilu tersebut. Sementara kebohongan-kebohongan yang dilakukan kader-kader Golkar tidak terhitung banyak jumlahnya, sehingga masih meletakkan Golkar yang dinilai telah gagal mengkondisikan negeri ini sebagai pemenang pemilu. Dari praktek-praktek yang dilakukan Golkar itu menimbulkan kemarahan aktifis pro demokrasi, mereka tidak puas dengan pelaksanaan pemilu yang mereka rasakan hanya sebagai topeng negara demokrasi.
Ketidakpuasan, kekecewaan dan kebencian terhadap pemerintah makin mendalam ketika krisis ekonomi yang berkepanjangan tidak kunjung membaik. Harga-harga pokok naik menjauhi daya beli masyarakat, nilai tukar rupiah melemah sangat drastis, PHK dimana-mana dan angka kemiskinan melonjak sangat tinggi. Krisis ekonomi ini melumpuhkan semua sektor kehidupan.
Krisis ekonomi yang sudah begitu parah akhirnya mendatangkan protes keras dari berbagai kelompok masyarakat terutama mereka yang selama ini selalu mendapatkan kungkungan dari pemerintah dan mereka yang selama ini berstatus oposisi terhadap penguasa. Kegagalan pemerintah membawa keluar dari krisis yang seakan lebih telah mengakar mendatangkan krisi kepercayaan terhadap pemerintah.
Krisis ini sebetulnya telah lama lengket di hati generasi muda, keterkungkungan yang dialami selama ini menjadi dendam politik yang telah lama terpendam. Pemasungan terhadap hak-hak berpendapat adalah bentuk penghiatan orde baru kepada gerakan kaum muda yang ikut melahirkannya.
Timbulnya multi krisis ini membuat generasi muda ingin untuk melakukan reformasi total. Mereka menghendaki pergantian pucuk pimpinan nasional dan mengadakan perubahan sistem politik. Mahasiswa sebagai salah satu segmen agen perubahan kemudian mengadakan gerakan demonstrasi-demonstrasi sebagai peletusan dendam politik yang telah membesar. Mereka menuntut Soeharto sebagai presidenyang baru dipilih dalam sidang Umum MPR tahun 1998 untuk segera mundur dari jabatannya.
Aksi-aksi demonstrasi mahasiswa makin membesar dan meluas sampai ke daerah-daerah. Spirit idealisme mahasiswa ke kota-kota lainnya dan dari satu kampus ke kampus lainnya. Sehingga muncul sebuah adegium “Tidak lengkap rasanya menyandang identitas mahasiswa kalau tidak terlibat demonstrasi”.[75] Kondisi ini makin memanas ketika mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR RI. Ketika pendudukan itu mereka memasang spanduk yang berbunyi “Turunkan Soeharto dari jabatannya, segera lakukan Sidang Istimewa MPR dan lakukan reformasi secara total”.
Melihat begitu besarnya tuntutan kepada Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai presiden, membuatnya melunak dan pada tanggal 21 Mei 1998 mundur dari jabatannya sebagai presiden dan kemudian digantikan oleh B.J Habibie yang waktu menjabat sebagai wakil presiden . Berhentinya Soeharto disambut dengan teriakan kegembiraan oleh semua mahasiswa Indonesia. Mereka melakukan sujud syukur dan pawai keliling kota sebagai tanda kemenangan.
Berakhirnya pemerintahan orde baru menandakan pula dimulainya babak baru perpolitikan Indonesia. ZAman reformasi yang baru digulirkan menjadi tahap awal kebebasan berpendapat dan beraktifitas. Undang-undang yang selama memasung kebebasan itu dipandang tidak relefan lagi dan meminta untuk segera dapat dihapuskan.
Dengan dibukanya kran demokrasi menginginkan pula organisasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah untuk bangkit kembali denagn tetap memperthankan ciri khasnya. Dalam kondisi seperti inilah PII muncul kepermukaan untuk menampakan wujud aslinya yang telah lama terbenam. PII dinyatakan kembali sebagai organisasi legal formal.
Dengan telah dinyatakannya kembali PII sebagai organisasi legal maka PD PII yang ada didaerah untuk kembali mendaftarkan diri ke Kasospol sebagai bukti PII syah dan boleh berkegiatan kembali dengan nama aslinya. Kehadiran PII kembali pada awalnya ditakuti banyak orang karena sikap kerasnya memegang prinsip, kadernya yang kritis dan kuatnya memegang nilai-nilai keislaman. Ketakutan ini dapat dilihat dari pandangan dari beberapa sekolah yang cemas kalau-kalau siswanya masuk organisasi PII. Kecemasan mereka cukup beralasan karena biasanya siswa-siswa yang aktif di PII selalu menunjukan sikap-sikap kritis terhadap kebijakan sekolah dan mereka mampu menguasai siswa-siswa lainnya.
Disamping itu ketakutan mereka diwujudkan dengan tidak maunya pihak sekolah merekomendasikan siswanya dalam mengikuti acara-acara yang diadakan oleh PII. Dengan situasi ini acara-acara PII terlihat lengang tapi suasana itu dapat diatasi dengan meminta surat rekomendasi dari Diknas dan Depag terhadap acara yang diadakan. Sehingga acara-acara PII bisa kembali relatif agak ramai pesertanya dan tidak lagi menjadi organisasi yang ditakuti.[76]
Sementara itu desakan untuk mencabut TAP MPR tentang pemberlakuan azs tunggal bagi ormas dan orpol dan TAP MPR tentang P4 kembali terjadi. Akhirnya pada sidang istimewa MPR tahun 1999 TAP MPR No. 2/1978 tentang P4 dan TAP MPR N0. 2/1983 tentang azas tunggal dinyatakan dicabut. Dengan dicabutnya TAP MPR tersebut, Undang-undang N0. 3, dan N0.8/1985 yang mengatur azas tunggal sebagai satu-satunya azas batal dengan sendirinya.

[1] Abdul Munir Mulkan, Perubahan Prilaku Politik Dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologi ,(Jakarta: Rajawali Press, 1989), hlm. 85
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 86
[4] Wedrizon, “Pelajar Islam Indonesia dan Asas Tunggal”, Skripsi,(Padang: IAIN Imam Bonjol, 2002), hlm. 67
[5] M. Rusli Karim, Nuansa Gerak Politik Era 1980-an dii Indonesia, (Jakarta: MW. Mandala, 1992), hlm. 17
[6] Abdul Azis Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 216
[7] PB PII,Surat Instruksi KE PW Dan PD Setanah Air tertanggal6 JumadilAkhir1404 H/ 8 Maret1984M. Arsip Tercatat
[8] Wawancara dengan Anisral pada tanggal 29 April 2005
[9] PB PII, Kodifikasi Hasil-Hasil Mukatamar Nasional PII Ke-XX Di Cisalopa Jawa Barat (Jakarta:PB PII,1995), hlm. 6
[10] Wawancara dengan Esa Muhardanil pada tanggal 27 Maret 2005
[11] Wawancara dengan Abizar El Ovany pada tanggal 30 Maret 2005
[12] Wawancara dengan Esa Muhardanil pada tanggal 27 Maret 2005
[13] Wawancara dengan Esa Muhardanil pada tanggal 27 Maret 2005
[14] Muktamar Nasioanal PII adalah musyawarah tertinggi PII tingkat nasional yang dihadiri oleh seluruh perwakilan PD dan PW PII setanah air, ditambah dengan PB PII dan Perwakilan PII di luar negeri. Adapun agenda Mukatamar adalah meminta pertanggung jawaban PB PII periode sebelumnya, menyusun pola kebijakan untuk periode yang akan datang dan memilih Ketua Umum PB PII yang baru serta ditambah dengan agenda lain dirasa cukup penting dibicarakan pada tataran PII secara nasional.
[15] Wawancara dengan Esa Muhardanil pada tanggal 27 Maret 2005
[16] PB PII, Nota Penjelasan Deklarasi Cisarua (Jakarta: PB PII, 1987), hlm. 7
[17] Ibid, hlm. 2-3
[18] Wedrizon, “Pelajar Islam Indonesia dan Asas Tunggal”, Skripsi (Padang: IAIN Imam Bonjol, 2002), hlm. 87-89
[19] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 114
[20]Pan-Islamisme adalah gagasan yang menyatakan bahwa semua umat Islam harus bersatu menghadapi dominasi Barat. Istilah ini bercorak politik dan diberikan oleh para pengamat Barat terhadap gagasan Jamaluddin al-Afgani. Sedangkan Jamaluddin sendiri menyatakan gagasannya itu dengan Jamiahal-Islamiyah. H.A.R. Gibb. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 16
[21]PB PI, Falsafah…, Op.Cit, hlm. 14
[22] Wawancara dengan Irwan B pada tanggal 2 Mei 2005
[23] Wawancara dengan Bulkaini RM pada tanggal 1 April 2005
[24] PB PII, Rekonstruksi Falsafah Gerakan PII, (Jakarta: PB PII, 1994), hlm. 9
[25]PB PII, Surat Informasi PB PII Kepada PW PII se-Indonesia No 1780 Tahun 1987. Arsip Tercatat.
[26] PB PII, Falsafah Gerakan PII (Cisalopa: PB PII, 1995), hlm. 6
[27] Wawancara dengan Esa Muhardanil pada tanggal 27 Maret 2005
[28] PB PII, Nota Penjelasan…Op.Cit, hlm. 9
[29] Ibid
[30] Koran Harian Waspada, Medan 24 Februari 1987, hlm. 2
[31] PB PII, Pernyataan sikap PB PII terhadap Abdul Ghafur ketika mengunjungiAceh; Kedatangan Bung Ghafur meresahkan, Maret 1978, hlm. 3
[32] PB PII, Kodifikasi Hasil-Hasil Mukatamar PII Ke-XIX Di Jakarta, (Jakarta: PB PII, 1992), hlm….
[33] PB PII, Nota Penjelasan…Op.Cit, hlm. 4
[34] Ibid
[35] Ibid, hlm. 6
[36] Ibid
[37] Jamaluddin Malik, “PII, Cicil Society dan Revolusi Kebudayaan”. Majalah Diomensi: edisi Harba PII Ke-55 Juni 2002, hlm, 8 lihat juga PB PII, Kodifikasi Hasil-Hasil Muktamar Nasional PII Ke-XX, (Jakarta: PB PII, 2995), hlm. 6
[38] PBB PII, Falasafah…. Op.Cit
[39] Majalah Tempo, 6 Februari 1988, hlm, 24
[40] Majalah Tempo, 6 Februari 1988, hlm, 24
[41] Majalah Tempo, 6 Februari 1988, hlm, 24
[42] Wawancara dengan Zulfaindra pada tanggal 26 Maret 2005
[43] PB PII, Surat Pengantar Hasil Rapimnas lanjutan PII, tertanggal 20 Syawal 1407 H/17 Juni 1987 M. Arsip Tercatat.
[44] A.M. Fatwa, Demokrasi Teistis; Upaya Merangkai Integrasi Politik Dan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 131
[45] Majalah Tempo, 6 Januari 1988
[46] PW PII Sumatera Barat, Laporan Pertangung Jawaban periode 1987-1989 (Padang: PW PII Sumatera Barat, 1989), hlm. 2
[47] Ibid
[48] PB PII, Nota Penjelasan…Op.Cit, hlm. 9
[49] Ibid
[50] PB PII, Kumpulan Hasil-Hasil Rapimnas PII di Jawa Barat (Jakarta: PB PII, 1987), hlm.
[51] Wawancara dengan Esa Muhardanil pada tanggal 28 Maret 2005
[52] Wawancara dengan Dedi Supardi pada tanggal 25 Maret 2005
[53] Wawancara dengan Dedi Supardi pada tanggal 25 Maret 2005
[54] Wawancara dengan Said Amin pada tanggal 31 Maret 2005 dapat juga dilihat pada PD PII, Laporan Pertanggung jawaban Pengrus periode 1991-1992, (Padang Panjang: PD PII Padang Panjang, 1992), hlm. 9
[55] PW PII Sumatera Barat, Laporan Pertanggung jawaban Pengurus periode 1987-1989, hlm. 9 dapat juga dilihat dari PD PII Kabupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh, Laporan Pertanggung jawaban Pengurus Periode 1990-1991, hlm. 4 dan PD PII Kabupaten Agam/Kodya Bikittinggi, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Periode 1991-1992, hlm. 5
[56] Wawancara dengan Erianto pada tanggal 25 Nmaret 2005
[57] Wawancara dengan M. David pada tanggal 24 Maret 2005
[58] Wawancara dengan M. David pada tanggal 24 Maret 2005
[59] PD PII, Kaupaten Limapuluhkota/Kodya Payakumbuh, Laporan Pertanggung jawaban Pengurus Periode 1986-1987, hlm. 5
[60] Wawancara dengan Fahmi pada tanggal 1 Mei 2005
[61] Wawancara dengan Almal Thulas pada tanggal 21 April 2005
[62] Wawancara dengan Efrizal pada tanggal 1 Mei 2005
[63] Wawancara dengan Wedrizon pada tanggal 31 Maret 2005
[64] Wawancara dengan Irwan B pada tanggal 2 Mei 2005
[65] Wawancara dengan Bustanuddin pada tanggal 1 Mei 2005
[66] Wawancara dengan Dedi Supardi pada tanggal 25 Maret 2005
[67] Wawancara dengan Erianto pada tanggal 25 Maret 2005
[68] PW PII Sumatera Barat, Laporan Pertanggung jawaban Pengurus Periode 1994-196
[69] PW PII Sumatera Barat, Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Periode 1994-1996, hlm. 11
[70] Wawancara dengan Irwan B pada tanggal 1 Mei 2005
[71] PB PII, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Pelajar Islam Indonbesia (PII), hlm. 3
[72] Strategi kulit bawang adalah langkah strategis PII dalam mengoptimalkan peran kelembagaan PII dalam bentuk dua anggran dasar, anggran dasar pertama adalah qunun asasi PII yang baku dan anggran dasar kedua adalah anggaran dasar lain yang dibentuk berfungsi sebagai pemenuhan syarat administrasi dalam melakukan upaya memformalkan PII.
[73] Wawancara dengan Zulfaindra pada tanggal 26 Maret 2005
[74] Wawancara dengan Zulfaindra pada tanggal 26 Maret 2005
[75] Ibid, hlm. 104
[76] Wawancara dengan Yudi Helfi pada tanggal 20 Maret 2005

My Album

AYAT-AYAT CINTA